Showing posts with label Kriminologi. Show all posts
Showing posts with label Kriminologi. Show all posts

Friday, 13 July 2012

PELANGGARAN HAK CIPTA


Makalah
“PELANGGARAN HAK CIPTA”
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kriminologi


PEMBAHASAN

1.      Pengertian Hak Cipta
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri.
Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
2.      Hak-hak yang tercakup dalam hak cipta
a.      Hak eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
·         membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
·         mengimpor dan mengekspor ciptaan,
·         menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
·         menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
·         menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan "hak eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk "kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun".
Selain itu, dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur pula "hak terkait", yang berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).
b.      Hak ekonomi dan hak moral
Banyak negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan TRIPs WTO (yang secara inter alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan Konvensi Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan tersebut.
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep "hak ekonomi" dan "hak moral". Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan[2]. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak Cipta.
3.      Perolehan dan pelaksanaan hak cipta
Pada umumnya, suatu ciptaan haruslah memenuhi standar minimum agar berhak mendapatkan hak cipta, dan hak cipta biasanya tidak berlaku lagi setelah periode waktu tertentu (masa berlaku ini dimungkinkan untuk diperpanjang pada yurisdiksi tertentu).
a)      Perolehan hak cipta
Setiap negara menerapkan persyaratan yang berbeda untuk menentukan bagaimana dan bilamana suatu karya berhak mendapatkan hak cipta; di Inggris misalnya, suatu ciptaan harus mengandung faktor "keahlian, keaslian, dan usaha". Pada sistem yang juga berlaku berdasarkan Konvensi Bern, suatu hak cipta atas suatu ciptaan diperoleh tanpa perlu melalui pendaftaran resmi terlebih dahulu; bila gagasan ciptaan sudah terwujud dalam bentuk tertentu, misalnya pada medium tertentu (seperti lukisan, partitur lagu, foto, pita video, atau surat), pemegang hak cipta sudah berhak atas hak cipta tersebut. Namun demikian, walaupun suatu ciptaan tidak perlu didaftarkan dulu untuk melaksanakan hak cipta, pendaftaran ciptaan (sesuai dengan yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku pada yurisdiksi bersangkutan) memiliki keuntungan, yaitu sebagai bukti hak cipta yang sah.
Pemegang hak cipta bisa jadi adalah orang yang memperkerjakan pencipta dan bukan pencipta itu sendiri bila ciptaan tersebut dibuat dalam kaitannya dengan hubungan dinas. Prinsip ini umum berlaku; misalnya dalam hukum Inggris (Copyright Designs and Patents Act 1988) dan Indonesia (UU 19/2002 pasal 8). Dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia, terdapat perbedaan penerapan prinsip tersebut antara lembaga pemerintah dan lembaga swasta.
b)      Ciptaan yang dapat dilindungi
Ciptaan yang dilindungi hak cipta di Indonesia dapat mencakup misalnya buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, ceramah, kuliah, pidato, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, pantomim, seni rupa dalam segala bentuk (seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan), arsitektur, peta, seni batik (dan karya tradisional lainnya seperti seni songket dan seni ikat), fotografi, sinematografi, dan tidak termasuk desain industri (yang dilindungi sebagai kekayaan intelektual tersendiri). Ciptaan hasil pengalihwujudan seperti terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai (misalnya buku yang berisi kumpulan karya tulis, himpunan lagu yang direkam dalam satu media, serta komposisi berbagai karya tari pilihan), dan database dilindungi sebagai ciptaan tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan asli (UU 19/2002 pasal 12).
c)      Penanda hak cipta
Dalam yurisdiksi tertentu, agar suatu ciptaan seperti buku atau film mendapatkan hak cipta pada saat diciptakan, ciptaan tersebut harus memuat suatu "pemberitahuan hak cipta" (copyright notice). Pemberitahuan atau pesan tersebut terdiri atas sebuah huruf c di dalam lingkaran (yaitu lambang hak cipta, ©), atau kata "copyright", yang diikuti dengan tahun hak cipta dan nama pemegang hak cipta. Jika ciptaan tersebut telah dimodifikasi (misalnya dengan terbitnya edisi baru) dan hak ciptanya didaftarkan ulang, akan tertulis beberapa angka tahun. Bentuk pesan lain diperbolehkan bagi jenis ciptaan tertentu. Pemberitahuan hak cipta tersebut bertujuan untuk memberi tahu (calon) pengguna ciptaan bahwa ciptaan tersebut berhak cipta.
Pada perkembangannya, persyaratan tersebut kini umumnya tidak diwajibkan lagi, terutama bagi negara-negara anggota Konvensi Bern. Dengan perkecualian pada sejumlah kecil negara tertentu, persyaratan tersebut kini secara umum bersifat manasuka kecuali bagi ciptaan yang diciptakan sebelum negara bersangkutan menjadi anggota Konvensi Bern.
Lambang © merupakan lambang Unicode 00A9 dalam heksadesimal, dan dapat diketikkan dalam (X)HTML sebagai ©, ©, atau ©
d)      Jangka waktu perlindungan hak cipta
Hak cipta berlaku dalam jangka waktu berbeda-beda dalam yurisdiksi yang berbeda untuk jenis ciptaan yang berbeda. Masa berlaku tersebut juga dapat bergantung pada apakah ciptaan tersebut diterbitkan atau tidak diterbitkan. Di Amerika Serikat misalnya, masa berlaku hak cipta semua buku dan ciptaan lain yang diterbitkan sebelum tahun 1923 telah kadaluwarsa. Di kebanyakan negara di dunia, jangka waktu berlakunya hak cipta biasanya sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun, atau sepanjang hidup penciptanya ditambah 70 tahun. Secara umum, hak cipta tepat mulai habis masa berlakunya pada akhir tahun bersangkutan, dan bukan pada tanggal meninggalnya pencipta.
Di Indonesia, jangka waktu perlindungan hak cipta secara umum adalah sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun atau 50 tahun setelah pertama kali diumumkan atau dipublikasikan atau dibuat, kecuali 20 tahun setelah pertama kali disiarkan untuk karya siaran, atau tanpa batas waktu untuk hak moral pencantuman nama pencipta pada ciptaan dan untuk hak cipta yang dipegang oleh Negara atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama (UU 19/2002 bab III dan pasal 50).
4.      Pelanggaran Hak Cipta
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran hak cipta apabila perbuatan tersebut melanggar hak eksklusif dari pencipta atau pemegang hak cipta.
Perbuatan yang ‘tidak’ dianggap sebagai pelanggaran hak cipta hal-hal sebagai berikut:
·         Pengumuman dan/atau perbanyakan Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
·         Pengumuman dan/atau perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama pemerintah, kecuali jika hak cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada ciptaan itu sendiri atau ketika ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
·         Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
·          Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan :
1.      Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta;
2.      Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
Ø  pembelaan di dalam atau di luar pengadilan;
Ø  ceramah yang semata2 untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
Ø  pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.
3.      Perbanyakan suatu ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika perbanyakan tersebut bersifat komersial;
4.      Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan dan pusat dokumentasi yang bersifat non komersial semata-mata untuk keperluan aktifitasnya;
5.      Perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti ciptaan bangunan;
6.      Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemilik program komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
5.      Upaya Penegakkan Hukum
a.       Pencegahan pelanggaran hak cipta
Jika ada suatu pelanggaran tentang hak cipta, maka pencipta atau pemegang hak cipta antara lain:
1)      Mengajukan permohonan Penetapan Sementara ke Pengadilan Niaga dengan menunjukkan bukti-bukti kuat sebagai pemegang hak dan bukti adanya pelanggaran Penetapan Sementara ditujukan untuk :
Ø  mencegah berlanjutnya pelanggaran hak cipta, khususnya mencegah masuknya barang yang diduga melanggar hak cipta atau hak terkait ke dalam jalur perdagangan, termasuk tindakan importasi;
Ø  menyimpan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta atau hak terkait tersebut guna menghindari terjadinya penghilangan barang bukti.
2)      Mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakannya.
Untuk mencegah kerugian yang lebih besar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pengumuman dan/atau perbanyakan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta (putusan sela).
3)      Melaporkan pelanggaran tersebut kepada pihak penyidik POLRI dan/atau PPNS DJHKI.
b.      Pihak yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang hak cipta?
Selain penyidik pejabat Polisi Negara RI juga pejabat pegawai negeri tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan hak cipta (Departemen Kehakiman) diberi wewenang khusus sebagai penyidik, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang hak cipta.

c.       Penegakan hukum atas hak cipta
Penegakan hukum atas hak cipta biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam hukum perdata, namun ada pula sisi hukum pidana. Sanksi pidana secara umum dikenakan kepada aktivitas pemalsuan yang serius, namun kini semakin lazim pada perkara-perkara lain.
Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di Indonesia secara umum diancam hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama tujuh tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah, sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab XIII).
Tindak pidana bidang hak cipta dikategorikan sebagai tindak kejahatan dan ancaman pidananya diatur dalam Pasal 72 yang bunyinya :
·         Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
·         Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidanan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
·         Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
·         Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
·         Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 19 atau Pasal 49 ayat (3) dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah);
·         Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah);
·         Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah);
·         Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
·         Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah);

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

follow: @ardimoviz




Baca Selengkapnya...

ALIRAN DALAM KRIMINOLOGI

Aliran-Aliran Pemikiran dalam kriminologi
Yang dimaksud dengan aliran pemikiran disini adalah cara pandang (kerangka acuan, paradigma, perspektif) yang digunakan oleh para kriminolog dalam melihat, menafsirkan, menanggapi dan menjelaskan fenomena kejahatan.
Oleh karena pemahaman kita terhadap dunia sosial terutama dipengaruhi oleh cara kita menafsirkan peristiwa-peristiwa yang kita alami/lihat, sehingga juga para ilmuwan cara pandang yang dianutnya akan mempengaruhi wujud penjelasan maupun teori yang dihasilkannya. Dengan demikian untuk dapat memahami dengan baik penjelasan dan teori-teori kriminologi, perlu diketahui perbedaan-perbedaan aliran pemikiran/paradigma dalam kriminologi.
Teori adalah bagian dari suatu penjelasan mengenai "sesuatu". Sementara suatu penjelasan dipandang sebgai masuk akal akan dipengaruhi oleh fenomena tertentu yang dipersoalkan di dalam keseluruhan bidang pengetahuan. Adapun keseluruhan bidang pengetahuan tersebut merupakan latar belakang budaya kontemporer yang berupa dunia informasi, hal-hal yang dipercaya (beliefs) dan sikap-sikap yang membangun iklim intelektual dari setiap orang pada suatu waktu dan tempat tertentu.
Di dalam sejarah intelektual, terhadap masalah "penjelasan" ini secara umum dapat dibedakan dua cara pendekatan yang mendasar yakni pendekatan spiritistik atau demonologik dan pendekatan naturalistik, yang kedua-duanya merupakan pendekatan yang dikenal pada masa kuno maupun modern.
Penjelasan demonologik mendasarkan pada adanya kekuasaan lain atau spirit (roh). Unsur utama dalam penjelasan spiritistik adalah sifatnya yang melampaui dunia empirik; dia tidak terikat oleh batasan-batasan kebendaan atau fisik, dan beroperasi dalam cara-cara yang bukan menjadi subyek dari kontrol atau pengetahuan manusia yang bersifat terbatas. Oleh karena spirit (roh) itu sendiri tidak tidak dapat dijelaskan dan tidak dapat dimengerti, sehingga ini merupakan cara penjelasan dan tidak dapat dimengerti, sehingga mempakan cara penjelasan yang paling sempurna bagi semua fenomena yang sulit dimengerti. Dasar penjelasannya sama, baik bagi yang kuno maupun modern, yaitu adanya kekuasaan yang lain. Pada pendekatan naturalistik, penjelasan yang diberikan lebih terinci dan bersifat khusus, serta melihatnya dari segi obyek dan kejadian-kejadian dunia kebendaan dan fisik. Apabila penjelasan demonologik menggunakan dasar kekuatan dunia lain untuk menjelaskan apayang terjadi, maka penjelasan naturalistik menggunakan ide-ide dan penafsiran terhadap obyek-obyek dan kejadian-kejadian serta hubungannya dengan dunia yang ada. Dengan demikian penjelasannya berada pada apayang diketahui atau dianggap benar menurut fakta fisik atau empirik dan dunia kebendaan. Pendekatan naturalistik inipun dikenal baik pada pada yang kuno maupun modern
Secara garis besarnya, pendekatan naturalistik dapat dibedakan dalam tiga bentuk sistem pemikiran atau aliran pemikiran atau dapat juga disebut paradigma, yang digunakan sebagai dasar kerangka pemikiran teori dan penelitian dalam memberikan penjelasan mengenai fenomena kejahatan. Perbedaan diantara ketiga alira ini begitu mendasar, sehingga batasan dan istilah kejahatan dan penjahat bagi kriminologi tertentu tergantung dari aliran pemikiran ini juga sangat berpengaruh pada cara pendekatan atau cara-cara yang ditempuh dalam mempelajari kejahatan dan konsepnya mengenai tugas yang diemban kriminologi. Adapun ketiga aliran pemikiran ini adalah aliran pemikiran klasik, positive dan kritis.

(1). Kriminologi Klasik
Aliran pemikiran ini mendasarkan pada pandangan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia, baik yang bersifat perorangan maupun yang bersifat kelompok. Intelegensi membuat manusia mampu mengarahkan dirinya sendiri, dalam arti dia adalah penguasa dari nasibnya, pemimpin dari jiwanya, makhluk yang mampu memahami dirinya dan berindak untuk mencapai kepentingan dan kehendaknya. Ini merupakan kerangka pemikiran dari semua pemikiran klasik seperti dalam filsafat, pesikologi, politik, hukum dan ekonomi. dalam konsep yang demikian maka masyarakat dibentuk sebagaimana adanya sesuai dengan pola yang dikehendakinya. Kunci kemajuan menurut pemikiran ini adalah kemampuan kecerdasan atau akal yang dapat ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan, sehingga manusia mampu mengontrol dirinya sendiri baik sebagai individu maupun sebagai suatu masyarakat. Di dalam kerangka pemikiran ini, lazimnya kejahatan dan penjahat dilfliat dari semata - mata dari batasan undang-undang.
Kejahatan didefinisikan sebagai setiap pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang undang-undang pidana, penjahat adalah setiap orang yang melakukan kejahatan. Kejahatan dipandang sebagai hasil pilihan bebas dari individu dalam menilai untung ruginya melakukan kejahatan. Oleh karena itu secara rasional tanggapan yang diberikan oleh masyarakat terhadap hal ini adalah dengan meningkatkan kerugian yang harus dibayar dan menurunkan keuntungan yang diperoleh dari kejahatan agar orang-orang tidak memilih untuk melakukan kejahatan. Dalam hubungan ini maka tugas kriminologi adalah untuk membuat pola dan menguji sistem hukuman yang dapat meminimalkan terjadinya kejahatan.
Dengan demikian mengarahkan pada persoalan penjeraan, baik yang bersifat teoritis maupun yang bersifat studi empirik dalam mengukur seberapa jauh perbedaan dalam isi undang-undang atau pelaksanaan hukuman mempengaruhi terjadinya kejahatan. Termasuk dalam lingkup ini adalah penologi. Dalam leteratur kriminologi, pemikiran klasik (dan neo klasik) maupun positive dan mencoba berbuat sesuatu terhadap kejahatan. Nama yang sangat terkenal yang dihubungkan dengan mashab klasik adalah Cesare Beccaria (1738 --1794).

(2). Kriminologi Positive
Aliran pemikiran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik yang bempa faktor biologik maupun kultural. Ini berarti bahwa manusia bukan mahkluk yang bebas untuk menuruti dorongan keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi mahkluk yang dibatasi atau ditentukan perangkat biologiknya dan situasi kulturalnya. Manusia berkembang bukan semata-mata kerena intelegensinya, akan tetapi melalui proses yang berjalan secara perlahan-lahan dari aspek biologiknya atau evolusi kultural. Aliran pemikiran positive ini menghasilkan dua pandangan yang berbeda yaitu determinis biologik yang menganggap bahwa organisasi sosial berkembang sebagai hasil individu dan perilakunya dipahami dan sebagai pencerminan umum dan warisan biologik. Sebaliknya determinis kultural menganggap perlikau manusia dalam segala aspeknya selalu berkaitan dan mencerminkan ciri-ciri dunia sosio kultural secara relatif tidak tergantung pada dunia biologik, dalam arti perubahan pada yang satu tidak berarti sesuai atau segera menghasilkan perubahan pada lainnya. Perubahan kultural diterima sebagai sesuai dengan bekerjanya ciri-ciri istimewa atau khusus dari fenomena kultural daripada sebagai akibat dari keterbatasan-keterbatasan biologik semata. Dengan demikian biologi bukan penghasil kultur, begitu juga penjelasan biologik tidak mendasari fenomena kultural.
Itu adalah pandangan dari pemikiran positivis yang dikenal dalam filsafat, sosiologi, sejarah, dan ilmu pengetahuan alampada umumnya, positivis menolak penjelasan yang berorientasi pada nilai, dan mengarahkan pada aspek-aspek yang dapat diukur dari pokok persoalannya dalam usaha mencari hubungan sebab akibat. Dalam kerangka pemikiran yang demikian, tugas kriminolog adalah menganalisis sebab-sebab perilaku kejahatan melalui studi ilmiah terhadap ciri-ciri penjahat dari aspek fisik, sosial, dan kultural. Oleh karena kriminologi positivis dalam bekerjanya menghadapi kesulitan dalam menggunakan batasan undang-undang, sebab undang-undang seringkali membedakan perbuatan legal dan ilegal atas dasar batas-batas yang sangat tajam (‘teknis') yang tidak ada hubungannya dengan ide sebab-sebab, sehingga cenderung memberikan berbagai "batasan ilmuah" terhadap kejahatan, yang lebih diarahkan pada perilaku ciri-ciri perilaku itu sendiri daripada perilaku yang didefinisikan oleh undang-undang pidana. Misalnya Mannheim membela pandangan bahwa kriminologi harus mempelajari seluruh perbuatan anti sosial, baik undang-undang dinyatakan sebagai kejahatan maupun tidak. Sementara Sutherland dalam studinya terhadap kejahatan white-collar menganggap kejahatan sebagai perbuatan yang merugikan masyarakat, baik yang diatur dalam undang-undang pidana maupun perdata, administrasi dan yang lainnya. Sedangkan Schwendingers memandang kejahatan sebagai pelanggan terhadap hak-hak asasi manusia
Cesare Lombroso (1835-1909) dapat dipandang sebagai pelopor aliran ini yang memulai studinya dengan mencari sebab-sebab kejahatan yang lebfli menekankan pada sifat dasar pelaku kejahatan daripada terhadap ciri-ciri perbuatan jahat.
Disamping itu aliran positivis dapat dipandang sebagai yang pertamakali dalam bidang kriminologi yang memformulasikan dan menggunakan cara pandang, metodologi, dan logika dari ilmu pengetahuan alam didalam perbuatan manusia.
Sebagai pelopor mashab positive, Lombroso lebih dikenal dengan teori biologi kriminal, namun perlu dicatat bahwa itu bukan merupakan dasar dari aliran positive. Dasar yang sesungguhnya dari positivisme dalam kriminologi adalah konsep tentang sebab kejahatan yang banyak (multiple factor causation), yakni faktor-faktor yang alami atau yang dibawa manusia dan dunianya, yang sebagian bersifat biologik dan sebagian bersifat biologik dan sebagian karena pengaruh lingkungan.

(3). Kriminologi Kritis
Pemikiran kritis yang dikenal dalam berbagai disiplin ilmu seperti politik, ekonomi, sosiologi dan filsafat, mucul pada beberapa dasawarsa terakhir ini. aliran pemikiran kritis tidak berusaha menjawab pertanyaan apakah perilaku manusia itu bebas atau ditentukan, akan tetapi lebih mengarahkan pada mempelajari proses-proses manusia dalam ( membangun dunianya dimana dia hidup. Kriminologi kritis misalnya berpendapat bahwa fenomena kejahatan sebagai konstruksi sosial, artinya manakala masyarakat mendefinisikan tindakan tertentu sebagai kejahatan, maka orang-orang tertentu dan tindakan-tindakan mungkin pada waktu tertentu memenuhi batasan sebagai kejahatan. Ini berarti bahwa kejahatan dan penjahat bukanlah fenomena yang berdiri sendiri yang dapat diidentifikasikan dan dipelajari secara obyektifoleh ilmuwan sosial, sebab dia ada hanya karena hal itu dinyatakan sebagai demikian oleh "masyarakat". Oleh karenanya krimmologi kritis mempelajari proses-proses dimana kumpulan tertentu dari orang-orang dan tindakan-tindakan ditunjuk sebagai kriminal pada waktu dan tempat tertentu. kriminologi kritis bukan sekedar mempelajari perilaku dari orang-orang yang didefinisikan sebagai kejahatan, akan tetapi juga dari perilaku dari agen-agen kontrol sosial (aparat penegak hukum), disamping mempertanyakan dijadikannya tindakan-tindakan tertentu sebagai kejahatan.
Menurut kriminologi kritis maka tingkat kejahatan dan ciri-ciri pelaku terutama ditentukan oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalankan. Misalnya apabila sebagaian besar pelaku kejahatan adalah orang-orang yang miskin, maka bukan kemiskinan yang merupakan "sebab" kejahatan, akan tetapi kerena bentuk-bentuk tindakan yang dilakukan oleh orang-orang miskin lebih banyak ditunjuk oleh undang-undang sebagai kejahatan dan dalam bekerjanya hukum maka undang-undang macam beginilah lebih banyak dijalankan. Ini berarti bahwa kita dapat memahami kejahatan semata-mata dengan mempelajari penjahat ("resmi"), akan tetapi harus dilihat dalam konteks keseluruhan proses kriminalisasi, yakni proses yang mendefinisikan orang dan tindakan tertentu sebagai kejahatan.
Sehubungan dengan itu, maka tugas kriminologi kritis adalah menganalisis proses-proses bagaimana cap jahat tersebut diterapkan terhadap tindakan dan orang-orang tertentu. Pendekatan kritis ini secara relatif dapat dibedakan antara pendekatan "interaksionis" dan "konflik". Pendekatan interaksionis berusaha untuk menentukan mengapa tindakan-tindakan dan orang-orang tertentu didefinisikan sebagai kriminal dimasyarakat tertentu dengan cara mempelajari "persepsi" makna kejahatan yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Mereka juga mempelajari makna kejahatan yang dimiliki agen kontrol sosial dan orang-orang yang diberi batasan sebagai penjahat. Disamping itu juga dipelajari makna proses sosial yang dimiliki kelompok bersangkutan dalam mendefiniskan seseorang sebagai penjahat. Dengan demikian untuk dapat memahami kejahatan, perlu dipelajari seluruh proses kriminalisasi, dalam arti baik proses-proses yang mempengaruhi pembentukan undang-undang yakni yang dijadikan orang (orang) tertentu sebagai penjahat.
Hubungan antara kejahatan dan proses kriminalisasi secara umum dinyatakan dengan digunakannya konsep "penyimpangan" (deviance) dan reaksi sosial. Kejahatan dipandang sebagai bagian dari "penyimpangan sosial" dalam arti bahwa tindakan yang bersangkuatan "berbeda" dari tindakan - tindakan yang dipandang sebagai normal atau "biasa" dimasyarakat, dan terhadap "tindakan menyimpang" tersebut diberikan reaksi sosial yang negatif, dalam arti secara umum masyarakat memperlakukan orang - orang tersebut sebagai "berbeda" dan "jahat".
Dengan demikian siapa yang dipandang menyimpang dari masyarakat tertentu tergantung pada masyarakat itu sendiri. Kadang -kadang kondisi yang mempengaruhi pemberian batasan itu tidak begitu jelas, sehingga pada akhirnya banyak sekali tergantung dari sikap polisi, jaksa dan hakim. (Misalnya pada kasus-kasus "perkosaan", khususnya tentang batas - batas "godaan" yang boleh dilakukan pria). Dalam arti luas, kejahatan (penyimpangan) seperti halnya kecantikan, ada di mata yang memandangnya. Dengan demikian penyimpangan dan dan reaksi sosial merupakan hubungan timbal balik yang hanya dapat dipahan-u dalam hubungan satu dengan yang lain. Dasar pemikiran interaksionis ini bersumber pada "symbolic interactionism" yang dikemukakan oleh Mead (1863-1931) yang menekankan bahwa "sumber" perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh peranan kondisi - kondisi sosial akan tetapijuga peranan individu dalam menangani, menafsirkan dan berinteraksi dengan kondisi - kondisi yang bersangkutan. Menurutnya manusia sebagai pencipta dan sekaligus sebagai produk dari lingkungannya. Sebaliknya pendekatan konflik lebih memfokuskan studinya dalam mempertanyakan "kekuasaan" dalam mendifinisikan kejahatan.
Menurut kriminologi konflik, orang berbeda karena memiliki perbedaan kekuasaan dalam mempengaruhi perbuatannya dan bekerjanya hukum Secara umum dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat kekuasaan yang lebih besar mempunyai kedudukan yang lebih baik (menguntungkan) dalam mendefinisikan perbuatan - perbuatan yang bertentangan dengan nilai - nilai dan kepentingannya sebagai kejahatan. Bersamaan dengan itu, mereka dapat mencegah dijadikannya tindakan - tindakan tersebut bertentangan dengan nilai - nilai dan kepentingan masyarakat yang lebih kecil kekuasaannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kejahatan merupakan kebalikan dari kekuasaan: semakin besar kekuasaan yang dimiliki seseorang atau kelompok orang - orang, semakin kecil kemungkinannya untuk dijadikan sebagai kejahatan dan begitu sebaliknya. Orientasi sosio - psikologis teori konflik terletak pada teori - teori interaksi sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep "proses sosial" dari perilaku kolektif.
Pandangan mi mengasumsikan bahwa manusia selalu merupakan mahkluk yang "terlibat" dengan kelompoknya, dalam arti hidupnya merupakan bagian dan produk dari kelompok kumpulan - kumpulannya. Pandangan ini juga beranggapan bahwa masyarakat merupakan kumpulan kelompok - kelompok yang bersama - sama memikul perubahan, namun mampu menjaga keseimbangan dalam menghadapi kepentingan - kepentingan dan usaha-usaha dari kelompok yang bertentangan. Kontinuitas interaksi kelompok-kelompok ini, serangkaian langkah atau tindakan dan peralawanannya yang berlangsung secara terus menerus, tindak pengawasan yang bersifat timbal balik, merupakan unsur penting dari konsep proses sosial. Pengaruh timbal balik yang berlangsung secara terus menerus didalam menjaga keseimbangan (stabilitas) yang segera dan dinairds memberi arti penting bagi ciri "perilaku kolektif yang berbeda dengan ide perilaku individual yang stimulan. Arus yang berubah ubah dari tindakan kolektif ini memberi kesempatan terhadap kemungkinan terjadinya pergeseran posisi secara terus menerus, dalam arti kemungkman mendapatkan status atau sebaliknya akan kehilangan. Akibatnya ada kebutuhan untuk menjaga dalam mempertahankan posisinya, disamping untuk selalu berusaha memperoleh kesempatan dalam memperbaiki status didalam hubungan dengan kelompok-kelompok yang ada Dengan demikian, menurut aliran pemikiran ini, konflik dipandang sebagai sesuatu yang penting dan mendasar dari proses sosial dimana kelangsungan sosial bergantung.
Pada tahun 1970-an muncul apa yang disebut sebagai "kriminologi Marxis" mengenai istilah "Kriminologi Marxis" terdapat beberapa penulis yang menentangnya. Menurut Paul Q. Harist, tidak ada teori Marxis tentang kejahatan baik dalam eksistensinya, maupun yang dapat dikembangkan dari marxisme yang ortodoks. Uraian mengenai pandangan Hirst mi dapat dibaca dalam Taylor et. al. (1987). Begitu juga dalam nada yang sama diajukan oleh Denisoff& McQuarie (1975). Di Amerika, Kriminologi Mands dikembangkan dari teori konflik yang antara lain diajukan oleh Quinney, sementara di Inggris berkembang dari perspektif interaksionis yang antara lain dapat ditemukan pada karya Taylor, Walton & Young (1973 dan 1978).
Tanpa bermaksud untuk memasuki lebih dalam pembicaraan tentang Kriminologi Marxis, namun perlu dicatat bahwa teori konflik tidak sama dengan teori Marxis. Lebih-lebih jika ada anggapan bahwa aliran kritis sama dengan aliran Marxis, perlu dipertanyakan. Teori Kriminologi Mands hanyalah merupakan salah satu usaha "mengembangkan" teori konflik yang juga dipertanyakan kebenaran istilah tersebut sebagaimana disebutkan diatas -disamping terdapat teori non Marxis, yang sangat berbeda. Selain itujuga perlu dicatat bahwa beberapa penulis bahkan mencampur adukkan antara teori konflik yang Marxis dengan yang non Marxis, seperti Reid dan Alien. Reid misalnya, menyatakan bahwa teori konflik berdasarkan pada 3 hal: (1) bahwa perbedaan bekerjanya hukum mencerminkan kepentingan rulling class (2) bahwa perbuatan kejahatan akibat dari cara produksi dalam masyarakat, dan (3) bahwa hukum pidana dibuat untuk mencapai kepentingan ekonomi dan rulling class. Apa yang disebut oleh Raid tersebut adalah tentang Kriminologi Marxis, bukan teori konflik yang non Mands. Misalnya konsep rulling class tidak digunakan oleh pendukung teori konflik yang non Marxis seperti Sellin, Void, Turk.
Secara umum teori konflik non Marxis menunjukkan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang mendasari terjadinya kriminalisasi atas perflaku tertentu dibandingkan dengan yang lainnya dan tentu saja dapat mengarah pada keinginan untuk mengubah hubungan tersebut. Hal ini membawa analisis "obyektif proses kriminalisasi ke arah usaha yang bersifat politis dalam membantu kelompok yang lemah dalam perjuangan menghadapi kelompok yang sangat kuat. Satu perbedaan yang mendasar antara kriminologi Marxis dengan yang non Marxis adalah pandangannya apakah kejahatan dianggap sebegai patologis. Pada perspektif konflik yang non Marxis maka kej ahatan dipandang sebagai tindakan yang normal dan orang - orang yang normal yang tidak memiliki kekuasaan cukup untuk mengontrol proses kriminalisasi, dan dalam perspektif perilaku menyimpang, kejahatan dipandang sebagai perwujudan dari kebutuhan masyarakat untuk mengkriminalisasikan perbedaan. Pendukung kedua perspektif kerenanya menolak ide bahwa kejahatan bersifat patologis dengan mengajukan argumentasi bahwa keduanya, yaitu perbuatan dan kriminalisasi terhadap perbuatan adalah normal. Sebaliknya bagi kriminologi Mands, dia kembali pada ide para positivis yakni bahwa kejahatan bersifat patologis, yang didasarkan pada konsep Marx bahwa orang yang menjadi "demoralized" dan subyek dari segala bentuk kejahatan dan perbuatan yang tidak senonoh apabila dimasyarakat mereka ditolak peranannya sebagai "produktif. Perilaku yang patologis tersebut berupa "batasan alamiah" sebagai "perbuatan" yang merugika masyarakat atau "tindakan - tindakan yang memperkosa hak - hak asasi manusia", dan dapat meliputi kejahatan - kejahatan lapis bawah, dimana orang - orang miskin merupakan sasarannya diantara mereka sendiri danjuga yang lainnya, maupun kejahatan - kejahatan lapisatas, seperti pencemaran, perang dan ekploitasi terhadap pekerja.
Sebab - sebab dari perilaku yang bersangkutan dianalisis dan ditemukan melekat pada sistem ekonomi kapitalistik dan untuk mengobatinya adalah melalui pembangunan masyarakat sosialis. Dengan demikian struktur argumentasinya — batasan alamiah tentang kejahatan, mencari sebab - sebab dan carta pengobatannya- identik dengan positivisme, akan tetapi sangat berbeda dengan perspektif teori konflik yang non Marxis dan teori interaksionis yang menganalisis proses - proses kriminalisasi. Bagi kriminologi Marxis maka "tindakan yang merugikan masyarakat" yang "memperkosa hak -hak asasi manusia" tidak dilihat sebagai normal akan tetapi merupakan produk yang bersifat patologis dari sistem ekonomi yang patologis.

Disamping itu negara - negara komunis seperti Uni Sovyet dan Jerman Timur (sebelum berantakan karena pengaruh glosnut dan perestroika pada tahun 1980-an) karena dipengaruhi oleh kondisi politik dan idelogi marxis yang dianut oleh negaranya, maka perkembangan kriminologinya selalu berorientasi pada kepentingan praktis melalui keputusan - keputusan partai— dan akan tetap menjadi bagian dari hukum pidana, dalam arti membantu pihak penguasa dalam melaksanakan hukum pidana, dalam arti membantu pihak penguasa dalam melaksanakan hukum pidana dan mencarikan bentuk - bentuk penghukuman dan tindakan yang dipandang efektif. (bandingkan dengan kriminologi klasik dan positive). Sedangkan studi kriminologi yang mempertanyakan kebijaksanaan dan tindakan penguasa seperti dalam pembuatan undang-undang maupun pelaksanaannya, dan karenanya juga mempertanyakan proses – proses kriminalisasi, dianggap bertentangan dengan penguasa dan dilarang. Ini berarti bahwa negara - negara komunis tidak dikenal aliran pemikiran kritis maupun konflik dalam kriminologi. Akhimya, perlu dicatat bahwa konflik yang non Marxis adalah pandangannya bahwasanya di dalam setiap masyarakat, apakah itu masyarakat kapitalis, komunis, fasis, demokratis atau apasaja, selalu terdapat konflik nilai - nilai dan kepentingan - kepentingan diantara bagian - bagian di dalam masyarakat, dan penyelesaian dari pertentangan dan konflik tersebut akan dipengaruhi oleh kekuasaan (power) dari kelompok-kelompok yang bertentangan. Sesuai dengan tuntutan masyarakat modern, maka cara-cara penyelesaian konflik ini terutama dilakukan melalui hukum, baik melalui pembuatan perundang -undangan maupun melalui bekerjanya hukuman.

Baca Selengkapnya...

PENANGGULANGAN KEJAHATAN DARI PENDEKATAN KONFLIK

Tugas   : Kriminologi

PENANGGULANGAN KEJAHATAN DARI PENDEKATAN KONFLIK

1.      Pengertian Pendekatan Konflik
Pendekatan konflik pada dasarnya memfokuskan studinya dalam mempertanyakan "kekuasaan" dalam mendifinisikan kejahatan. Menurut pendekatan konflik, orang berbeda karena memiliki perbedaan kekuasaan dalam mempengaruhi perbuatannya dan bekerjanya hukum. Secara umum dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat kekuasaan yang lebih besar mempunyai kedudukan yang lebih baik (menguntungkan) dalam mendefinisikan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan kepentingannya sebagai kejahatan. Bersamaan dengan itu, mereka dapat mencegah dijadikannya tindakan-tindakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dan kepentingan masyarakat yang lebih kecil kekuasaannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kejahatan merupakan kebalikan dari kekuasaan. Semakin besar kekuasaan yang dimiliki seseorang atau kelompok orang-orang, semakin kecil kemungkinannya untuk dijadikan sebagai kejahatan dan begitu sebaliknya. Orientasi sosio-psikologis teori konflik terletak pada teori-teori interaksi sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep "proses sosial" dari perilaku kolektif.
Pandangan mi mengasumsikan bahwa manusia selalu merupakan mahkluk yang terlibatdengan kelompoknya, dalam arti hidupnya merupakan bagian dan produk dari kelompok kumpulan-kumpulannya. Pandangan ini juga beranggapan bahwa masyarakat merupakan kumpulan kelompok-kelompok yang bersama-sama memikul perubahan, namun mampu menjaga keseimbangan dalam menghadapi kepentingan-kepentingan dan usaha-usaha dari kelompok yang bertentangan. Kontinuitas interaksi kelompok-kelompok ini, serangkaian langkah atau tindakan dan peralawanannya yang berlangsung secara terus menerus, tindak pengawasan yang bersifat timbal balik, merupakan unsur penting dari konsep proses sosial. Pengaruh timbal balik yang berlangsung secara terus menerus didalam menjaga keseimbangan (stabilitas) yang segera dan dinairds memberi arti penting bagi ciri "perilaku kolektif yang berbeda dengan ide perilaku individual yang stimulan. Arus yang berubah ubah dari tindakan kolektif ini memberi kesempatan terhadap kemungkinan terjadinya pergeseran posisi secara terus menerus, dalam arti kemungkman mendapatkan status atau sebaliknya akan kehilangan. Akibatnya ada kebutuhan untuk menjaga dalam mempertahankan posisinya, disamping untuk selalu berusaha memperoleh kesempatan dalam memperbaiki status didalam hubungan dengan kelompok-kelompok yang ada. Dengan demikian, menurut aliran pemikiran ini, konflik dipandang sebagai sesuatu yang penting dan mendasar dari proses sosial dimana kelangsungan sosial bergantung. Teori konflik menganggap bahwa orang-orang mempunyai perbedaan tingkat kekuasaan dalam mempengaruhi pembuata dan bekerjanya UU.
Pendekatan kriminologi yag menitikberatkan pada masalah (pendekatan konflik) pengertian kejahatan dari aspek power/kekuasaan artinya semakin besar kekuasaan yang dimiliki maka akan lebih mudah menentukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kepentingannya sebagai perilaku yang perlu diancam pidana/kejahatan.

2.      Penanggulangan Kejahatan dari Pendekatan Konflik
Penanggulangan Kejahatan dapat berupa:
a.       Upaya Represif
Adalah usaha yang dilakukan untuk menghadapi pelaku kejahatan seperti dengan pemberian hukuman (sanksi) sesuai dengan hukum yang berlaku dimana tujuan diberikan hukuman agar pelaku jera , pencegahan serta perlindungan sosial.
b.      Upaya Preventif
Adalah upaya penanggulangan non penal (pencegahan) seperti: memperbaiki keadaan sosial dan ekonomi masyarakat, meningkatkan kesadaran hukum dan disiplin masyarakat, serta meningkatkan pendidikan moral.
Upaya-upaya tersebut dilakukan agar hukum itu benar-benar berisikan nilai-nilai yang tidak hanya mencerminkan keinginan dari sekelompok orang yang pada waktu tertentu mempunyai kekuasaan baik dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya, tetapi harus mencerminkan keinginan dari seluruh warga masyarakat.
3.      Contoh kasus

Bupati Situbondo Diancam 20 Tahun Penjara

Rabu, 25 Maret 2009 | 13:36 WIB
TEMPO Interaktif , Jakarta: Bupati Situbondo Ismunarso diancam hukuman maksimal 20 tahun penjara oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi. "Terdakwa telah menggunakan dana kas daerah Kabupaten Situbondo tahun anggaran 2005-2007," ujar jaksa Agus Salim saat membacakan dakwaannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, 25 Maret 2009.
Ismunarso juga didakwa mengambil bunga khusus atas deposito on call milik Pemkab di PT BNI 46 dan menggunakan dana milik Pemkab yang diinvestasikan pada PT Sentra Artha Futures dan PT Sentra Artha Utama. Perbuatan tersebut melanggar pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Perbuatan ini merugikan negara sejumlah Rp 43,84 miliar," kata jaksa. Sebanyak Rp 1,11 miliar dinikmati oleh terdakwa sedangkan sisanya dibagikan-bagikan kepada beberapa pejabat pemkab dan Kepala BNI 46.
Terdakwa melakukan perbuatannya secara bersama-sama dengan orang lain. Mereka adalah I Nengah Suarnata (Kepala Bagian Keuangan), Juliningsih (Bendahara Umum Daerah), Darwin Siregar (Kepala BNI 46) dan Hamzar Bastian (Pimpinan BNI 46). Keempatnya didakwa dalam berkas yang terpisah.
Terdakwa menyatakan akan mengajukan keberatan terhadap dakwaan melalui eksepsi. Sidang yang dipimpin hakim Gusrizal ini akan dilanjutkan pekan depan, 1 April 2009.

Sumber:

Analisis:
Lagi-lagi pejabat pemerintah tersandung kasus korupsi. Pejabat yang harus berurusan dengan KPK kali ini adalah Ismunarso Bupati Situbondo. Ismunarso diduga telah menyelewengkan kas daerah sebesar Rp 43,84 miliar. Diduga kas daerah dana kas daerah Kabupaten Situbondo tahun anggaran 2005-2007 itu digunakan untuk memperkaya dirinya dan orang lain. Yang lebih gila lagi, uang hasil korupsi juga dibagikan kepada beberapa pejabat Pemkab.
Kasus Korupsi yang terjadi pada Bupati Situbondo menujukan bahwa orang mempunyai kedudukan yang tinggi dapat (menguntungkan) dalam menggunakan kekuasaanya dengan seenaknya tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi pada dirinya. Apalagi kejahatan (korupsi) yang dilakukan pejabat pemerintah itu sangat bertentangan dengan nilai dan norma serta hukum yang ada di Indonesia. Apalagi perbuatan korupsi sudah di atur di dalam UU, dan selayaknya pejabat itu mematuhinya. Kasus yang di alami Ismunarso, Bupati Situbondo tesebut menunjukan bahwa hukum (UU) hanya berisikan nilai-nilai yang tidak mencerminkan keinginan dari seluruh masyarakat pada umumnya, tetapi hanya untuk memenuhi keinginan dari sekelompok orang saja. Sekelompok orang tersebut merupakan kelompok yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan (baik dalam bidang politik, ekonomi, dan sosil budaya). Seseorang atau kelompok yang mempunyai tingkat kekuasaan yang lebih besar, mempunyai kesempatan yang lebih besar juga dalam menunjuk perbuatan-perbuatan yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai dan kepentingannya sebagai kejahatan.
Penanggulangan Kejahatan pada kasus diatas dapat melalui pendekatan konflik. Upaya yang dilakukan agar tidak terjadi kejahatan yang hanya berpihak pada sekelompok orang adalah:
Ø  Dalam setiap pembuatan UU atau peraturan, masyarakat diharapkan melibatkan diri dan aktif dalam proses pembuatan peraturan tersebut agar tidak terjadi kecurangan atau berpihak pada kepentingan kelompok.
Ø  Hukum dan peraturan perundang-undangan harus jelas memuat sanksi yang tegas agar dapat dijalankan secara baik dan terbuka oleh pejabat pemerintahan dan masyarakat.
Ø  Selalu mengawasi jalannya pemerintahan didaerah dan melaporkan kepada pihak yang berwenang jika ada suatu kecurangan didalam sistem pemerintahan tersebut.

4.      Kesimpulan:
Dari pembahasan dan analisis kasus di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan konflik menitikberatkan pada masalah kejahatan dari aspek kekuasaan artinya semakin besar kekuasaan yang dimiliki maka akan lebih mudah menentukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kepentingannya sebagai perilaku yang perlu diancam pidana/kejahatan. Penanggulangan kejahatan dari pendekatan konflik dapat dilakukan dengan penegakkan hukum dan peraturan dengan sanksi-sanksi yang tegas. Hal itu dilakukan agar penguasaan suatu kekuasaan tidak ada pada satu pihak saja yang hanya melakukan suatu kebijakan sesuai keinginannya atau kelompok, tetapi harus dilakukan dan diawasi secara bersama-sama (pejabat pemerintah dan masyarakat) agar mencerminkan nilai-nilai yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Nama   : Ardi Widayanto
NIM    : 07401241043
Prodi   : PKnH

follow: @ardimoviz





Baca Selengkapnya...

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
;