BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu bagian yang sampai saat ini masih ramai
diperbincangkan dalam ilmu fiqih yaitu fiqih munakahah. Di dalam fiqih munakahah
yang sangat marak
menjadi bahan diskusi di kalangan kita adalah soal poligami. Poligami merupakan
persoalan yang pelik yang dihadapi oleh kaum perempuan khususnya dan Islam pada
umumnya.
Menurut pakar psikologi maupun seksiologi, seorang laki-laki
yang memasuki usia 30–40 an mempunyai gairah seks yang meledak-ledak. Umumnya
disebut masa puber ke-2 dan punya fasilitas, ia cenderung banyak tingkah.
Meskipun tidak semuanya, tetapi kebanyakan mereka yang tergolong sukses,
mencoba bermain-main dengan apa yang disebut WIL (wanita idaman lain).
Sedangkan bagi yang jujur biasanya merengek - rengek kepada istrinya agar diperbolehkan
kawin lagi.
Sebenarnya keinginan untuk berselingkuh dengan WIL atau
terang-terangan ingin kawin lagi bukan semata-mata karena dorongan kebutuhan
seksual saja. Tetapi juga dipengaruhi oleh suatu kecenderungan agar ia dianggap
hebat. Bagi laki-laki “tukang kawin” akan merasa bangga jika dirinya dianggap
berhasil dalam menghidupi beberapa istrinya yang rukun-rukun saja.
Berpoligami tidak dilarang dalam Islam. Boleh saja seorang lelaki mempunyai dua
atau tiga bahkan empat orang istri. Tetapi ada syarat-syarat yang harus
dipenuhi, terutama bersikap adil
kepada istri-istrinya. Bersikap adil yang dimaksudkan dalam berpoligami adalah
adil dalam segala-galanya. Tak sedikit laki-laki “berlindung” pada alasan bahwa
keinginannya berpoligami itu meniru cara Nabi Muhammad. Di mana, saat itu Nabi
mempunyai istri lebih dari satu. Lalu ketika niatnya menggebu-gebu ia berjanji
pada istri pertama bahwa ia akan berlaku seadil-adilnya kepada istrinya yang
kedua atau ketiga.
Terlepas dari pendapat
pro dan kontra tentang poligami, yang pasti poligami mjenjadi masalah yang
menarik untuk diperbincangkan. Praktik poligami semakin lama semakin menjamur
ditengah – tengah masyarakat kita. Dalam praktiknya, masih banyak diantara para
pelaku poligmi belum memenuhi ketentuan yang ditetapkan, baik secara hukum
negara maupun hukum agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara etimologis kata poligami
berasal dari bahasa yunani, yaitu gabungan dari dua kata poli atau polus yang
berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti perkawinan. Dengan
demikian poligami berarti perkawinan yang banyak ( Nasution, 1996: 84 ).
Sedangkan secara terminologis
poligami berarti sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan ( KBBI, 2001: 885
).
Jika seorang yang memiliki pasangan
lebih dari satu orang adalah seorang suami, maka perkawinan itu disebut
poligini, sedangkan jika yang memiliki pasangan lebih dari satu adalah seorang
istri, maka perkawinannya disebut poliandri. Namun dalam kehidupan sehari –
hari istilah poligami-lah yang lebih populer dan sering menjadi bahan
perbincangan.
B. Poligami
Dalam Sejarah
Fenomen poligami sebenarnya sudah
ada sebelum Islam datang. Dulunya orang – orang berpoligami dengan banyak istri,
karena memang belum ada aturan dan pembatasan jumlah istri dalam berpoligami. Sebelum
akhirnya datanglah agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, yang membatasi
poligami hanya dengan empat orang istri saja.
Sebenarnya sebelum Islam dan Rasulullah
datang pun sudah banyak kaum yang melakukan poligami termasuk diantaranya nabi-nabi
sebelum Rasulullah SAW. Nabi-nabi itu diantaranya adalah Nabi Daud a.s., dan
Nabi Sulaiman a.s. Menurut
sejarahnya, poligami diperbolehkan setelah turunnya ayat Q.S.Annisa’ : 3, dan asbabun nuzul ayat ini adalah pasca
perang uhud, ketika itu pejuang Islam banyak yang gugur di medan peperangan dan
mengakibatkan banyak anak yatim, janda-janda. Karena untuk memenuhi sebuah
tanggung jawab ketika banyaknya para janda, istri para syuhada yang gugur dalam
peperangan membela Islam, sehingga tidak mungkin mereka dapat terlindungi. Dan
sesuai dengan keadaan ini, yakni kekhawatiran tidak terwujudnya keadilan pada
anak-anak yatim sesuai dengan yang dimaksud, maka Allah berfirman
dalam QS.An-Nisa ayat 3:
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku
adil terhadap hak-hak perempuan yatim ( bilamana kamu mengawininya ), maka
kawinlah wanita-wanita ( lain ) yang kamu senangi. Dua, tiga, dan empat.
Kemudian jika kamu takut berlaku adil, maka (kawinlah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.”
Menanggapi masalah poligami ini, bnyak berbagai pendapat
yang berkembang. Terutama dikalangan orang Barat ( Eropa dan Amerika Serikat
),yang berpendapat bahwa perilaku poligami hanya akan membuat pertentangan dan
perpecahan antara suami dan istri serta anak – anaknya. Mereka juga berpendapat
bahwa poligami akan mengikis kemuliaan seorang perempuan.
Menurut mereka, perempuan perempuan tidak dapat merasa
memiliki hak dan kemuliaan, jika ia masih merasa bahwa orang lain juga memiliki
hati, cinta, dan kasih sayang suaminya. Seorang istri senantiasa menginginkan
agar suaminya menjadi milik satu – atunya, sebagaimana juga suami berhak
menjadikan istri satu – satunya tanpa yang lain (‘Itr dalam Marzuki, Poligami
dalam Hukum Islam, 2005:28).
C.
Pembatasan
Poligami Menurut Hukum Negara
Undang-undang menetapkan prosedur untuk
menikahi istri kedua. Seorang laki- laki yang ingin menikahi istri yang kedua
harus atau wajib menyerahkan formulir (Aplikasi) kepada ketua pendamai (The
Arbitration council), di Indonesia barang kali sama dengan KUA atau PA. Karena
itu ketika menggunakan kata KUA atau PA maksudnya adalah lembaga yang dimaksud.
Didalam formulir tersebut, laki-laki (suami) harus mencantumkan alasan, kenapa
menikahi istri kedua (poligami). Demikian juga dalam formulir tersebut harus
jelaskan ada tidaknya persetujuan dari istri yang ada. Setelah menerima
formulir tersebut kepala KUA harus mendatangkan istri atau istri –istri bersamaan dengan suami yang mengajukan.
Pegawai KUA bersama-sama dengan para pihak memutuskan diterima atau tidaknya
permohonan tersebut. Keputusan dari KUA/PA tersebut dapat naik banding walaupun
satu kali.
Protes ini muncul
di paruh abad ke 19, bahwa sesungguhnya maksud Al-Qur’an adalah untuk
menetapkan monogami, tetapi praktek poligami boleh di lakukan dalam dan untuk
kondisi dan tuntutan tertentu. Adapun syarat dan alasan yang dapat dijadikan
dasar untuk menerima permohonan poligami
seperti yang tercantum dalam Pada
pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi
bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu:
a.
adanya
persetujuan dari istri;
b.
adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka (material);
c.
adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (immaterial).
Dan dalam undang-undang no.1 tahun 1974, Bab.IX
(Beristri lebih dari satu orang), pasal 55:
1.
Beristri
lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang
istri.
2.
Syarat
utama beristri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
istrinya dan anak-anaknya.
3.
Apabila
syarat utama yang diebut dalam ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang
beristri lebih dari seorang.
Pasal:
56:
1.
Suami
yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan
agama.
2.
Pengajuan
permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tatacara sebagaimana
diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah no.9 Tahun 1975.
3.
Perkawinan
yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari
pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal:
57:
Pengadilan agama hanya memberi izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan.
c.
Istri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58:
Selain syarat utama yang disebut pada
pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin peradilan agama, harus pula
dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pasal 5 UU no.1 tahun 1974 yaitu:
a.
Adanya
persetujuan istri.
b.
Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
mereka.
D.
Pandangan
Islam Tentang Poligami
Dalam Islam, sebagaimana terdapat dalam firman Allah dan
sabda Nabi Muhammad SAW, Islam tidak
melarang praktik poligami namun juga tidak mewajibkannya. Dalam hal ini Islam
memperbolehkan umatnya untuk berpoligami, hanya saja harus tetap berpedoman
pada syarat dan ketentuan yang ada. Poligami bisa menjadi haram ketika persyaratan adil tidak dapat dipenuhi.
Dalam al Qur’an Larangan
bagi para suami untuk berpoligami yang
tidak dapat bersikap adil, terdapat dalam QS. An - Nisa
ayat 129 :
Artinya : “Dan kamu tidak akan berlaku adil di
antara istri - istrimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karna itu
janganlah kamu cenderung (pada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang
lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah itu maha penganpun lagi maha
penyayang.”
Jika kita telaah ayat diatas, maksud adil disini adalah adil dalam hal
kecenderungan hati. Sehingga ayat diatas hanya
mempertegas bahwa adil yang sebenarnya tidak akan
terpenuhi, maka janganlah kamu berpoligami jika nantinya kamu akan cenderung kepada salah satu istri saja.
Ketentuan tentang poligami di atas diperbolehkan dengan bersyarat. Ayat ini
secara lebih khusus juga merujuk pada
keadilan yang harus dilakukan terhadap anak-anak yatim.
Sebagaimana dikatakan Yusuf Ali, bahwa poligami
memang merupakan peristiwa yang sudah terjadi sejak dulu, tetapi prinsip - prinsipnya tetap berlaku terus. Dan dalam Islam memerintahkan untuk kawinilah anak yatim bila engkau yakin bahwa dengan cara itu engkau dapat melindungi kepentingan dan hartanya secara adil terhadap
mereka dan terhadap anak-anak yatim itu.
Oleh karena itu, para ulama dan fuqaha muslim telah menetapkan persyaratan – persyaratan bila seseorang ingin menikahi lebih dari seorang
istri.
1. Dia harus
memiliki kemampuan dan kekayaan cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan denga
bertambahnya istri yang dinihainya itu.
2. Dia harus
memperlakukan semua istrinya itu dengan adil. Setiap
istri diperlakukan secara sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya. Bila seorang lelaki merasa bahagia dia tak akan mampu memeperlakukannya mereka dengan adil, atau dia tidak memiliki harta untuk membiayai mereka, maka dia
harus menahan dirinya sendiri dengan menikahi hanya seorang
istri.
Imam malik berkata dalam kitabnya Al-Muwattha bahwa Ghaylan bin Salmah memeluk Islam sedangkan dia memiliki sepuluh orang istri. Maka Rasulullah saw
bersabda:
امسك منهن اربعاوفارق سائرهي
Artinya:
“Peliharalah empat orang di antara mereka dan bebaskalah (ceraikanlah) yang lainnya”.
“Peliharalah empat orang di antara mereka dan bebaskalah (ceraikanlah) yang lainnya”.
Beristri lebih dari satu perempuan membuatnya sangat penting bagi si suami agar berlaku seadil mungkin,
sebagai yang dimungkinkan orang terhadap setiap istrinya itu. Tujuan utama
perkawinan dalam Islam adalah untuk menciptakan suatu keluarga yang sejahtera dimana suami dan istri atau istri-istrinya, serta
anak-anaknya hidup dalam kedamaian, kasih sayang keharmonisan
sebagaimana yang dimaksud dalam perintah Al-Qur’an (Q.S 30:21).
Yang artinya “ Di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah bahwa Dia (Allah)
telah menicptakan untukmu cenderung dan merasa
tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang dan
kedamaian. (QS. 30:21)”.
Dengan demikian maka lelaki sebagai ayah dan perempuan
sebagai ibu dari anak-anak mereka hidup bersama membentuk suatu keluarga yang
utuh. Setiap orang memiliki perangai yang berbeda, namun bila keramahan, kasih sayang, dan kedamaian dapat diciptakan dalam keluarga, maka
seseorang harus membatasi dirinya sendiri dengan apa yang dapat dikelolanya
secara mudah yaitu seorang istri.
Keadaan berikut merupakan pemecahan terbaik bagi
diperbolehkankannya poligami:
1.
Bila istri menderita suatu penyakit yang berbahaya
seperti lumpuh, ayan, atau penyakit menular. Dalam keadan ini maka akan lebih
baik bila ada istri yang lain untuk memenuhi dan melayani berbagai keperluan si
suami dan anak-anaknya. Kehadirannya pun akan
turut membantu istri yang sakit itu.
2.
Bila si istri terbukti mandul dan setelah melalui pemeriksaan medis, para ahli berpendapat bahwa dia tak dapat
hamil. Maka sebaiknya sumai menikah istri kedua sehingga
dia mungkin akan memperoleh keturunan, karena anak merupakan permata kehidupan.
3.
Bila istri sakit ingatan. Dalam hal ini tentu suami
dan anak-anak sangat menderita.
4.
Bila istri telah lanjut usia dan sedemikian lemahnya
sehingga tak mampu memenuhi kewajibannya sebagai seorang isri, memelihara rumah
tangga dan kekayaan suaminya.
5.
Bila suami mendapatkan bahwa istrinya memeliki sifat
yang buruk dan tak dapat diperbaiki. Maka secepatnya dia menikahi istri yang
lain.
6.
Bila dia minggat dari rumah suaminya dan membangkang,
sedangkan si suami merasa sakit untuk memperbaikinya.
7.
Pada masa perang di mana kaum lelaki terbunuh
meninggalkan wanita yang sangat banyak jumlahnya, maka poligami dapat berfungsi
sebagai jalan pemecahan yang terbaik.
Selain hal-hal tersebut di atas, bila lelaki itu merasa bahwa dia tak dapat bekerja tanpa adanya istri kedua untuk
memenuhi hajat syahwatnya yang sangat kuat serta dia memiliki harta yang cukup
untuk membiayanya, maka sebaiknya dia mengambil istri yang lain. Ada beberapa
daerah tertentu di dunia ini di mana kaum lelakinya secara fisik sangat kuat
dan tak dapat dipuaskan hanya dengan seorang istri.
Dalam hal demikian, maka poligami inilah jawabannya.
Islam melarang poligami tak terbatas yang dipraktekkan oleh orang-orang
jahilliyah Arab maupun bukan Arab. Sudah merupakan kebiasaan para pemimpin dan
kepala suku untuk memelihara harem/gundik yang banyak. Bahkan beberapa
pengusaha Muslim telah menjadi korban dan melakukan poligami yang tak terbatas
pada masa-masa kemudian dari sejarah Islam. Apapun yang mereka lakukan, yang
jelas poligami semacam itu tidak diperkenankan dalam Islam.
Sebenarnya hanya Poligami
Terbatas yang Dibolehkan dalam al Qur’an. Beberapa ulama
Zhahiri mengatakan bahwa kata-kata al-Quran matsna berarti “ dua, dua ”, “ tiga, tiga ”, dan “ ruba ”, atau “empat-empat”, sehingga dengan demikian jumlah yang
diizinkan mengembung menjadi delapan belas. Adapula yang berpikiran salah bahwa “Matsa wa tsulatsa wa
ruba” dijumlahkan menjadi Sembilan belas, sehingga Islam mengizinkan
poligami sampai Sembilan orang istri.
Sesungguhnya ini merupakan penafsiran Nabawi atas ayat ini tercantum dalam
hadist Nabi saw berikut ini:
أن النبي صلي الله عليه وسلم قال لعلاذين اسية
الثقغي وقد اسلم و تحته عسر سوة أحترمنهن أربعا
وفارق سائرهن
Artinya:
“Sesungguhnya Nabi saw telah bersabda Ghayalan bin Umayyah Al-Tsaqafi yang telah memeluk Islam dan memiliki sepuluh orang istri: “ Pilihlah empat orang dari mereka dan ceraikan yang lain”.
Begitu seorang Muslim menikahi lebih dari seorang istri, maka dia
bekewajiban untuk memperlakukan mereka secara sama dalam hal
makan, kediaman, pakaian, dan bahkan hubungan seksual
sejauh yang memungkinkan. Bila seorang agak ragu untuk dapat memberikan perlakukan yang sama dalam
memenuhi hak mereka, maka dia tak boleh beristri lebih dari seorang. Kalau dia merasa hanya mampu memenuhi kewajibannya terhadap seorang istri, dia pun tak diperkanankan menikahi
yang kedua.
Berikutnya jika dia hanya dapat berlaku adil terhadap dua istri,
maka dia tak boleh menikahi tiga. Batas terakhir
adalah empat orang istri, bila dia merasa perlu melakukakannya. Sebagaimana dalam al-Qur’an menyebutkan yang artinya
“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja”.
“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja”.
Keadilan yang disebut dalam ayat ini hanya berhubungan dengan usaha
yang dimungkinkana secara manusiawi. Dalam hal cinta
kasih, sekalipun andaikan seorang benar-benar ingin berbuat adil dengan tujuan yang dia niatkan, dia tetap tak
akan mampu melakukannya mengingat keterbatasannya
sebagai manusia.
Sewaktu menjelaskan ayat diatas, syeikh Muhammad
bin Sirin berkata bahwa ketidakmampuan yang disebutkan dalam al-Quran
ini bertalian dengan cinta kasih dan hubungan kelamin.
Sedangkan Syikh Abu Bakar bin Al-Arabi berpendapat, “ Tak seorangpun yang dapat
mengendalikan ‘rasa’ hatinya, karena
dia sepenuhnya berada dalam kekuasaan Ilahi ”. Demikian pula
dalam kehidupan berkeluarga, seorang mungkin merasa lebih senang kepada istri
dibandingkan kepada yang lainnya. Dikarenakan hal ini tidak disengaja oleh si
suami, maka ia bukan kesalahannya dan karena tak akan dimintai pertanggung
jawaban. Ibu orang-orang beriman, Aisyah, telah meriwayatkan sabda Nabi Saw:
كان رسول الله صلي عليه وسلم يعسم في بعدل
ويقول اللهم هذا قسصي
Artinya:
“ Adalah rasululah saw selalu mebangikan berbagai hal dan berbuat dengan adil kepada semua istrinya, dan berdo’a: “wahai Allah, inilah pembagian yang dapat aku usahakan, maka jangan tuntut aku atas hal yang berada dalam kauasa-Mu, dan aku berkuasa atasnya”.
“ Adalah rasululah saw selalu mebangikan berbagai hal dan berbuat dengan adil kepada semua istrinya, dan berdo’a: “wahai Allah, inilah pembagian yang dapat aku usahakan, maka jangan tuntut aku atas hal yang berada dalam kauasa-Mu, dan aku berkuasa atasnya”.
Disini yang dimaksud adalah hati dan hal-hal yang berhubungan denga hati
ketika hadis terebut mengatakan: “Hal
yang berada dalam kuasa Allah” (Abu Daud). Setelah memahami aspek
yang harus diperlukan secara adil kepada semua istir, maka hadis Bai saw
berikut ini dicamkan dalam hati untuk menghidarkan hal-hal yang melampui batas.
Rasulullah Saw telah bersabda: “Seorang lelaki yang menikahi lebih dari
seorang wanita lalu tidak berlaku adil terhadap mereka,
niscaya akan dibangkitkan kembali (pada hari akhirat) dengan separuh aggota
tubuhnya lumpuh”. Pemeliharaan nilai-nilai yang lebih tinggi dan
menunjang kebaikan harus selalu merupakan tujuan utama. Maka izin untuk menikah
lebih dari seorang wanita pada suatu ketika, merupakan jalan darurat dan pencegahan yang penting untuk
melindungi masyarakat dari kekacauan.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Analisa
Terlepas dari semua polemik yang
marak ditengah-tengah masyarakat, sebenarnya poligami dilakukan oleh para
poligam adalah demi kemaslahatan baginya. Meskipun tidak sedikit pula para
pelaku poligami melakukan poligami hanya untuk memuaskan nafsu birahinya atau
malah hanya sekedar mencari prestasi dan prestise ditengah-tengah masyarakat
yang hedonis dan materialistis seperti pada masa sekarang ini.
Yang perlu digaris bawahi adalah
bahwa alasan seperti hanya untuk memuaskan nafsu birahinya atau bahkan hanya
sekedar untuk mencari prestasi dan prestise ditengah-tengah masyarakat yang
hedonis dan materialistis sangat tidak dibenarkan dalam Islam, dan bahkan
dilarang. Dan yang pasti dalam islam memperbolehkan seseorang melakukan poligami
adalah demi kemaslahatan umat dan demi menjaga dan menjalankan syariat Allah.
B.
Kesimpulan
Poligami atau menikah lebih dari satu orang istri atas ketentuan tentang poligami telah diperbolehkan dengan
bersyarat. Di dalam al-Quran telah tercantum bahwa secara lebih khusus merujuk
pada keadilan yang harus dilakukan dengan istri yang pertama. Serta harus ada
kenyataan dari istri pertama dan harus atas izin
istrinya.
Karena tujuan utama perkawinan dalam Islam adalah untuk
menciptakan suatu keluarga yang sakinah di mana suami
dan istri/istri-istrinya, serta anak-anaknya hidup dalam kedamaian dan cinta kasih.
C.
Saran
Penulis mencoba menyikapi masalah
poligami ini secara wajar. Penulis mencoba sepakat dengan para ulama untuk
memperbolehkan poligami selama masih dalam batas kewajaran dan sejalan dengan
syariat Islam. Dan selama poligami itu banyak mendatangkan kebaikan dari pada
kemudhorotan. Disini penulis mencoba menekankan kepada para poligam untuk
mencoba berlaku adil terhadap istri – istrinya. Dan jika seseorang tidak mampu
untuk berbuat adil alangkah baiknya untuk tidak melakukan poligami.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar, Muhammad. 1996. Fiqh kontemporer Dalam Pandangan Neo
modernisme Islam. Yogyakarta:
LESISKA. Cet I.
Fachruddin HS dan Zainuddin Hamidy.
1987. Al Qur’an dan Terjemahan Bahasa Indonesia.
Jakarta : PT Bina Aksara. Cet II.
Khisyik, Abdul Hamid.1995. Hikmah Pernikahan Rasulullah SAW. Bandung: Mizan. Cet. II.
Marzuki. 2005. Poligami
dalam Hukum Islam dalam Jurnal Civic Media Kajian
Kewarganegaraan.Yogyakarta : Jurusan PKn UNY.
Nasution,
Khoiruddin. 2002. Fazlurrahman
tentang wanita.
Yogyakarta: Tazzafa
dan ACAMIA. Cet I.
Ramulyo, Idris. 1996. Hukum Perkawinan
Islam. Bumi Aksara: Jakarta.
Shahrur, Muhammad. 2004. Metodologi Fiqh Islam Kontemporer. Yogyakarta: elSAQ Press. Cet. I.
Tjiptoherijanto,
Prijono. Poligami dalam perspektif
Ekonomi dalam Seminar. Jakarta 29 agustus 2007.
Undang – undang RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
INTERNET
Diakses dari :
penulis: ardi widayanto
follow: @ardimoviz
artikiel yang bagus ^^
ReplyDeletekeren
ReplyDeleteBandar Bola Dengan Pasaran Terbaik Indonesia Hadir Dalam Android, Iphone, dan Laptop
ReplyDeleteTersedia Pasaran Sbobet - Maxbet - 368Bet
Bonus Deposit Pertama 10% / Cashback 5% - 10%
Yuk Gabung Bersama Bolavita Di Website www. bolavita .fun
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
BBM: BOLAVITA
WA: +628122222995
https://bolavitasport.news/2019/02/18/prediksi-bola-chelsea-vs-manchester-united-19-februari-2019/
https://www.judisabungayam.co/jadwal-pertandingan-sv388-kungfuchicken-online-19-februari-2019