Showing posts with label hukum. Show all posts
Showing posts with label hukum. Show all posts

Friday, 31 August 2012

KONTRAS DAN UPAYA PEMAJUAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA


LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN (KKL) POLITIK
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ketika reformasi digulirkan, maka besar harapan rakyat Indonesia akan memasuki tahap yang penting dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Wajar saja apabila harapan itu muncul dan menjadi salah satu agenda reformasi. Hal itu karena sejarah Orde Baru yang dipenuhi dengan catatan hitam terhadap hak asasi manusia. Mulai dari pembunuhan, penghilanglan, penyiksaan dan perampasan hak-hak oleh penguasa. Termasuk hak berpolitik. Puncak dari itu semua adalah adanya pembunuhan masal yang dilakukan oleh tentara kepada anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meraka semua menjadi korban hanya dikarenakan mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan penguasa.
Seiring dengan semangat berdemokrasi pasca runtuhnya  rezim Soeharto, wacana terhadap hak asasi manusia kembali dimunculkan dan diperjuangkan. Hasilnya, adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang lebih mengakomodasi dan menghormati kedudukan hak asasi. Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang HAM diberlakukan sebagai peraturan organik terhadap batang tubuh UUD 1945. Lembaga resmi pemerintahan dibentuk seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Peradilan HAM, dll.  
Akan tetapi, pembentukan peraturan dan lembaga tersebut tidak lantas mampu mengatasi semua persoalan mengenai penegakan hak asasi manusia. Salah satu indikatornya adalah ketidakmampuan lembaga tersebut dalam mengungkap dan memproses secara hukum pelaku kejahatan hak asasi manusia masa lalu. Ironisnya,  ketika hak asasi menjadi sorotan publik dan menjadi isu sentral, diwaktu bersamaan terjadi kejahatan terhadap hak asasi diantaranya adalah penculikan dan pembunuhan para aktivis 1998, terbunuhnya aktivis HAM “Munir”, sampai kejahatan terhadap korban lumpur Lapindo.
Pelanggaran terhadap HAM di Indonesia mempunyai faktor penyebab yang sangat kompleks. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1.      Masih belum adanya kesepahaman pada tataran konsep hak asasi manusia antara paham yang memandang HAM bersifat universal dan paham yang bersifat partikularisme.
2.      Adanya pandangan bahwa HAM bersifat individualistik yang akan mengancam kepentingan umum
3.      Kurang berfungsinya lembaga-lembaga penegak hukum
4.      Pemahaman yang belum merata tentang HAM, baik di kalangan sipil maupun militer (Sunarso dkk 2006: 78).
Dari ke empat faktor tersebut ditambah adanya budaya impunitas yang melekat erat dan kuat dalam penegakan hukum serta tipisnya rasa tanggung jawab yang berakibat pada begitu mudahnya menyalahkangunakan kekuasaan, meremehkan tugas, dan tidak mau memperhatikan orang lain semakin menyempurnakan kompleksitas faktor pelanggaran HAM di Negara ini
Penegakan HAM di Indonesia kedepannya diprediksi masih akan menemui berbagai hambatan dan tantangan. Terlebih hambatan dan tantangan dari dalam itu sendiri karena mengingat bahwa pelanggaran HAM didominasi oleh pemerintah. Hukum yang dibuat oleh penguasa terkadang tidak mencerminkan semangat keadilan masyarakat, karena proses pembuatannya tidak melibatkan masyarakat.
Indonesia adalah termasuk negara yang yang telah banyak melakukan pelanggaran HAM berat terhadap rakyatnya seperti kasus pembantaian anggota dan simpatisan PKI, kasus Timor-Timur, Aceh, Papua, Tanjung priok, penculikan dan pembunuhan aktivis dan lumpur lapindo yang sampai saat ini upaya penegakan melalui lembaga resmi pemerintahan dinilai belum mampu bekerja sesuai dengan yang diharapkan.
Ketidakmampuan negara dalam menegakkan HAM, mendorong berbagai elemen masyarakat untuk berpartisipasi memecahkan kebekuan dan kebuntuan pelaksanaan tugas lembaga resmi pemerintahan tersebut. kelompok masyarakat yang mempunyai keahlian tertentu membuat sebuah organisasi yang dikelola secara swadaya, yang ditujukan untuk menyuarakan hati nurani masyarakat dan mampu menjadi sumber daya politik yang potensial bagi terwujudnya civil society yang kemudian lebih dikenal dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan korban Tindak Kekerasan) adalah salah satu diantara ratusan atau bahkan ribuan LSM/NGO di Indonesia. Lembaga swadaya ini mempunyai fokus/ruang gerak pemajuaan kesadaran rakyat akan pentingnya penghargaan terhadap hak asasi manusia. Besar harapan kepada lembaga masyarakat ini untuk menjadi kapal pemecah “es” kebekuan penegakan HAM di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana struktur kelembagaan  KontraS ?
2.      Bagaimana peranan/partisipasi KontraS dalam upaya menegakkan HAM di Indonesia?
3.      Apa saja tantangan dan hambatan yang dialami KontraS dalam menjalankan fungsinya?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah:
1.      Mengetahui struktur kelembagaan KontraS
2.      Mengetahui peranan/partisipasi KontraS dalam upaya menegakkan HAM di Indonesia
4.      Mengetahui tantangan dan hambatan yang dialami KontraS dalam menjalankan fungsinya

D.    Manfaat Penulisan
Berdasarkan dari tujuan yang dikemukakan di atas, maka diharapkan penulisan ini mempunyai kegunaan sebagai berikut:
1.      Manfaat Teoritis
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan terutama bidang ilmu politik yang dapat dijadikan acuan dalam penulisan selanjutnya.
2.      Manfaat Praktis
a.       Bagi Penulis
Penulisan ini dapat menambah wawasan tentang keadaan terkini mengenai penegakan hak asasi manusia oleh LSM khususnya KontraS Selain itu dapat dijadikan sarana penyaluran minat dan bakat menulis karya tulis ilmiah, serta wahana untuk melatih berpendapat.
b.      Bagi Mahasiswa
Bagi Mahasiswa diharapkan dengan adanya penulisan ini akan diperoleh informasi mengenai bentuk-bentuk partisipasi LSM KontraS dalam upaya menegakkan, melindungi dan menghormati hak asasi manusia di Indonesia.

E.     Waktu dan Tempat Pelaksanaan

a.       Waktu Pelaksanaan
Hari                       :
Tanggal                 : 13 – 16 Desember  2009
b.      Tempat pelaksanaan
Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Politik ini dilaksanakan di Kantor kesekretariatan KontraS



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Profil KontraS
KontraS yang lahir pada 20 Maret 1998 merupakan gugus tugas yang dibentuk oleh sejumlah organisasi civil society dan tokoh masyarakat. Gugus tugas ini semula bernama KIP-HAM yang sebagai yang telah terbentuk pada tahun 1996. Sebagai sebah Komisi yang bekerja memantau persoalan HAM , KIP-HAM banyak mendapat pengaduan dan masukan dari masyarakat, baik masyarakat korban maupun masyarakat  yang berani menyampaikan aspirasinya tentang problem HAM yang terjadi di daerah. Pada awalnya KIP-HAM hanya menerima beberapa pangaduan melalui surat dan kontak telpon dari masyarakat, namun lama kelamaan sebagian masyarakat korban menjadi berani untuk menyampaikan pengaduan langsung ke sekretariat KIP-HAM.
Dalam perjalanannya kontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tetapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh, Papua dan . Tim-tim maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Pon banyakso. Selanjutnya kontraS berkembang menjadi organisasi yang indenden dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktik kekerasan dan pelanggaran HAM sebagai akibat  dari penyalahgunaan kekuasaan. Dalam perumusan kembali peran dan posisinya, kontraS mengukuhkan kembali visi dan misinya untuk turut memperjuangkan demokrasi dan HAM bersama dengan entitas gerakan civil society lainnya.

B.     Susunan Kepengurusan Badan Pekerja Kontras
Dewan Pembina
Ketua                                     : Asmara Nababan
Sekretaris                               : Ati Nurbaiti
Bendahara                             : Zumrotin
Dewan Federasi
Ketua                                     : Fauzi Abdullah
Federasi Kontras
Sekretaris Jenderal     : Oslan Purba
Kontras Jakarta
Koordinator               : Usman Hamid
Wakil Koordinator I : Indria Fernida
Wakil Koordinator II            : Haris Azhar

Biro dan Divisi KontraS :
Divisi Pemantauan Impunitas            :Yati Andriyani
Divisi Politik, Hukum dan Ham        : Sri Suparyati
Biro Internasional                              : Sri Suparyati
Biro Penelitian dan Pengembangan   : Papang Hidayat
 Biro Monitoring dan Dokumentasi    : Syamsul Alam Agus
 Biro Keuangan                                   : Neneng Nrasmus
  Biro Rumah Tangga dan sdm          : Regina Astuti
KONTRAS ACEH
Koordinator: Hendra Fadli
KONTRAS SUMUT
Koordinator: Diah Susilowati
KONTRAS PAPUA
Koordinator: Harry Maturbongs
KONTRAS SULAWESI
Koordinator: Andi Suaib




C.    Program Kerja
Pergerakan yang dilakukan dalam upaya penegakan HAM di Indonesia dapat digolongkan dalam lima aksi, yaitu:
1.      Prevensi Viktimisasi dalam Politik Kekerasan
Upaya bersifat preventif untuk melindungi kepentingan masyarakat dari adanya kecenderungan yang menempatkan bagian-bagian dalam masyarakat sebagai sasaran dan korban politik kekerasan yang dilakukan oleh negara dan atau kekuatan-kekuatan besar lain yang potensial melakukan hal itu.
2.      Due Process of Law
Menuntut adanya pertanggungjawaban hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAM, melalui mekanisme dan prosedur hukum yang fair. Dalam kategori ini, KontraS melihat dalam bentuknya yang lebih luas, yakni segala upaya yang harus dilakukan untuk turut memperjuangkan terbentuknya sebuah pranata hukum yang menjamin penghormatan yang tinggi terhadap hak dan martabat manusia.
3.      Rehabilitasi
Rehabilitasi korban meliputi upaya pemulihan secara fisik maupun psikis dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh tindak kekerasan negara dan bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya, mutlak diperlukan dalam melakukan advokasi yang lebih luas. Dalam kerangka ini, pengikutsertaan korban dan keluarga korban sebanyak mungkin dalam proses advokasi adalah konsekuensinya. Sehingga metode pengorganisasian korban dan keluarga korban untuk turut serta dalam upaya advokasi juga ditujukan untuk melakukan usaha penyadaran dan penguatan elemen masyarakat secara lebih luas.
4.      Rekonsiliasi dan Perdamaian
Rekonsiliasi adalah tuntutan yang tidak terhindarkan dari fakta terdapatnya banyak kasus besar menyangkut tindakan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu yang sulit terungkap dan dimintakan pertanggungjawaban. Rekonsiliasi juga merupakan langkah alternatif yang mungkin diambil dalam menghadapi banyaknya fenomena pertikaian massal yang bersifat horisontal dan melibatkan sentimen-sentimen suku, agama, etnis dan ras yang terjadi di tanah air. Langkah ke arah itu tentu saja harus didahului oleh sebuah pengungkapan fakta-fakta dan kebenaran yang sejelas-jelasnya sebagai syarat mutlak adanya rekonsiliasi. Oleh karena itu KontraS dituntut untuk turut serta melakukan upaya-upaya nyata dan mendorong segala usaha yang mengusahakan terciptanya sebuah rekonsiliasi dan perdamaian yang lebih nyata sebagai langkah penyelesaian berbagai persoalan HAM di masa lalu dan pertikaian massal secara horisontal di berbagai daerah.
5.      Mobilisasi Sikap dan Opini
a)      Anti politik kekerasan
Secara intensif dikembangkan wacana tentang anti politik kekerasan dan gerakan anti kekerasan secara lebih luas. Misi dari proses ini adalah membangun sensitifitas masyarakat atas adanya berbagai bentuk kekerasan, secara khusus terhadap praktik penghilangan orang secara paksa, perkosaan, penganiayaan, penangkapan dan penahanan orang secara sewenang-wenang, pembunuhan diluar proses hukum, oleh unsur-unsur negara. Dalam jangka panjang diharapkan terjadi sebuah koreksi mendasar atas politik kekerasan yang selama ini berlangsung.
b)     Pelanggaran HAM
Dalam jangkauan lebih luas, KontraS harus menempatkan porsi yang sangat penting bagi segala bentuk pelanggaran HAM yang pernah terjadi dan mengedepankannya di dalam wacana publik untuk dipersoalkan sebagai upaya membangun kesadaran akan pentingnya pengormatan terhadap HAM. Secara prinsip, problem HAM juga harus dipersoalkan sebagai hal mendasar yang harus dipertimbangkan pada setiap pengambilan kebijakan oleh negara maupun setiap usaha yang dilakukan demi membangun kehidupan bermasyarakat dalam dimensinya yang luas. Untuk itu, KontraS melakukan pemantauan dan pengkajian yang serius terhadap segala hal menyangkut penegakan HAM di Indonesia.
c)      Human Love Human
Adalah sebuah kampanye yang bertujuan melawan setiap bentuk kekerasan dan penindasan dengan mengajak manusia untuk kembali mencintai kemanusiaan. Dengan mencintai sesama manusia, lingkungan, dan alam seisinya, maka cara-cara kekerasan tidak menjadi solusi dari sebuah masalah. Kampanye HLH ini melibatkan orang-orang muda dari berbagai kalangan.

BAB III
PENUTUP
Seiring dengan semangat berdemokrasi pasca runtuhnya  rezim Soeharto, wacana terhadap hak asasi manusia kembali dimunculkan dan diperjuangkan. Hasilnya, adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang lebih mengakomodasi dan menghormati kedudukan hak asasi. Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang HAM diberlakukan sebagai peraturan organik terhadap batang tubuh UUD 1945. Lembaga resmi pemerintahan dibentuk seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Peradilan HAM, dll.  
Ketidakmampuan negara dalam menegakkan (menyelesaikan pelanggaran) HAM, mendorong berbagai elemen masyarakat untuk berpartisipasi memecahkan kebekuan dan kebuntuan pelaksanaan tugas lembaga resmi pemerintahan tersebut. KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan korban Tindak Kekerasan) mampu hadir di tengah ketidakmampuan negara menegakan nilai-nilai HAM. Lembaga swadaya ini mempunyai fokus/ruang gerak pemajuaan kesadaran rakyat akan pentingnya penghargaan terhadap hak asasi manusia. Besar harapan kepada lembaga masyarakat ini untuk menjadi kapal pemecah “es” kebekuan penegakan HAM di Indonesia.
Upaya-upaya yang dilakukan kontras dalam upaya membumikan nilai-nilai HAM adalah prevensi viktimisasi dalam politik kekerasan, due process of law, rehabilitasi, rekonsiliasi dan perdamaian, serta Mobilisasi Sikap dan Opini.
Penegakan HAM di Indonesia kedepannya diprediksi masih akan menemui berbagai hambatan dan tantangan. Terlebih hambatan dan tantangan berasal dari dalam mengingat bahwa pelanggaran HAM didominasi oleh pemerintah. Oleh karena itu, upaya-upaya penegakan HAM harus terus menerus dilakukan dan salah satu caranya adalah dengan penguatan civil society.
Baca Selengkapnya...

Thursday, 30 August 2012

ASAS-ASAS PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)


1.Kajilah asas-asas didirikannya PBB. Apakah asas-asas tersebut dipatuh-taati oleh negara-negara anggota? untuk masing-masing asas uraikan sesuai dengan pengamatan saudara. Tunjukan dengan bukti-bukti nyata!.
JAWABAN:
ASAS-ASAS PBB
Adapun asas-asas PBB adalah sebagai berikut :

1)      PBB didirikan atas dasar persamaan kedudukan dari semua anggota.
Ø  Masing-masing anggota mempunyai kedaulatan yang sama.
2)      Semua anggota harus memenuhi kewajiban-kewajiban mereka dengan ikhlas sebagaimana tercantum dalam piagam PBB.
Ø  Tiap-tiap anggota dengan sepenuh hati harus memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagaimana tercantum dalam Piagam
3)      Semua anggota akan menyelesaikan perselisihan internasional mereka secara damai.
Ø  Semua anggota harus menyelesaikan setiap persengketaan internasional mereka dengan jalan damai sehingga tidak membehayakan perdamaian,keamanan dan keadilan.
4)      Dalam melaksanakan hubungan internasional setiap anggota harus menghindari penggunaan ancaman dan kekerasan terhadap negar-negara lain.
Ø  Dalam perhubungan internasional semua anggota harus mencegah tindakan-tindakan yang berupa ancaman atau kekerasan terhadap suatu daerah atau kemerdekaan politik suatu negara yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB.
5)      Semua anggota harus membantu PBB dalam tindakan-tindakan yang diambilnya berdasarkan ketentuan piagam PBB.
Ø  Semua anggota akan memberi bantuan apa saja yang diperlukan dan dijalankan oleh PBB sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Piagam, serta tidak akan memberi bantuan kepada negara manapun, jika PBB sedang menjalankan tindakan terhadap negara itu.
6)      PBB akan menjaga agar negara-negara yang bukan anggota bertindak sesuai dengan asas-asas yang ditetapkan oleh PBB.
Ø  PBB menjamin bahwa negara-negara yang bukan anggota juga akan bertindak selaras dengan dasar-dasar/asas-asas ini, sekedar perlu untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional.
7)      PBB tidak akan campur tangan masalah dalam negeri masing-masing negara anggota.
Ø  PBB tidak dibenarkan untuk campur tangan dalam hal yang pokoknya termasuk urusan rumah tangga dari suatu negara, atau akan memaksakan anggota-anggotanya untuk menyelesaikan masalah tersebut menurut piagam ini, tetapi asas ini tidak berarti akan membatalkan sesuatu tindakan untuk menjalankan peraturan sebagaimana dimaksud dalam BAB VII Piagam PBB.

Di dalam perjalanannya, ternyata PBB telah beberapa kali menggunkan ketentuan asas keenam yaitu “PBB menjamin bahwa negara-negara yang bukan anggota juga akan bertindak selaras dengan dasar-dasar/asas-asas ini, sekedar perlu untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional”. Contohnya antara lain:
1)      Pada tahun 1946 Polandia menganjurkan agar Dewan Keamanan mencap pemerintahan Frace di Spanyol sebagai sesuatu yang membahayakan perdamaian dan keamanan internasional serta mendesak kepada seluruh anggota PBB agar memutuskan hubungan diplomatik dengan negara itu. Atas anjuran Polandia itu Dewan Keamanan berpendapat bahwa soal tersebut ternyata belum menimbulkan keadaan yang membahayakan perdamaian. Namun begitu, Dewan Keamanan memperingatkan agar keadaan dalam negara itu selalu diikuti dengan teliti. Pada tahun 1946 itu Spanyl belum menjadi anggota PBB.
2)      Pada waktu Yunani menuduh terhadap para gerilyawan yang berpusat di Albania dan Bulgaria, yang pada waktu itu kedua negara tersebut belum menjadi anggota PBB. Yunani menuduh kedua negara itu membantu pasukan-pasukan yang menyerang Yunani sehingga dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Masalah itu juga dibawa ke Dewan Keamanan yang kemudian tindak lanjutnya diserahkan kepada panitia khusus.
3)      Pada Resolusi Dewan Keamanan No.232 tahun 1966 mengenai sanksi ekonomi yang dujatuhkan kepada Rhodesia yang juga belum menjadi anggota PBB, karena tindakannya yang dinilai menggangu perdamaian dan kemanan internasional.
Sebagai institusi internasional terbesar, PBB bertugas menjaga stabilitas internasional yang terwujud dalam tiga hal: peningkatan perdamaian; penciptaan perdamaian; dan pemeliharaan perdamaian. Kenyataannya, tugas itu kerap menghadapi hambatan yang justru datang dari anggotanya sendiri. Dalam kasus yang berkait dengan negara yang memiliki power relatif lemah, peran PBB terlihat amat menonjol dan kuat.
Tetapi dalam menghadapi aksi negara kuat, PBB justru sebaliknya, terlihat lemah tidak berdaya. Ini terjadi karena dalam hubungan internasional, pembangunan dan pelaksanaan suatu hukum, kaidah, dan tata aturan berbagai kesepakatan lembaga internasional, selalu mengalami aneka hambatan dan ketidak-efektivan karena terhadang batasan kedaulatan setiap negara atau tidak adanya lembaga internasional otoritatif yang berkompeten dalam pengaturan sistem internasional. Segala norma dan institusi internasional seolah mandul tidak berdampak serius terhadap para defector, terutama negara-negara yang memiliki power relatif besar.
Hukum internasional dan berbagai norma organisasi internasional banyak ditaati, tetapi negara-negara besar dapat melanggarnya jika mereka mau tanpa ada sanksi berarti dari negara-negara lain atau PBB sekalipun. Dengan nada mengejek, Stalin menganalogkan PBB seperti Paus, tidak memiliki pasukan militer sendiri serta perindustrian untuk menghasilkan berbagai komoditas yang dapat digunakan guna mengubah kebijakan eksternal maupun internal suatu negara.

 

DAFTAR PUSTAKA

Pawiroputro, Ekram. 1995. Organisasi Internasional Global. Yogyakarta: Laboratorium PMP dan KN FPIPS-IKIP Yogyakarta.

http://farahmuthia.blogspot.com/search/label/tugas%20pkn%20XI%20IPA
http://my.opera.com/karuniayeni/blog/show.dml/9036141

Baca Selengkapnya...

Tuesday, 28 August 2012

Mengkaji Dewan Keamanan PBB

Kaji Dewan Keamanan, dan temukan resolusi-resolusi yang berhasil ditetapkan oleh Dewan Keamanan, tapi resolusi itu tidak berjalan secara efektif. Sekaligus temukan apa yang menjadi penyebabnya dan bagaimana wujud penyelesaiannya?

Jawab:
Masalah Implementasi Resolusi DK PBB No. 1851
Di penghujung tahun 2008 Dewan Keamamanan PBB mensahkan Resolusi Nomor 1851 yang memberikan kewenangan pada semua negara di dunia ini untuk berperan serta dalam upaya penumpasan perompakan di wilayah laut Somalia. Resolusi ini mengundang perhatian banyak ahli hukum internasional karena salah satu isinya memberikan kewenangan kepada negara-negara untuk mengejar dan menumpas perompak tidak hanya di lepas pantai tetapi juga di wilayah darat Somalia. Kewenangan ini – meskipun agak tidak lazim – sebenarnya cukup dapat diterima karena beberapa alasan.
Pertama, Resolusi 1851 ini adalah resolusi keempat yang disahkan oleh DK PBB berkaitan dengan upaya pemberantasan perompakan di wilayah laut Somalia. Upaya seperti bantuan teknis kepada Somalia, pertukaran informasi pergerakan perompak dan pembekuan rekening yang diduga digunakan oleh perompak sebagaimana diatur dalam Resolusi 1846, 1844 dan 1838 ternyata tidak dapat menghentikan atau bahkan menurunkan kejahatan perompakan di Somalia.
Kedua, kejahatan perompakan di Somalia sudah sangat meresahkan dan berpotensi mengganggu tidak saja perdagangan internasional tetapi juga keamanan dunia karena melibatkan banyak negara sebagai korbannya. Dalam satu tahun ini saja telah 100 kapal terlibat upaya perompakan, 42 diantaranya berhasil dibajak dan 17 diantaranya masih belum dibebaskan hingga saat ini. Selain itu, wilayah perompakan ternyata telah meluas keluar dari wilayah laut Somalia, yaitu sampai ke wilayah laut Kenya dimana M/V Sirius Star dilaporkan telah dibajak.
Ketiga, kejahatan perompakan telah beberapa kali menghalangi kapal-kapal World Food Program untuk menjalankan misi kemanusiaan mengirimkan bahan makanan dan obat-obatan kepada rakyat Somalia yang menjadi korban pertikaian bersenjata. Bahkan uang tebusan diduga kuat dipakai oleh perompak untuk mensuplai persenjataan bagi faksi-faksi yang bertikai di Somalia. Bila tidak dihentikan, maka pertikaian bersenjata di Somalia akan menjadi sangat sulit untuk diakhiri.
Oleh karena itu Resolusi 1851 dengan tegas mengajak semua negara yang mempunyai kemampuan untuk selama 12 bulan ke depan bekerjasama memberantas perompakan bersenjata. Negara-negara ini selanjutnya diberi kewenangan untuk menggunakan semua cara pantas yang dianggap perlu (”…all necessary measures that are appropriate…”) di Somalia.
Upaya Kompromi
Terlepas sifatnya yang mendesak, resolusi ini bukannya tidak menyisakan masalah. Resolusi yang disusun oleh Amerika Serikat dan didukung oleh Belgia, Prancis, Yunani, Liberia dan Korea Selatan ini pada awalnya mendapatkan banyak tantangan dari anggota DK PBB sendiri – termasuk Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa Transitional Federal Government (TFG) yang saat ini memegang pemerintahan di Somalia belum memiliki kontrol penuh dalam mengendalikan keamanan Somalia. Bila tentara negara asing diberi kesempatan untuk mengejar perompak sampai ke daratan dan pedalaman maka dikhawatirkan perlawanan dari perompak justru akan dapat menumpahkan darah rakyat sipil.
Belum lagi kekhawatiran bahwa dalam pengejaran di darat akan sangat sulit membedakan antara perompak dan kelompok-kelompok bersenjata lainnya. Pengejaran ini justru akan menambah rumit permasalahan perdamaian dan gencatan senjata yang sedang diupayakan oleh PBB di Somalia.
Indonesia sebagai negara yang juga memiliki masalah dengan tingginya perompakan di selat Malaka sebelumnya menolak beberapa ketentuan dalam usulan resolusi ini. Diantaranya adalah akan diperbolehkannya untuk menggunakan ruang udara dalam pengejaran perompak ini. Nampaknya Indonesia tidak ingin resolusi ini menjadi preseden bagi masuknya kekuatan senjata negara lain dalam wilayah darat, laut dan udara Indonesia dalam upaya pemberantasan perompakan (Tempointeraktif, 11/12/2008)dan 16/12/2008).
Akhirnya pada saat disahkannya tanggal 16 Desember, kompromi tercapai. Kewenangan yang diberikan kepada kekuatan senjata negara lain untuk memasuki wilayah darat Somalia tidak dapat dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional, sehingga penerapannya di masa depan tidak dapat disamakan kepada semua negara.
Negara yang akan memasuki wilayah Somalia pun sebelumnya harus dengan pemberitahuan sebelumnya kepada TFG. Penggunaan ruang udara tidak disebutkan dalam langkah-langkah yang dapat diambil pada upaya pemberantasan perompakan di Somalia. Demikian juga pengejaran perompak di darat harus tetap mematuhi ketentuan hukum humaniter dan hak asasi manusia internasional.
Masalah Implementasi
Pertanyaannya adalah apakah ada negara yang bersedia menanggung resiko dengan melakukan pengejaran terhadap perompak sampai ke wilayah daratan Somalia? Seperti diketahui bahwa perdagangan senjata secara bebas telah menjatuhkan negara ini ke dalam pertikaian bersenjata yang berkepanjangan. Amerika Serikat sendiri memiliki pengalaman pahit sewaktu melawan kelompok bersenjata di Mogadishu dalam peristiwa “The Battle of Mogadishu” di tahun 1993.
Sejak resolusi ini disahkan, beberapa negara telah merespon dengan mengambil langkah nyata. China, Malaysia, Iran dan Rusia sebagai negara-negara yang kapal atau warga negaranya menjadi korban pembajakan segera mengirim armada kapal perangnya (Antaranews, 26/12/08). Namun langkah tersebut nampaknya tidak akan cukup dalam memerangi perompakan, yaitu karena beberapa alasan.
Pertama, Somalia telah dilanda kekerasan bersenjata sejak penggulingan diktator Mohamed Siad Barre pada tahun 1991. Setidaknya perompak bersenjata ini telah memiliki pengalaman perang selama lebih dari 15 tahun dan memiliki persenjataan yang lengkap. Patroli oleh kapal perang dan pengejaran di darat tidak akan membuat mereka ketakutan.
Kedua, akibat konflik bersenjata berkepanjangan, Somalia telah menjadi salah satu negara termiskin di Afrika. Aksi perompakan terbukti dapat menghasilkan banyak uang dari tebusan yang dibayarkan. Dalam keadaan negara yang kacau dimana nyawa bisa melayang sewaktu-waktu – maka resiko tertangkap dan diadili atas perompakan masih lebih kecil bila dibandingkan hasil dari perompakan itu sendiri.
Tantangan Kedepan
Oleh karena itu diperlukan upaya penyelesaian yang lebih dari yang ditawarkan oleh Resolusi 1851 ini. Penyelesaian masalah perompakan tidak dapat dilepaskan dari upaya menciptakan stabilitas dan perdamaian di Somalia. Embargo senjata oleh PBB yang diharapkan dapat mengurangi kekerasan ternyata telah gagal, juga meskipun tidak bisa diabaikan – keterlibatan the African Union Mission to Somalia (AMISOM) dalam menciptakan perdamaian ternyata belum maksimal.
Nampaknya sudah saatnya untuk PBB segera mengirimkan tentara dan polisi penjaga perdamaiannya. Lagi pula, pengiriman tentara internasional ini sebenarnya telah diminta oleh TFG dan the Alliance for the Re-Liberation of Somalia – dua kekuatan besar di Somalia – sebagaimana tertuang dalam Djibouti Agreement tanggal 19 Agustus 2008 (Sudan Tribune, 22/08/08).
Memulihkan stabilitas di Somalia tentunya akan memakan waktu yang tidak sebentar. Pengalaman PBB di Kongo dan Sudan membuktikan hal itu. Namun perompakan hanya akan mereda bila Somalia kembali menjadi sebuah negara yang stabil dengan pemerintahan dan sistem hukum yang diakui rakyatnya.

Baca Selengkapnya...

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
;