Friday, 13 July 2012

ALIRAN DALAM KRIMINOLOGI

Aliran-Aliran Pemikiran dalam kriminologi
Yang dimaksud dengan aliran pemikiran disini adalah cara pandang (kerangka acuan, paradigma, perspektif) yang digunakan oleh para kriminolog dalam melihat, menafsirkan, menanggapi dan menjelaskan fenomena kejahatan.
Oleh karena pemahaman kita terhadap dunia sosial terutama dipengaruhi oleh cara kita menafsirkan peristiwa-peristiwa yang kita alami/lihat, sehingga juga para ilmuwan cara pandang yang dianutnya akan mempengaruhi wujud penjelasan maupun teori yang dihasilkannya. Dengan demikian untuk dapat memahami dengan baik penjelasan dan teori-teori kriminologi, perlu diketahui perbedaan-perbedaan aliran pemikiran/paradigma dalam kriminologi.
Teori adalah bagian dari suatu penjelasan mengenai "sesuatu". Sementara suatu penjelasan dipandang sebgai masuk akal akan dipengaruhi oleh fenomena tertentu yang dipersoalkan di dalam keseluruhan bidang pengetahuan. Adapun keseluruhan bidang pengetahuan tersebut merupakan latar belakang budaya kontemporer yang berupa dunia informasi, hal-hal yang dipercaya (beliefs) dan sikap-sikap yang membangun iklim intelektual dari setiap orang pada suatu waktu dan tempat tertentu.
Di dalam sejarah intelektual, terhadap masalah "penjelasan" ini secara umum dapat dibedakan dua cara pendekatan yang mendasar yakni pendekatan spiritistik atau demonologik dan pendekatan naturalistik, yang kedua-duanya merupakan pendekatan yang dikenal pada masa kuno maupun modern.
Penjelasan demonologik mendasarkan pada adanya kekuasaan lain atau spirit (roh). Unsur utama dalam penjelasan spiritistik adalah sifatnya yang melampaui dunia empirik; dia tidak terikat oleh batasan-batasan kebendaan atau fisik, dan beroperasi dalam cara-cara yang bukan menjadi subyek dari kontrol atau pengetahuan manusia yang bersifat terbatas. Oleh karena spirit (roh) itu sendiri tidak tidak dapat dijelaskan dan tidak dapat dimengerti, sehingga ini merupakan cara penjelasan dan tidak dapat dimengerti, sehingga mempakan cara penjelasan yang paling sempurna bagi semua fenomena yang sulit dimengerti. Dasar penjelasannya sama, baik bagi yang kuno maupun modern, yaitu adanya kekuasaan yang lain. Pada pendekatan naturalistik, penjelasan yang diberikan lebih terinci dan bersifat khusus, serta melihatnya dari segi obyek dan kejadian-kejadian dunia kebendaan dan fisik. Apabila penjelasan demonologik menggunakan dasar kekuatan dunia lain untuk menjelaskan apayang terjadi, maka penjelasan naturalistik menggunakan ide-ide dan penafsiran terhadap obyek-obyek dan kejadian-kejadian serta hubungannya dengan dunia yang ada. Dengan demikian penjelasannya berada pada apayang diketahui atau dianggap benar menurut fakta fisik atau empirik dan dunia kebendaan. Pendekatan naturalistik inipun dikenal baik pada pada yang kuno maupun modern
Secara garis besarnya, pendekatan naturalistik dapat dibedakan dalam tiga bentuk sistem pemikiran atau aliran pemikiran atau dapat juga disebut paradigma, yang digunakan sebagai dasar kerangka pemikiran teori dan penelitian dalam memberikan penjelasan mengenai fenomena kejahatan. Perbedaan diantara ketiga alira ini begitu mendasar, sehingga batasan dan istilah kejahatan dan penjahat bagi kriminologi tertentu tergantung dari aliran pemikiran ini juga sangat berpengaruh pada cara pendekatan atau cara-cara yang ditempuh dalam mempelajari kejahatan dan konsepnya mengenai tugas yang diemban kriminologi. Adapun ketiga aliran pemikiran ini adalah aliran pemikiran klasik, positive dan kritis.

(1). Kriminologi Klasik
Aliran pemikiran ini mendasarkan pada pandangan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia, baik yang bersifat perorangan maupun yang bersifat kelompok. Intelegensi membuat manusia mampu mengarahkan dirinya sendiri, dalam arti dia adalah penguasa dari nasibnya, pemimpin dari jiwanya, makhluk yang mampu memahami dirinya dan berindak untuk mencapai kepentingan dan kehendaknya. Ini merupakan kerangka pemikiran dari semua pemikiran klasik seperti dalam filsafat, pesikologi, politik, hukum dan ekonomi. dalam konsep yang demikian maka masyarakat dibentuk sebagaimana adanya sesuai dengan pola yang dikehendakinya. Kunci kemajuan menurut pemikiran ini adalah kemampuan kecerdasan atau akal yang dapat ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan, sehingga manusia mampu mengontrol dirinya sendiri baik sebagai individu maupun sebagai suatu masyarakat. Di dalam kerangka pemikiran ini, lazimnya kejahatan dan penjahat dilfliat dari semata - mata dari batasan undang-undang.
Kejahatan didefinisikan sebagai setiap pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang undang-undang pidana, penjahat adalah setiap orang yang melakukan kejahatan. Kejahatan dipandang sebagai hasil pilihan bebas dari individu dalam menilai untung ruginya melakukan kejahatan. Oleh karena itu secara rasional tanggapan yang diberikan oleh masyarakat terhadap hal ini adalah dengan meningkatkan kerugian yang harus dibayar dan menurunkan keuntungan yang diperoleh dari kejahatan agar orang-orang tidak memilih untuk melakukan kejahatan. Dalam hubungan ini maka tugas kriminologi adalah untuk membuat pola dan menguji sistem hukuman yang dapat meminimalkan terjadinya kejahatan.
Dengan demikian mengarahkan pada persoalan penjeraan, baik yang bersifat teoritis maupun yang bersifat studi empirik dalam mengukur seberapa jauh perbedaan dalam isi undang-undang atau pelaksanaan hukuman mempengaruhi terjadinya kejahatan. Termasuk dalam lingkup ini adalah penologi. Dalam leteratur kriminologi, pemikiran klasik (dan neo klasik) maupun positive dan mencoba berbuat sesuatu terhadap kejahatan. Nama yang sangat terkenal yang dihubungkan dengan mashab klasik adalah Cesare Beccaria (1738 --1794).

(2). Kriminologi Positive
Aliran pemikiran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik yang bempa faktor biologik maupun kultural. Ini berarti bahwa manusia bukan mahkluk yang bebas untuk menuruti dorongan keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi mahkluk yang dibatasi atau ditentukan perangkat biologiknya dan situasi kulturalnya. Manusia berkembang bukan semata-mata kerena intelegensinya, akan tetapi melalui proses yang berjalan secara perlahan-lahan dari aspek biologiknya atau evolusi kultural. Aliran pemikiran positive ini menghasilkan dua pandangan yang berbeda yaitu determinis biologik yang menganggap bahwa organisasi sosial berkembang sebagai hasil individu dan perilakunya dipahami dan sebagai pencerminan umum dan warisan biologik. Sebaliknya determinis kultural menganggap perlikau manusia dalam segala aspeknya selalu berkaitan dan mencerminkan ciri-ciri dunia sosio kultural secara relatif tidak tergantung pada dunia biologik, dalam arti perubahan pada yang satu tidak berarti sesuai atau segera menghasilkan perubahan pada lainnya. Perubahan kultural diterima sebagai sesuai dengan bekerjanya ciri-ciri istimewa atau khusus dari fenomena kultural daripada sebagai akibat dari keterbatasan-keterbatasan biologik semata. Dengan demikian biologi bukan penghasil kultur, begitu juga penjelasan biologik tidak mendasari fenomena kultural.
Itu adalah pandangan dari pemikiran positivis yang dikenal dalam filsafat, sosiologi, sejarah, dan ilmu pengetahuan alampada umumnya, positivis menolak penjelasan yang berorientasi pada nilai, dan mengarahkan pada aspek-aspek yang dapat diukur dari pokok persoalannya dalam usaha mencari hubungan sebab akibat. Dalam kerangka pemikiran yang demikian, tugas kriminolog adalah menganalisis sebab-sebab perilaku kejahatan melalui studi ilmiah terhadap ciri-ciri penjahat dari aspek fisik, sosial, dan kultural. Oleh karena kriminologi positivis dalam bekerjanya menghadapi kesulitan dalam menggunakan batasan undang-undang, sebab undang-undang seringkali membedakan perbuatan legal dan ilegal atas dasar batas-batas yang sangat tajam (‘teknis') yang tidak ada hubungannya dengan ide sebab-sebab, sehingga cenderung memberikan berbagai "batasan ilmuah" terhadap kejahatan, yang lebih diarahkan pada perilaku ciri-ciri perilaku itu sendiri daripada perilaku yang didefinisikan oleh undang-undang pidana. Misalnya Mannheim membela pandangan bahwa kriminologi harus mempelajari seluruh perbuatan anti sosial, baik undang-undang dinyatakan sebagai kejahatan maupun tidak. Sementara Sutherland dalam studinya terhadap kejahatan white-collar menganggap kejahatan sebagai perbuatan yang merugikan masyarakat, baik yang diatur dalam undang-undang pidana maupun perdata, administrasi dan yang lainnya. Sedangkan Schwendingers memandang kejahatan sebagai pelanggan terhadap hak-hak asasi manusia
Cesare Lombroso (1835-1909) dapat dipandang sebagai pelopor aliran ini yang memulai studinya dengan mencari sebab-sebab kejahatan yang lebfli menekankan pada sifat dasar pelaku kejahatan daripada terhadap ciri-ciri perbuatan jahat.
Disamping itu aliran positivis dapat dipandang sebagai yang pertamakali dalam bidang kriminologi yang memformulasikan dan menggunakan cara pandang, metodologi, dan logika dari ilmu pengetahuan alam didalam perbuatan manusia.
Sebagai pelopor mashab positive, Lombroso lebih dikenal dengan teori biologi kriminal, namun perlu dicatat bahwa itu bukan merupakan dasar dari aliran positive. Dasar yang sesungguhnya dari positivisme dalam kriminologi adalah konsep tentang sebab kejahatan yang banyak (multiple factor causation), yakni faktor-faktor yang alami atau yang dibawa manusia dan dunianya, yang sebagian bersifat biologik dan sebagian bersifat biologik dan sebagian karena pengaruh lingkungan.

(3). Kriminologi Kritis
Pemikiran kritis yang dikenal dalam berbagai disiplin ilmu seperti politik, ekonomi, sosiologi dan filsafat, mucul pada beberapa dasawarsa terakhir ini. aliran pemikiran kritis tidak berusaha menjawab pertanyaan apakah perilaku manusia itu bebas atau ditentukan, akan tetapi lebih mengarahkan pada mempelajari proses-proses manusia dalam ( membangun dunianya dimana dia hidup. Kriminologi kritis misalnya berpendapat bahwa fenomena kejahatan sebagai konstruksi sosial, artinya manakala masyarakat mendefinisikan tindakan tertentu sebagai kejahatan, maka orang-orang tertentu dan tindakan-tindakan mungkin pada waktu tertentu memenuhi batasan sebagai kejahatan. Ini berarti bahwa kejahatan dan penjahat bukanlah fenomena yang berdiri sendiri yang dapat diidentifikasikan dan dipelajari secara obyektifoleh ilmuwan sosial, sebab dia ada hanya karena hal itu dinyatakan sebagai demikian oleh "masyarakat". Oleh karenanya krimmologi kritis mempelajari proses-proses dimana kumpulan tertentu dari orang-orang dan tindakan-tindakan ditunjuk sebagai kriminal pada waktu dan tempat tertentu. kriminologi kritis bukan sekedar mempelajari perilaku dari orang-orang yang didefinisikan sebagai kejahatan, akan tetapi juga dari perilaku dari agen-agen kontrol sosial (aparat penegak hukum), disamping mempertanyakan dijadikannya tindakan-tindakan tertentu sebagai kejahatan.
Menurut kriminologi kritis maka tingkat kejahatan dan ciri-ciri pelaku terutama ditentukan oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalankan. Misalnya apabila sebagaian besar pelaku kejahatan adalah orang-orang yang miskin, maka bukan kemiskinan yang merupakan "sebab" kejahatan, akan tetapi kerena bentuk-bentuk tindakan yang dilakukan oleh orang-orang miskin lebih banyak ditunjuk oleh undang-undang sebagai kejahatan dan dalam bekerjanya hukum maka undang-undang macam beginilah lebih banyak dijalankan. Ini berarti bahwa kita dapat memahami kejahatan semata-mata dengan mempelajari penjahat ("resmi"), akan tetapi harus dilihat dalam konteks keseluruhan proses kriminalisasi, yakni proses yang mendefinisikan orang dan tindakan tertentu sebagai kejahatan.
Sehubungan dengan itu, maka tugas kriminologi kritis adalah menganalisis proses-proses bagaimana cap jahat tersebut diterapkan terhadap tindakan dan orang-orang tertentu. Pendekatan kritis ini secara relatif dapat dibedakan antara pendekatan "interaksionis" dan "konflik". Pendekatan interaksionis berusaha untuk menentukan mengapa tindakan-tindakan dan orang-orang tertentu didefinisikan sebagai kriminal dimasyarakat tertentu dengan cara mempelajari "persepsi" makna kejahatan yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Mereka juga mempelajari makna kejahatan yang dimiliki agen kontrol sosial dan orang-orang yang diberi batasan sebagai penjahat. Disamping itu juga dipelajari makna proses sosial yang dimiliki kelompok bersangkutan dalam mendefiniskan seseorang sebagai penjahat. Dengan demikian untuk dapat memahami kejahatan, perlu dipelajari seluruh proses kriminalisasi, dalam arti baik proses-proses yang mempengaruhi pembentukan undang-undang yakni yang dijadikan orang (orang) tertentu sebagai penjahat.
Hubungan antara kejahatan dan proses kriminalisasi secara umum dinyatakan dengan digunakannya konsep "penyimpangan" (deviance) dan reaksi sosial. Kejahatan dipandang sebagai bagian dari "penyimpangan sosial" dalam arti bahwa tindakan yang bersangkuatan "berbeda" dari tindakan - tindakan yang dipandang sebagai normal atau "biasa" dimasyarakat, dan terhadap "tindakan menyimpang" tersebut diberikan reaksi sosial yang negatif, dalam arti secara umum masyarakat memperlakukan orang - orang tersebut sebagai "berbeda" dan "jahat".
Dengan demikian siapa yang dipandang menyimpang dari masyarakat tertentu tergantung pada masyarakat itu sendiri. Kadang -kadang kondisi yang mempengaruhi pemberian batasan itu tidak begitu jelas, sehingga pada akhirnya banyak sekali tergantung dari sikap polisi, jaksa dan hakim. (Misalnya pada kasus-kasus "perkosaan", khususnya tentang batas - batas "godaan" yang boleh dilakukan pria). Dalam arti luas, kejahatan (penyimpangan) seperti halnya kecantikan, ada di mata yang memandangnya. Dengan demikian penyimpangan dan dan reaksi sosial merupakan hubungan timbal balik yang hanya dapat dipahan-u dalam hubungan satu dengan yang lain. Dasar pemikiran interaksionis ini bersumber pada "symbolic interactionism" yang dikemukakan oleh Mead (1863-1931) yang menekankan bahwa "sumber" perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh peranan kondisi - kondisi sosial akan tetapijuga peranan individu dalam menangani, menafsirkan dan berinteraksi dengan kondisi - kondisi yang bersangkutan. Menurutnya manusia sebagai pencipta dan sekaligus sebagai produk dari lingkungannya. Sebaliknya pendekatan konflik lebih memfokuskan studinya dalam mempertanyakan "kekuasaan" dalam mendifinisikan kejahatan.
Menurut kriminologi konflik, orang berbeda karena memiliki perbedaan kekuasaan dalam mempengaruhi perbuatannya dan bekerjanya hukum Secara umum dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat kekuasaan yang lebih besar mempunyai kedudukan yang lebih baik (menguntungkan) dalam mendefinisikan perbuatan - perbuatan yang bertentangan dengan nilai - nilai dan kepentingannya sebagai kejahatan. Bersamaan dengan itu, mereka dapat mencegah dijadikannya tindakan - tindakan tersebut bertentangan dengan nilai - nilai dan kepentingan masyarakat yang lebih kecil kekuasaannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kejahatan merupakan kebalikan dari kekuasaan: semakin besar kekuasaan yang dimiliki seseorang atau kelompok orang - orang, semakin kecil kemungkinannya untuk dijadikan sebagai kejahatan dan begitu sebaliknya. Orientasi sosio - psikologis teori konflik terletak pada teori - teori interaksi sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep "proses sosial" dari perilaku kolektif.
Pandangan mi mengasumsikan bahwa manusia selalu merupakan mahkluk yang "terlibat" dengan kelompoknya, dalam arti hidupnya merupakan bagian dan produk dari kelompok kumpulan - kumpulannya. Pandangan ini juga beranggapan bahwa masyarakat merupakan kumpulan kelompok - kelompok yang bersama - sama memikul perubahan, namun mampu menjaga keseimbangan dalam menghadapi kepentingan - kepentingan dan usaha-usaha dari kelompok yang bertentangan. Kontinuitas interaksi kelompok-kelompok ini, serangkaian langkah atau tindakan dan peralawanannya yang berlangsung secara terus menerus, tindak pengawasan yang bersifat timbal balik, merupakan unsur penting dari konsep proses sosial. Pengaruh timbal balik yang berlangsung secara terus menerus didalam menjaga keseimbangan (stabilitas) yang segera dan dinairds memberi arti penting bagi ciri "perilaku kolektif yang berbeda dengan ide perilaku individual yang stimulan. Arus yang berubah ubah dari tindakan kolektif ini memberi kesempatan terhadap kemungkinan terjadinya pergeseran posisi secara terus menerus, dalam arti kemungkman mendapatkan status atau sebaliknya akan kehilangan. Akibatnya ada kebutuhan untuk menjaga dalam mempertahankan posisinya, disamping untuk selalu berusaha memperoleh kesempatan dalam memperbaiki status didalam hubungan dengan kelompok-kelompok yang ada Dengan demikian, menurut aliran pemikiran ini, konflik dipandang sebagai sesuatu yang penting dan mendasar dari proses sosial dimana kelangsungan sosial bergantung.
Pada tahun 1970-an muncul apa yang disebut sebagai "kriminologi Marxis" mengenai istilah "Kriminologi Marxis" terdapat beberapa penulis yang menentangnya. Menurut Paul Q. Harist, tidak ada teori Marxis tentang kejahatan baik dalam eksistensinya, maupun yang dapat dikembangkan dari marxisme yang ortodoks. Uraian mengenai pandangan Hirst mi dapat dibaca dalam Taylor et. al. (1987). Begitu juga dalam nada yang sama diajukan oleh Denisoff& McQuarie (1975). Di Amerika, Kriminologi Mands dikembangkan dari teori konflik yang antara lain diajukan oleh Quinney, sementara di Inggris berkembang dari perspektif interaksionis yang antara lain dapat ditemukan pada karya Taylor, Walton & Young (1973 dan 1978).
Tanpa bermaksud untuk memasuki lebih dalam pembicaraan tentang Kriminologi Marxis, namun perlu dicatat bahwa teori konflik tidak sama dengan teori Marxis. Lebih-lebih jika ada anggapan bahwa aliran kritis sama dengan aliran Marxis, perlu dipertanyakan. Teori Kriminologi Mands hanyalah merupakan salah satu usaha "mengembangkan" teori konflik yang juga dipertanyakan kebenaran istilah tersebut sebagaimana disebutkan diatas -disamping terdapat teori non Marxis, yang sangat berbeda. Selain itujuga perlu dicatat bahwa beberapa penulis bahkan mencampur adukkan antara teori konflik yang Marxis dengan yang non Marxis, seperti Reid dan Alien. Reid misalnya, menyatakan bahwa teori konflik berdasarkan pada 3 hal: (1) bahwa perbedaan bekerjanya hukum mencerminkan kepentingan rulling class (2) bahwa perbuatan kejahatan akibat dari cara produksi dalam masyarakat, dan (3) bahwa hukum pidana dibuat untuk mencapai kepentingan ekonomi dan rulling class. Apa yang disebut oleh Raid tersebut adalah tentang Kriminologi Marxis, bukan teori konflik yang non Mands. Misalnya konsep rulling class tidak digunakan oleh pendukung teori konflik yang non Marxis seperti Sellin, Void, Turk.
Secara umum teori konflik non Marxis menunjukkan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang mendasari terjadinya kriminalisasi atas perflaku tertentu dibandingkan dengan yang lainnya dan tentu saja dapat mengarah pada keinginan untuk mengubah hubungan tersebut. Hal ini membawa analisis "obyektif proses kriminalisasi ke arah usaha yang bersifat politis dalam membantu kelompok yang lemah dalam perjuangan menghadapi kelompok yang sangat kuat. Satu perbedaan yang mendasar antara kriminologi Marxis dengan yang non Marxis adalah pandangannya apakah kejahatan dianggap sebegai patologis. Pada perspektif konflik yang non Marxis maka kej ahatan dipandang sebagai tindakan yang normal dan orang - orang yang normal yang tidak memiliki kekuasaan cukup untuk mengontrol proses kriminalisasi, dan dalam perspektif perilaku menyimpang, kejahatan dipandang sebagai perwujudan dari kebutuhan masyarakat untuk mengkriminalisasikan perbedaan. Pendukung kedua perspektif kerenanya menolak ide bahwa kejahatan bersifat patologis dengan mengajukan argumentasi bahwa keduanya, yaitu perbuatan dan kriminalisasi terhadap perbuatan adalah normal. Sebaliknya bagi kriminologi Mands, dia kembali pada ide para positivis yakni bahwa kejahatan bersifat patologis, yang didasarkan pada konsep Marx bahwa orang yang menjadi "demoralized" dan subyek dari segala bentuk kejahatan dan perbuatan yang tidak senonoh apabila dimasyarakat mereka ditolak peranannya sebagai "produktif. Perilaku yang patologis tersebut berupa "batasan alamiah" sebagai "perbuatan" yang merugika masyarakat atau "tindakan - tindakan yang memperkosa hak - hak asasi manusia", dan dapat meliputi kejahatan - kejahatan lapis bawah, dimana orang - orang miskin merupakan sasarannya diantara mereka sendiri danjuga yang lainnya, maupun kejahatan - kejahatan lapisatas, seperti pencemaran, perang dan ekploitasi terhadap pekerja.
Sebab - sebab dari perilaku yang bersangkutan dianalisis dan ditemukan melekat pada sistem ekonomi kapitalistik dan untuk mengobatinya adalah melalui pembangunan masyarakat sosialis. Dengan demikian struktur argumentasinya — batasan alamiah tentang kejahatan, mencari sebab - sebab dan carta pengobatannya- identik dengan positivisme, akan tetapi sangat berbeda dengan perspektif teori konflik yang non Marxis dan teori interaksionis yang menganalisis proses - proses kriminalisasi. Bagi kriminologi Marxis maka "tindakan yang merugikan masyarakat" yang "memperkosa hak -hak asasi manusia" tidak dilihat sebagai normal akan tetapi merupakan produk yang bersifat patologis dari sistem ekonomi yang patologis.

Disamping itu negara - negara komunis seperti Uni Sovyet dan Jerman Timur (sebelum berantakan karena pengaruh glosnut dan perestroika pada tahun 1980-an) karena dipengaruhi oleh kondisi politik dan idelogi marxis yang dianut oleh negaranya, maka perkembangan kriminologinya selalu berorientasi pada kepentingan praktis melalui keputusan - keputusan partai— dan akan tetap menjadi bagian dari hukum pidana, dalam arti membantu pihak penguasa dalam melaksanakan hukum pidana, dalam arti membantu pihak penguasa dalam melaksanakan hukum pidana dan mencarikan bentuk - bentuk penghukuman dan tindakan yang dipandang efektif. (bandingkan dengan kriminologi klasik dan positive). Sedangkan studi kriminologi yang mempertanyakan kebijaksanaan dan tindakan penguasa seperti dalam pembuatan undang-undang maupun pelaksanaannya, dan karenanya juga mempertanyakan proses – proses kriminalisasi, dianggap bertentangan dengan penguasa dan dilarang. Ini berarti bahwa negara - negara komunis tidak dikenal aliran pemikiran kritis maupun konflik dalam kriminologi. Akhimya, perlu dicatat bahwa konflik yang non Marxis adalah pandangannya bahwasanya di dalam setiap masyarakat, apakah itu masyarakat kapitalis, komunis, fasis, demokratis atau apasaja, selalu terdapat konflik nilai - nilai dan kepentingan - kepentingan diantara bagian - bagian di dalam masyarakat, dan penyelesaian dari pertentangan dan konflik tersebut akan dipengaruhi oleh kekuasaan (power) dari kelompok-kelompok yang bertentangan. Sesuai dengan tuntutan masyarakat modern, maka cara-cara penyelesaian konflik ini terutama dilakukan melalui hukum, baik melalui pembuatan perundang -undangan maupun melalui bekerjanya hukuman.

1 comment:

  1. Lalu persamaan dari ketiga pendeketan naturalistik apa?

    ReplyDelete

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
;