Saturday, 11 August 2012

KONVENSI WINA 1963 (download)

 The multilateral PROYEK, The Fletcher School, Tufts University

U.N.T.S. Nos 8638-8640, vol. 596, hal. 262-512


                 WIENWINA CONVENTION ON CONSULAR RELATIONS
                         DAN OPTIONAL PROTOCOLS

                   DONE AT WIENWINA, ON 24 April 1963


Negara Pihak Konvensi ini,

Mengingat bahwa hubungan konsuler telah ditetapkan antara bangsa
sejak zaman kuno,

Setelah di benak Tujuan dan Prinsip-prinsip dari Piagam Perserikatan
Bangsa mengenai kesetaraan kedaulatan Negara, pemeliharaan
perdamaian dan keamanan internasional, dan promosi hubungan persahabatan
antar bangsa,.........................................................
................................................

Silahkan Download Lengkap Konvensi Wina 1963 DISINI
Baca Selengkapnya...

Makalah: Pajak Daerah

1.    Pengertian Pajak Daerah
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pengertian Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan demikian pajak daerah adalah iuran wajib pajak kepada daerah untuk membiayai pembangunan daerah. Pajak Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaannya untuk di daerah diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah. Pemerintah daerah dilarang melakukan pungutan selain pajak yang telah ditetapkan undang-undang (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
2.    Jenis-Jenis Pajak Daerah
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terdapat 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas) jenis pajak kabupaten/kota. Secara rinci dapat dilihat dalam tabel berikut.
         Tabel 1. Perbandingan Jenis Pajak yang Dikelola Pemerintah Provinsi dan   Pemerintah Kabupaten/Kota
Pajak Provinsi
Pajak Kabupaten/Kota
  1. Pajak Kendaraan Bermotor
  2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
  3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
  4. Pajak Air Permukaan
  5. Pajak Rokok
  1. Pajak Hotel
  2. Pajak Restoran
  3. Pajak Hiburan
  4. Pajak Reklame
  5. Pajak Penerangan Jalan
  6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
  7. Pajak Parkir
  8. Pajak Air Tanah
  9. Pajak Sarang Burung Walet
  10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
  11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
         Sumber : UU No 28 Tahun 2009
a.    Pajak yang Dikelola Provinsi
Ada lima jenis pajak yang dikelola oleh provinsi yaitu Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok.
1)        Pajak Kendaraan Bermotor
Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan sebagai berikut :
a)         untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama paling rendah sebesar 1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2% (dua persen);
b)         untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
Sedangkan tarif Pajak Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, dan kendaraan lain yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi sebesar 1% (satu persen). Kemudian Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
2)         Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
Menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut :
a.    penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen) dan
b.   penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen).
Khusus untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut :
a.    penyerahan pertama sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen); dan
b.   penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen).
3)         Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. Bahan bakar kendaraan bermotor adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009). Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit 50% (lima puluh persen) lebih rendah dari tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi (Pasal 19 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
4)         Pajak Air Permukaan
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat. Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 24 Undang-Undang nomor 28 Tahun 2009).
5)         Pajak Rokok
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok. Pajak Rokok dikenakan atas cukai rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah (Pasal 29 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
Penerimaan pajak rokok, baik bagian Provinsi maupun bagian Kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang ( Pasal 31 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
b.   Pajak yang Dikelola Kabupaten/Kota
            Ada 11 jenis pajak yang dikelola oleh Kabupaten/Kota, pajak yang termasuk pajak yang dikelola Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut :
1)        Pajak Hotel
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah, Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh). Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 35 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
2)          Pajak Restoran
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,  Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering. Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 40 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
3)        Pajak Hiburan
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran. Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen). Khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen). Khusus hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 45 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
4)        Pajak Reklame
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum. Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (Pasal 50 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
5)     Pajak Penerangan Jalan
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen). Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 1,5% (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
6)      Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara. Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (Pasal 60 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
7)        Pajak Parkir
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara. Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (Pasal  65 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
8)         Pajak Air Tanah
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (Pasal 70 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
9)       Pajak Sarang Burung Walet
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. Burung walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi. Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 75 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
10)         Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (Pasal 80 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
11)    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan. Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (Pasal 88 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).

 Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah     

SEMOGA BERMANFAAT
Baca Selengkapnya...

Friday, 10 August 2012

Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka


Suatu ideologi harus mampu menghadapi segala bentuk tantangan dan hambatan serta perkembangan dari dalam negeri maupun perkembangan global. Pancasila sebagai suatu ideologi tidak akan menutup rapat-rapat terhadap perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada era globalisasi dan era informasi. Oleh sebab itu, Pancasila harus menjadi ideologi terbuka, artinya Pancasila harus membuka diri terhadap perubahan dan tuntutan perkembangan zaman. Pancasila sebagai ideologi terbuka dapat ditunjukkan dengan memenuhi persyaratan tiga dimensi, yaitu:
a. Dimensi realita, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi tersebut harus bersumber dari kenyataan hidup yang ada di masyarakat, sehingga masyarakat merasakan dan menghayati ideologi tersebut, karena digali dan dirumuskan dari budaya sendiri. Pada gilirannya nanti akan merasa memiliki dan berusaha mempertahankannya. Ideologi Pancasila benar-benar mencerminkan realitas yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Pancasila digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur tersebut merupakan kenyataan yang ada dan hidup dalam masyarakat. Dengan demikian bangsa Indonesia betul-betul merasakan dan menghayati nilai-nilai tersebut dan tentunya akan berusaha untuk mempertahankannya.
b. Dimensi idealisme, mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan cita-cita tersebut suatu bangsa akan mengetahui ke arah mana tujuan akan dicapai. Pancasila adalah suatu ideologi yang mengandung cita-cita yang akan dicapai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Cita-cita tersebut akan mampu menggugah harapan dan memberikan optimisme Berta motivasi kepada bangsa Indonesia. Maka semua itu harus diwujudkan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
c. Dimensi fleksibilitas, yaitu suatu dimensi yang mencerminkan kemampuan suatu ideologi dalam mempengaruhi sekaligus menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Mempengaruhi berarti ikut memberikan warna dalam perkembangan masyarakat, sedangkan menyesuaikan diri berarti masyarakat berhasil menemukan pemikiran-pemikiran baru terhadap nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya.

Ideologi Pancasila memiliki sifat yang fleksibel, luwes, terbuka terhadap pemikiran-pemikiran baru tanpa menghilangkan hakikat yang terkandung di dalamnya. Dengan sifat fleksibel tersebut ideologi Pancasila akan tetap aktual dan mampu mengantisipasi tuntutan perkembangan zaman.


Baca Selengkapnya...

Makalah: Pendapatan Asli Daerah

1.  Pengertian Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004).
Dengan demikian Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber pendapatan yang asli berasal dari potensi daerah. Pemerintah daerah dapat menggali sumber Pendapatan Asli Daerah tersebut secara optimal.
2.    Sumber Pendapatan Asli Daerah
a.    Hasil Pajak Daerah;
          Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
b.    Hasil Retribusi Daerah;
Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
c.    Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan
Bagi daerah yang memiliki BUMD seperti Perusahan Daerah Air Minum (PDAM), Bank Pembangunan Daerah (BPD), badan kredit kecamatan, pasar, tempat hiburan/rekreasi, villa, pesanggrahan, dan lain-lain keuntungannya merupakan penghasilan bagi daerah yang bersangkutan (Hanif Nurcholis, 2007 : 184). Menurut Ahmad Yani (2004 : 40) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan antara lain bagian laba, deviden, dan penjualan saham milik daerah.
d.   Lain-Lain PAD Yang Sah
Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, lain-lain PAD yang sah meliputi :
1.   Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan
2.   Jasa giro
3.   Pendapatan bunga
4.   Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan
5.   Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.


Daftar Pustaka

Ahmad Yani. 2004. Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 
Hanif Nurcholis. 2007. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta : PT Grasindo
 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah     
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

semoga bermanfaat

Baca Selengkapnya...

Thursday, 9 August 2012

Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan


Telaah keputusan Mahkamah Internasional mengenai sengketa Indonesia dengan Malaysia atas pulau Sipadan dan Ligitan. Apakah yang menjadi landasan keputusan Mahkamah Internasional sehingga memenangkan Malaysia? Mengapa hal itu bisa  terjadi untuk Indonesia? dimanakah letak kesalahan Indonesia atas kasus ini?
JAWABAN:
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan
Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E / 4.1146833°N 118.6287556°E / 4.1146833; 118.6287556 dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E / 4.15°N 118.883°E / 4.15; 118.883.
1.      Kronologi sengketa
Sengketa klaim Sipadan Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia mulai muncul pada tahun 1967. Ketika ditengah kedua negara sedang merundingkan batas landas kontinen, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Malaysia menyatakan bahwa pulau Sipadan dan Ligitan termasuk dalam wilayah kedaulatannya. Padahal menurut Indonesia kedua pulau tersebut tercatat wilayah kedaulatannya. Sejak saat itu berlangsung  berbagai pertemuan dan perundingan antara kedua negara bertetangga tersebut untuk menyelesaikan sengketa secara damai.
Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Setelah hampir 30 tahun, perundingan tiba pada jalan buntu, karena baik Indonesia yang bertahan pada posisi dan argumentasi bahwa kedua pulau tersebut telah menjadi bagian wilayahnya sejak masa penjajahan Belanda, maupun Malaysia yang juga meyakini kedaulatannya atas pulau-pulau tersebut sejak masa colonial Inggris, tetap bertahan pada posisi masing-masing. Pada 1997 kedua belah pihak sepakat menempuh jalan hukum yaitu dengan menyerahkan sengketa tersebut kepada Mahkamah Internasional.
Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.
2.      Keputusan Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke Mahkamah Internasional. Kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Dalam persidangan Mahkamah Internasional yang melibatkan argumentasi kontra argumentasi, berbagai dalil hukum, teori, bukti sejarah, dokumen dan fakta pendukung dari kedua belah pihak yang masing-masing dilengkapi oleh tim pengacara handal, akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan pulau Sipadan dan pulau Ligitan milik Malaysia.
Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
3.      Landasan Keputusan Mahkamah Internasional Sehingga Memenangkan Malaysia
Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an.Hal ini membuktikan adanya kehendak dan tindakan menjalankan fungsi negara, yang memenuhi fungsi effectivities.
4.      Kekalahan dan Letak Kesalahan Indonesia Mengenai Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan
Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan (sebelah utara Ambalat) adalah karena Indonesia tidak bisa menunjukkan bukti bahwa Belanda (penjajah Indonesia) telah memiliki kedua pulau itu; sementara Malaysia bisa menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah Malaysia) memiliki dan mengelola kedua pulau itu. Dalam Hukum Internasional dikenal istilah "Uti Possidetis Juris" yang artinya negara baru akan memiliki wilayah atau batas wilayah yang sama dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia bersepakat istilah "warisan penjajah" itu berlaku untuk wilayah-wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia saat itu bukan karena Malaysia pada tahun 1990-an telah membangun resort di kedua pulau itu; tetapi karena Inggris sebelum tahun 1969 telah menununjukkan penguasaan yang efektif atas kedua pulau itu berupa pungutan pajak atas pemungutan telur penyu, operasi mercu suar, dan aturan perlindngan satwa.
Sebenarnya pemerintah Indonesia dengan para diplomatnya telah berusaha untuk mendapatkan hak atas kedua pulau itu. Dengan segala cara mereka kerahkan,mulai dari Diplomasi dan perundingan setiap tahun-nya,tetapi Indonesia dan Malaysia juga tidak dapat mencari titik temu dan kesepakatan dalam Sipadan dan Ligitan.sesuai dengan Piagam ASEAN,di mana negara-negara anggota ASEAN dalam menyelesaikan suatu permasalahan harus di tempuh nya itikad baik dan damai (Perjanjian ASEAN 24 februari 1976 di BALI). Apabila tidak menemukan kesepakatan, setiap anggota ASEAN wajib membawa kasus mereka ke PBB dan putusan Mahkamah Internasional adalah final dan tidak dapat di ganggu gugat.
Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah Internasional sudah mengetahui kalau Belanda adalah pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, belanda tidak pernah melakukan tindakan yang nyata apapun di Pulau itu. Justru sebaliknya Inggris-lah yang banyak melakukan pembangunan dan invasi di kedua pulau itu. Kemudian, Mahkamah Internasional menolak pembelaan dan argumen Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891. Argumen ini hanya mengatur batasan wilayah di Kalimantan (darat) tidak di perairan. Jauh dari pada itu Konvensi 1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai (kalau sekarang 12 mil) dan penarikan 3 mil itu tidak sampai ke sipadan dan Ligitan.
Dan terakhir Indonesia kalah di Faktor Occupation (pendudukan). Intinya masyarakat yang tinggal di pulau tersebut banyak bergantung pada transpotasi dan bantuan ekonomi dari Malaysia bertahun-tahun. Sarana hiburan seperti pemancar radio, telepon, dan televisi juga berasal dari Malaysia selama bertahu-tahun).
Dari pernyataan diatas yang menjadi penyebab utama kekalahan Indonesia adalah Indonesia kurang memiliki data dan bukti historis yang dapat menunjukan bahwa Belanda juga memiliki kehendak dan tindakan menjalankan fungsi negara yang malahan lebih kuat dari Inggris pada masanya.  Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah Internasional sudah mengetahui kalau Belanda adalah pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, belanda tidak pernah melakukan tindakan yang nyata apapun di Pulau itu. Justru sebaliknya Inggris-lah yang banyak melakukan pembangunan dan invasi di kedua pulau itu. Kemudian, Mahkamah Internasional menolak pembelaan dan argumen Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891. Argumen ini hanya mengatur batasan wilayah di Kalimantan (darat) tidak di perairan. Jauh dari pada itu Konvensi 1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai (kalau sekarang 12 mil) dan penarikan 3 mil itu tidak sampai ke sipadan dan Ligitan.
Dengan memperhatikan posisi dan letak Sipadan dan Ligitan serta ambisi strategis/ekonomis Belanda adalah sulit dibayangkan kalau Belanda tidak melakukan kegiatan pengawasan dan pemanfaatan kedua pulau tersebut pada waktu itu. Disamping itu, nampaknya Indonesia memang agak mengabaikan Sipadan dan Ligitan. Sebelum 1969 barangkali karena Indonesia tidak menyadari keberadaan posisi kedua pulau itu, atau mungkin juga karena terlalu banyak persoalan yang dihadapi. Tetapi sesudah tahun 1969 pada saat mulai muncul sengketa klaim, meskipun disepakati status quo atas Sipadan dan Ligitan, justru Malaysia tetap melanjutkan kegiatannya berupa penangkapan ikan, pariwisata, dan kehadiran penduduk yang terus meningkat.


DAFTAR PUSTAKA
http://blog.theosambuaga.com/category/uncategorized/
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan&action=edit&section=1
http://www.dephan.go.id/index.php
http://www.facebook.com/topic.php?uid=109824115623&topic=11447&_fb_noscript=1
Baca Selengkapnya...

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
;