Laporan KKL II hukum
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Jauh sebelum keberadaan
undang-undang tertulis di Negara ini di buat. Indoensia yang memiliki kekayaan
alam dan keragaman budaya masyrakatnya yang sangat luas dan begitu kompleks
menyebabkan bangsa mendapat predikat zamrud khatulistiwa dengan keragaman
budaya yang hidup dengan aturan-aturan adat budaya setempat. Kenyataan bahwa
nilai-nilai budaya local yang hidup tersebut turut mewarnai dan menciptakan
peradaban tersendiri ternyata menyimpan sejuta rahasia alam bagaimana mereka
mengolah alam, mempertahankan nilai budaya local dan mengatur hubungan social
sesamanya. meskipun arus globalisasi terus bergulir tiada henti saat ini, namun
keberadaan mereka masih kita saksikan bersama terutama desa adat tenganan bali.
Seiring dengan keberadaan mereka,
waktu yang terus bergulir dan perubahan kondisi akan menjadi keniscayaan bahwa
zaman akan terus berkembanga mengikuti perkembangan zaman. Inilah sebenarnya
globalisasi yang menjanjikan kemudahan dan efisiensi, perkembangan teknologi
yang tinggi menjadikan setiap manusia di bumi ini hidup dalam alam kemudahan
dimana bumi dan segala isinya tak lagi menjadi kendala untuk berinteraksi
dengan manusia yang lain. Namun kenyataan menunjukkan bahwa kemudahan tidak
menjanjikan keadilan dan kesejahteraan, akan tetapi penderitaan yang
berkepanjangan dibawak ketiak manusia-manusia serakah. Kita menyadari bawa
pengusung ide globalisasi seperti amerika serikat dan eropa telah membawa
jutaan manusia tidak beradab. Kesenjangan social yang begitu tinggi turut
membawa bencana bawaan seperti angka kriminalitas, kelaparan, pelecehan seksual
dan kehidupan bebas masyarakat.
"Tidak ada yang abadi kecuali
perubahan itu sendiri" mungkin kata-kata ini yang menjiwai ide globalisasi
yang menuntut manusia untuk melihat jauh keluar dan bertanya seberapa jauhkah
kita melangkah untuk sebuah perubahan itu. Pelan tapi pasti adalah bahasa
imperialis untuk melakukan ekspansi budaya, politik dan berbagai bidang yang
lain.
Untuk itu desa adat tenganan
sebagai entitas budaya local yang masih bertahan dengan aturan adatnya
(awik-awik) ternyata menyimpan nilai kearifan local yang masih dipertahankan
saat ini. Desa ini secara geografis memiliki luas wilayah 917,5 hektar dengan
pembagian wilayahnya menjadi 8% pemukiman penduduk, 22% terdiri dari sawah dan
selebihnya adalah lahan kering. Desa ini tepat berada di tengah perbukitan,
yang menurut kepercayaan masyarakat setempat nama desa adat tenganan tersebut
tidak lain diambil dari istilah makna filosofi letak lokasi desa tersebut
berada di tengah-tengah perbukitan (tenganan"tengah-tengah").
Desa Tenganan adalah desa yang mempunyai keunikan sendiri diBali, desa yang
terletak cukup terpencil dan terletak di Kabupaten Karangasem. Untuk mencapai
desa ini melalui jalan darat dan berjarak sekitar 60km dari pusat kota
Denpasar, Bali. Desa ini sangatlah
tradisional karena dapat bertahan dari arus perubahan jaman yang sangat cepat
dari teknologi. Walaupun sarana dan prasarana seperti listrik dll masuk ke Desa
Tenganan ini, tetapi rumah dan adat tetap dipertahankan seperti
aslinya yang tetap eksotik. Ini dikarenakan Masyarakat Tenganan mempunyai
peraturan adat desa yang sangat kuat, yang mereka sebut dengan awig-awig yang
sudah mereka tulis sejak abad 11 dan sudah diperbaharui pada Tahun 1842.
(http://navigasi.net/goart.php?a=budsteng).
Beberapa
keunikan lain yang terdapat pada desa tersebut adalah homogenitas cultural yang
hidup berlangsung lama sampai sekarang
jauh sebelum Indonesia terbentuk.
hal tersebut dapat kita lihat dari aturan-aturan adat setempat baik pada
bidang pengelolaan kekayaan alamnya, seperti larangan menjual tanah keluar
desa, larangan melakukan simpan pinjam dari bank, maupun pada aspek acara
pernikahan sampai proses ketentuan pembagian harta warisan. Uniknya lagi
sehubungan dengan tanaman ‘terlarang’ di kawasan Desa Tenganan, setiap Kepala
Keluarga yang memiliki tanaman tersebut diharuskan membayar pajak Rp. 500,-
pertahun karena buah tersebut dapat dijual ke pasar. Hal ini menimbulkan rasa
sayang dan ketertiban dari setiap masyarakat kepada masing-masing tanaman yang
dimilikinya.
Selain
keunikan itu, terdapat pula hal yang tak kalah unik yaitu setiap kayu di Desa
Adat Tenganan dilindungi. Namun tentu tidak luput dari keperluan masyarakat
akan kayu. Masyarakat Desa Tenganan memiliki tata cara khusus dalam sistem
pelaksanaan penebangan kayu. Kayu hanya bisa ditebang jika ¾ bagiannya sudah
dinyatakan mati. Prosedur pernyataannya sendiri memerlukan proses yang cukup
rumit. Masyarakat yang ingin menebang kayu diwajibkan melaporkan keinginannya
dan meminta ijin pada Kepala Desa. Selain meminta ijin, merekapun harus
membuktikan dengan membawa minimal 5 orang saksi yang menyatakan bahwa pohon
yang ingin mereka tebang sudah mati ¾ bagiannya.
Oleh karena
itulah illegal logging dapat dihindarkan karena di Desa Tenganan tidak
diperkenankan memotong pohon yang masih hidup. Bila ada masyarakat yang
kedapatan menebnag kayu tanpa seijin Kepala Desa, maka sangsinya harus
mengembalikan 2 kali lipat dari tanaman yang ditebang. Sangsi-sangsi tersebut
disusun dalam suatu peraturan yang disebut awig-awig. Dalam awig-awig tersebut lebih
lanjut dijelaskan tentang sangsi tegas yang akan mendera si pelanggar aturan.
Beberapa di antaranya : Masyarakat yang menebang kayu didenda dengan mengembalikan
2 kali lipat harga kayu yang ditebang, pohon dilindungi yang berbuah tidak
boleh dipetik, bila dipetik maka didenda 25 kg beras, denda sesuai dengan
ketentuan,dilarang masuk Pura Desa, tidak ditanya oleh masyarakat lain dan yang
paling berat ialah dikeluarkan dari desa adat. (http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=Lomba+Tulis+YPHL+%3A+Aktual+Dalam+Harmoni%2C+Kearifan+Lokal+Desa+Adat+Tenganan+Bali&dn=20081031193352)
Beberapa
ketentuan diatas, memang tidak terlepas dari pengaruh system kekerabatan yang
turut mewarnai pelbagai bidang segi kehidupan yang ada termasuk pula pada
upacara perkawinan setempat dan larangan-larangan didalamnya termasuk sah
tidaknya perkawinan tersebut. Dari sistem kemasyarakatan tersebut, masyarakat
Desa Tenganan terdiri dari penduduk asli desa setempat. Hal ini disebabkan
karena sistem perkawinan yang dianut adalah sistem parental dimana
perempuan dan laki-laki dalam keluarga memiliki derajat yang sama dan berhak
menjadi ahli waris. Hal ini berbeda dengan sistem kekeluargaan yang dianut oleh
masyarakat di Bali pada umumnya.Di samping itu, mereka juga menganut sistem endogamy
dimana masyarakat setempat terikat dalam awig-awig ( hukum adat )
yang mengharuskan pernikahan dilakukan dengan sesama warga Desa Tenganan,
karena apabila dilanggar maka warga tersebut tidak diperbolehkan menjadi krama
( warga ) desa, artinya bahwa ia harus keluar dari Desa Tenganan.
Selama
ini kita telah mengenal system kekerabatan patrilineal, matrilineal dan
campuran. System patrilineal atau kita sebut juga dengan system parental adalah
merupakan system kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak ayah,.
Pada masyarakat adat yang menganut system kekerabatan matrilineal adalah
menarik garis keturunan dari pihak ibu, sedangkan pada masyarakat adat yang
menganut system kekerabatan campuran atau bebas adalah masyarakat yang tidak
mengenal kedua system kekerabatan diatas baik dari pihak ayah maupun pihak ibu.
Berbagai ketentuan tentang system kekerabatan tersebut turut mewarnai bentuk
pernikahan, pewarisan dan hubungan kekerabatan antara kedua belah pihak baik
pada pihak istri maupun pihak suami dengan keluarganya masing-masing. Pada
masyarakat adat yang menganut system kekerabatan patrineal, maka istri dengan
otomatis masuk dalam kekerabatan sang suami, termasuk hilangnya hak bagi anak
perempuan, jika mereka punya anak perempuan untuk mewarisi harta warisan sang
suami. Sebaliknya pada masyarakat adat yang menganut system kekerabatan
matrineal juga demikian bahwa pihak laki-laki tidak mendapatkan hak waris. Namu
seiring dengan perkembangan hukum adat yang berlangsung begitu lama, ternyata
ketentuan hak waris pada system kekerabatan patrilineal maupun matrilineal
tidak mempengaruhi pada masyarakat adat tenganan ini, artinya baik laki dan
perempuan mendapatkan hak waris yang sama.
Berdasarkan
gambaran di atas, desa adat tenganan sebagai entitas budaya local yang masih
hidup, sementara neo imperialisme dengan berbagai medianya tidak akan pernah
berhenti mengantarkan bangsa pada keterpurukan jika tidak mewaspadai dan
berpalin serta mengusir jauh budaya-budaya barat. Oleh
karenanya hal inilah yang menjadi tujuan kami melakukan penelitian ini
B. Identifikasi
masalah
Berdasarkan gambaran latar belakang
masalah diatas, maka perlu untuk mengidentifikasi masalah yaitu bahwa masyarakat
adat tenganan sebagai entitas budaya local yang masih hidup di kenal sebagai
masyarakat yang menganut system perkawinan patrilineal dan menganut prinsip
kesamaan hak waris antara laki dan perempuan yang tidak lain merupakan bagian
dari system kekerabatan campuran, hal inilah yang menyebabkan ada beberapa
reduksi pada system social yang berlaku yang tidak menutup kemungkinan juga
akan berlaku pada bentuk perkawinannya, dimana sampai saat ini masyarakat ini
masih menganut bentuk perkawinan antara sesama warga tanpa memandang kasta
sosialnya.
C. Batasan
masalah
Penelitian ini dibatasi pada system
dan jaminan terlaksananya system perkawinan adat desa tenganan di tengah arus
modernisasi dan globalisasi.
D. Rumusan
masalah
1.
Bagaimana gambaran system kekerabatan
masyarakat adat tenganan sebagai konsekuensi bentuk perwakinannya?
2.
Adakah berbagai peraturan khusus guna
menjamin terlaksananya peraturan adat termasuk sah tidaknya perkawinan dan
konsekuensi bagi yang melanggarnya?
3.
bagaimana masyarakat adat tenganan
merespon budaya luar(asing) dan menangkal pengaruh asing yang merusak nilai
asli masyarakatnya?
E. Tujuan
penelitian
Tujuan
peneltian ini adalah untuk :
1.
Memberikan
wawasan pengetahuan kepada mahasiswa dan pentingnya memahami nilai-nilai
kearifan local masyarakat desa adat tenganan yang masih bertahan sebagai wujud
nasionalisme mahasiswa terhadap bangsa
2.
Mengungkap
historis di balik perjalanan system social masyarakat adat desa tenganan di
tengah arus pusaran globalisasi yang pesat. dan begaimana masyarakat adat desa
tenganan merespon terhadap nilai-nilai luar tersebut.
F.
Manfaat penelitian
1.
Teoritis
a)
Sebagai ajang berpikir kritis tentang
sinergitas antara berbagai teori yang diperoleh di bangku kuliah dengan kondisi
riil di lapangan.
b)
Bahan acuan bagi analisis Membangun pola
hubungan yang sinergis antara Mahasiswa dengan masayarakat sekitar
dalam memecahkan permasalahan yang terjadi
2.
Praktis
a)
Bagi Mahasiswa
1.
Meningkatkan pemahaman mahasiswa
mengenai kearifan local yang masih hidup sebagai wujud nasionalisme mahasiswa
terhadap bangsa.
2.
Membangun pola hubungan yang sinergis
antara Mahasiswa dengan masayarakat sekitar dalam memecahkan permasalahan yang
terjadi
G. Gambaran
umum
Kegiatan KKL hukum ini di
laksanakan di desa adat tenganan kecamatan manggis kabupaten karangasem bali
yang bertujuan untuk menggali infomasi seputar system perkawinan adat tenganan
guna mengkaji keterkaitan teori yang di peroleh di bangku kuliah dengan kondisi
riil di lapangan. Kegiatan ini di laksanakan selama satu hari pada hari senin
13 juli 2009 dengan agenda mendengarkan langsung penyampaian dari tokoh adat
sekitar yang berdurasi selama 5 jam dengan Tanya jawab oleh para mahasiswa, selanjutnya
mahasiswapun di persilahkan untuk melihat bangunan adat dan melakukan
wawanacara langsung dengan warga sekitar.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kajian historis
Suku bangsa Bali merupakan suatu
kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaannya,
sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Alaupun ada
kesadaran yang demikian, namun kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi dan
perbedaan setempat. Disamping itu agama Hindu yang telah lama terintegrasi,
dirasakan pula sebagai suatu unsur yang memperkuat adanya kesadaran akan
kesatuan itu.
Perbedaan pengaruh dari kebudayaan
Jawa-Hindu diberbagai daerah di Bali dalam zaman Majapahit dahulu, menyebabkan
adanya dua bentuk masyarakat di Bali, ialah Masyarakat Bali-Aga dan
Bali-Majapahit (wong Majapahit). Masyarakat Bali-Aga kurang sekali mendapat
pengaruh dari kebudayaan Jawa-Hindu dari Majapahit dan mempunyai struktur
tersendiri. Orang Bali-Aga pada umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan
seperti Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tigawasa di Kabupaten Buleleng dan
desa Tenganan Pegringsingan di kabupaten Karangasem. Sekarang ini komunikasi
modern, pendidikan, serta proses modernisasi telah membawa banyak
perubahan-perubahan juga dalam masyarakat dan kebudayaan dari desa-desa
tersebut. Orang Bali-Majapahit yang pada umumnya diam di daerah-daerah dataran
merupakan bagian yang paling besar dari penduduk pulau Bali. (http://www.baliprov.go.id/index.php?action=news&task=detail&id=911)
Pulau Bali yang luasnya 5805,8 km2
dibelah dua oleh suatu pegunungan yang membujur dari barat ke timur, sehingga
membentuk dataran yang agak sempit di sebelah utara, dan dataran yang lebih
besar di sebelah selatan. Pegunungan tersebut yang untuk sebagian besar masih
tertutup oleh hutan rimba yang lebat, mempunyai arti penting dalam pandangan
hidup dan kepercayaan penduduk. Di wilayah pegunungan itulah terletak kuil-kuil
(pura) yang dianggap suci oleh orang Bali, seperti Pula Pulaki, Pura Batukau,
dan terutama sekali Pura Besakih, yang terletak di kaki Gunung Agung; sedangkan
arah membujur dari sederet gunung-gunung itu telah menyebabkan penunjukkan dari
arah yang berbeda untuk orang di Bali Utara dari orang di Bali Selatan.
Sebagai bagian dari
pulau Bali, Desa Tenganan atau dikenal dengan Tenganan Pegeringsingan,
merupakan salah satu dari sejumlah desa kuno di Pulau Bali. Pola kehidupan
masyarakatnya mencerminkan kebudayaan dan adat istiadat desa Bali Aga ( pra
Hindu ) yang berbeda dari desa-desa lain di Bali. Karenanya Desa Tenganan
dikembangkan sebagai salah satu obyek dan daya tarik wisata budaya.
Lokasi Desa Tenganan
Pegeringsingan terletak di Kecamatan Manggis, sekitar 17 km jaraknya dari Kota
Amlapura – ibukota kabupaten –, 5 km dari kawasan pariwisata Candidasa, dan
sekitar 65 km dari Kota Denpasar.
Sebagai obyek wisata
budaya, Desa Tenganan memiliki banyak keunikan dan kekhasan yang menarik untuk
dilihat dan dipahami. Keunikan lain yang dimiliki oleh Desa Tenganan yang tidak
dimiliki oleh daerah lainya di Bali bahkan di Indonesia adalah kerajinan tenun
double ikat kain Gringsing. Kata Gringsing itu sendiri berasal dari
kata “gering” yang berarti sakit atau musibah, dan “sing”
yang artinya tidak, maka secara keseluruhan gringsing diartikan sebagai penolak
bala.
Fenomena di atas
tidak terlepas dari sistem kemasyarakatan yang dikembangkan, bahwa masyarakat
Desa Tenganan terdiri dari penduduk asli desa setempat. Hal ini disebabkan
karena sistem perkawinan yang dianut adalah sistem parental dimana
perempuan dan laki-laki dalam keluarga memiliki derajat yang sama dan berhak
menjadi ahli waris.
Hal ini berbeda dengan sistem
kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat di Bali pada umumnya.Di samping itu, mereka
juga menganut sistem endogamy dimana masyarakat setempat terikat dalam
awig-awig ( hukum adat ) yang mengharuskan pernikahan dilakukan dengan
sesama warga Desa Tenganan, karena apabila dilanggar maka warga tersebut tidak
diperbolehkan menjadi krama ( warga ) desa, artinya bahwa ia harus
keluar dari Desa Tenganan dan secara fisik suami-isteri akan dihukum buang (maselong)
untuk beberapa lama, ke tempat yang jauh dari tempat asalnya. Semenjak tahun
1951, hukum semacam itu tidak pernah dijalankan lagi, dan pada waktu ini
perkawinan campuran antar-kasta sudah relatif lebih banyak dilaksanakan.
Adapun bentuk perkawinan yang dianggap
pantang adalah perkawinan bertukar antara saudara perempuan suami dengan
saudara laki-laki isteri (makedengan ngad), karena perkawinan yang
demikian itu dianggap mendatangkan bencana (panes). Perkawinan pantang
yang dianggap melanggar norma kesusilaan sehingga merupakan sumbang yang besar (agamiagemana)
adalah perkawinan antara seorang dengan anaknya, antara seorang dengan saudara
sekandung atau tirinya, dan antara seorang dengan anak dari saudara perempuan
maupun laki-lakinya (keponakannya).
Pada umumnya, seorang pemuda Bali itu
dapat memperoleh seorang isteri dengan dua cara, yaitu dengan cara meminang (memadik,
ngidih) kepada keluarga seorang gadis, atau dengan cara melarikan seorang
gadis (mrangkat, ngrorod). Kedua cara itu berdasakan adat.
Adat perkawinan Bali meliputi suatu
rangkaian peristiwa-peristiwa seperti kunjungan resmi dari keluarga si
laki-laki kepada keluarga si gadis untuk meminang si gadis atau memberi tahukan
kepada mereka bahwa gadis telah dibawa lari untuk dikawin; upacara perkawinan (masakapan);
dan akhirnya lagi suatu kunjungan resmi dari keluarga si pemuda ke rumah orang
tua si gadis untuk minta diri kepada para ruh nenek moyangnya. Di beberapa
daerah di Bali (tidak semua daerah), berlaku pula adat penyerahan mas kawin (patuku
luh), tetapi rupa-rupanya adat ini sekarang terutama diantara
keluarga-keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.
Sesudah menikah, suami isteri baru
biasanya menetap secara virilokal di komplek perumahan (uma) dari orang
tua si suami, walaupun tidak sedikit juga suami isteri baru yang menetap secara
neolokal dan mencari atau membangun rumah baru. Sebaliknya, ada pula suatu adat
perkawinan dimana suami isteri baru itu menetap secara uxorilokal di komplek
perumahan dari keluarga si isteri (nyeburin). Tempat dimana suami
isteri, menetukan perhitungan garis keturunan dan hak waris dari anak-anak dan
keturunan mereka selanjutnya. Kalau suami-isteri tinggal secara virilokal, maka
anak-anak mereka dan keturunan mereka selanjutnya akan diperhitungkan secara
patrilineal (purusa), dan menjadi warga dari dadia si suami dan
mewarisi harta pusaka dari klen itu. Demikian pula anak-anak dan keturunan dari
mereka yang menetap secara neolokal. Sebaliknya keturunan dari suami-isteri
yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilineal menjagi
warga dadia si isteri dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Dalam hal ini kedudukan si isteri adalah sebagai sentana
(pelanjut keturunan).
Melihat
realitas social masyarakat bali, dengan adanya beberapa perubahan system
pewarisan yang tidak mengenal diskriminasi antara laki-laki dan perempuan yang
justru itu ada pada masyraakat dengan system kekerabatan campuran justru telah
terjadi pada masyarakat tenganan yang menganut system patrineal ini. Berbagai
perubahan pada masyarakat dan kebudayaan Bali itu memang sudah mulai sejak pada
zaman kolonial, dengan adanya sistem pendidikan sekolah-sekolah dan dengan
kegiatan parawisata yang sudah dikembangkan secara luas waktu itu. Namun karena
sistim pendidikan hanya terbatas kepada tingkat sekolah-sekolah dasar,
sedangkan jumlah dari sekolah-sekolah itu hanya amat terbatas kepada beberapa
buah yang ada di dua-tiga kota saja, maka proses perubahan itu berjalan dengan
amat lambat. adapun kegiatan parawisata hanya menyebabkan perubahan-perubahan
lahir dan tidak mengenai sendi-sendi dari masyarakat dan kebudayaan bali. Pada
waktu negara kita menginjak zaman kemerdekaan, masyarakat dan kebudayaan Bali
masih tampak sama seperti berabad-abad yang lalu.
Segera sesudah
itu proses perubahan mulai dengan kecepatan yang amat besar. Hal itu terutama karena sistem pendidikan sekolah
dikembangkan dengan amat intensif dan extensif. Jumlah sekolah-sekolah ditambah
dengan berlipat ganda. Sekolah-sekolah menengah pertama dan atas didirikan di
mana-mana; ratusan pemuda putra Bali pergi ke luar Bali dan keluar negeri untuk
belajar; dan akhirnya universitas Udayana serta berbagai akademi dan perguruan
tinggi lainnya didirikan.
Sekarang telah
tampak bahwa proses perubahan masyarakat dan kebudayaan Bali yang amat mencepat
itu, telah mendapat effek sampai ke sendi-sendnya. Di dalam seksi-seksi di atas
elah kita lihat bahwa keketatan hukum adat mengenai sistem kasta dan klen sudah
mulai kendor. Kaum terpelajar dan cendikiawan Bali, dalam kesibukan mereka
sehari-hari, tidak sempat lagi untuk mengikuti detail dari adat-istiadat serta
upacara-upacara keagamaan Hindu-Bali secara teliti, sehingga dalam waktu yang
singkat akan timbul penyederhanaan dalam sistim upacara keagamaan. Kecuali itu
pembaharuan dalam lapangan penghidupan dan pendidikan agama Hindu-Bali juga
dengan sengaja dibina oleh sebuah majelis agama tertinggi bernama Parisada
Hindu Darma.
Dalam masa
pembangunan ekonomi berdasarkan rencana-rencana pembangunan lima tahun sekarang
ini, kecuali usaha intensifikas produksi pertanian dan usaha mengembangkan
industri-industri kecil, Bali dijadikan suatu daerah pariwisata yang utama.
Sungguhpun sektor kepariwisataan telah memberi lapangan kerja kepada banyak
orang Bali, dan telah menstimulasi sektor kerajinan, seni lukis, seni tari dan
seni suara, perhotelan, rekreasi dan transport, namun banyak orang Bali sendiri
juga mulai merasakan aspek-aspek negatif dari perkembangan itu, yang mengancam
nilai-nilai budaya yang mereka junjung tinggi. Dilema ini sedang dan akan
dialami oleh semua masyarakat yang mengalami zaman transisi pembangunan dan
proses modernisasi. Walaupun demikian, risiko ini harus dipikul, karena proses
modernisasi tidak dapat dihindari lagi dan mutlak harus kita alami semua.
B. Metode
Penelitian
1.
Desain Penelitian
Penelitian tentang hukum perkawinan adat desa
tenganan di tengah pusaran arus globalisasi merupakan penelitian deskriptif
kualitatif. Menurut Bodgen Dan Taylor yang dikutip oleh Lexy J. Moleong, metode
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang mengahasilkan kata-kata deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
diamati.
2.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini
dilaksanakan di desa tenganan kecamatan manggis keabupaten karangasem.
3.
Bidang Penelitian
Bidang penelitian yang akan dikaji dalam penelitian
ini adalah sisi historis perjalanan desa adat tenganan guna merespon
modernisasi
4.
Bentuk / Srategi Penelitian
Bentuk penelitian adalah kualitatif deskriptif
dengan strategi studi kasus terpancang (embedded case study research)
5.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan
adalah hasil wawancara, observasi, dan referensi. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah observasi/pengamatan, wawancara dan
dokumentasi.
a)
Observasi
atau pengamatan Adalah
kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh
alat indera (suharsimi arikunto,1992:128) observasi dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu:
Observasi non-sistematis yang dilakukan oleh pengamat dengan tidak menggunakan instrumen pengamatan. Observasi sistematis yang dilakukan oleh pengamat dengan menggunakan pedoman sebagai instrumen pengamatan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis observasi sistematis sehingga pengamatan dilakukan dengan menggunakan pedoman yang berupa format observasi.
Observasi non-sistematis yang dilakukan oleh pengamat dengan tidak menggunakan instrumen pengamatan. Observasi sistematis yang dilakukan oleh pengamat dengan menggunakan pedoman sebagai instrumen pengamatan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis observasi sistematis sehingga pengamatan dilakukan dengan menggunakan pedoman yang berupa format observasi.
b)
Wawancara
(Interview) Adalah teknik
pengumpulan data dengan cara melibatkan seseorang atau sekelompok orang yang
diteliti sebagai informan (pemberi informasi). Teknik wawancara dapat
dilaksanakan secara tidak tersusun dan secara tersusun. Pada teknik wawancara
secara tidak tersusun, peneliti menyerahkan pembicaraan kepada orang yang
diajak berwawancara (informan). Sedangkan pada teknik wawancara secara tersusun,
peneliti yang memimpin pembicaraan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kedua teknik wawancara tersebut sekaligus.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kedua teknik wawancara tersebut sekaligus.
c)
Dokumentasi
Menurut Suharsimi arikunto
(1992:131). Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau
veriabel berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, ligger, agenda dan sebagainya. Dalam penelitian ini dokumentasi
yang digunakan berupa catatan hasil tanya jawab dengan pemuka adat setempat
seputar kondisi riil sejarah berdirinya adat tenganan dan responnya terhadap
perubahan zaman.
d)
Teknik
Cuplikan ( Sampling )
adalah Teknik cuplikan menggunakan teknik purposive rampling dan internal
sampling.
e)
Validitas
Data yaitu
menggunakan teknik triangulasi dan impormant review
f)
Teknik
Analisis, Analisis data
dalam penelitian ini adalah suatu proses menyeleksi, menyederhanakan,
memfokuskan, dan mengorganisir data secara sistematis dan rasional untuk
menampilkan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk menyusun jawaban terhadap
tujuan penelitian (tim PPPGSM,1994:43).
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu :
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu :
1)
Reduksi data
Adalah proses penyederhanaan yang dilakukan melalui seleksi, pemfokusan dan
pengabstraksian data mentah menjadi informasi yangbermakna.
2)
Penyimpulan,
Proses pengambilan intisari dari sajian data yang telah terorganisir tersebut
dalam bentuk penyertaan kalimat dan kalimat atau formula yang singkat dan
padat tapi mengandung pengertian yang luas.
3)
Sumber data,
Data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Adapun jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi:
a.
Informasi atau Sumber dari kepala adat
setempat
b.
Tempat
penelitian yaitu desa adat tenganan
c.
Teks
yang berupa buku-buku.
Tekink analisis menggunakan model analisis interaktif
yang berpola siklus terdiri dari reduksi data, sajian data, dan verifikasi atau
penarikan kesimpulan
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari beberapa penyampaian
di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat adat tenganan memiliki
system social patrineal, akan tetapi mereka juga tidak mengenal prinsip
perbedaan hak-hak kewarisan baik laki ataupun perempuan seperti pada masyakat
adat minangkabau pada umumnya, disamping itu mayarakat adat tenganan tersebut
juga tidak mengenal konsep punah jika mereka hanya memiliki keturunan
perempuan. Artinya mereka tetap dianggap sama statusnya seperti anak laki-laki
yang akan melanjutkan keturunannya pada system patrineal tersebut. Dengan
demikian perubahan tatanan masyarakat tenganan akan semakin terlihat secara
perlahan-lahan mengikuti perkembangan zaman dengan melalui media pendidikan,
kebudayaan dan sebagainya sebgai bagian dari transisi pembangunan masyarakat
bali yang memang sudah dijalankan sejak masa pemerintahan colonial belanda.
B.
Saran-saran
Nasionalisme
bangsa adalah wujud keutuhan bangsa dan Negara dalam berbagai aspek kehidupan,
memang globalisasi menciptakan transisi pembangunan dalam setiap bidang
ekonomi, social, politik dan pendidikan. Akan tetapi filterisasi adalah upaya
bijak guna menangkal budaya luar tidak cocok pada kepribadian bangsa yang
majemuk ini.
Desa adat
tenganan sebagai entitas budaya local yang masih hidup dan bertahan meski beberapa
bagiannya sudah mengalami reduksi dari fanatisme patrilineal menuju masyarakat
masyarakat humanis (campuran) terutama pada sisi egalitarianism hak kewarisan.
akan tetapi cerminan sikap nasionalisme humanistic harus tetap dipertahankan
dalam kondisi apapun selama perinsip HAM tetap terinternalisasi dalam produk
kehidupan ini.
DAFTAR
PUSTAKA
follow : @ardimoviz
Bandar Bola Dengan Pasaran Terbaik Indonesia Hadir Dalam Android, Iphone, dan Laptop
ReplyDeleteTersedia Pasaran Sbobet - Maxbet - 368Bet
Bonus Deposit Pertama 10% / Cashback 5% - 10%
Yuk Gabung Bersama Bolavita Di Website www. bolavita .fun
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
BBM: BOLAVITA
WA: +628122222995
https://bolavitasport.news/2019/02/18/prediksi-bola-chelsea-vs-manchester-united-19-februari-2019/
https://www.judisabungayam.co/jadwal-pertandingan-sv388-kungfuchicken-online-19-februari-2019