Membentuk Undang-Undang merupakan kekuasaan yang melekat pada DPR, selain
kekuasaan pengawasan dan anggaran. Wewenang pembentukan Undang-Undang ini
diwujudkan ke dalam fungsi legislasi DPR yang bersumber kepada UUD 1945. Ketentuan
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menggariskan:
1. DPR memegang
kekuasaan membentuk Undang-undang.
2. Setiap RUU dibahas
oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
3. Jika RUU itu tidak
mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan DPR masa itu
4. Presiden mengesahkan
RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undangundang.
5. Dalam hal RUU yang
telah disetujui tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi Undang-undang dan
wajib diundangkan.
Pada prinsipnya ditetapkannya kekuasaan membentuk
Undang-Undang dari DPR merupakan wewenang atribusi yang diberikan oleh UUD 1945
dan Undang-Undang, yang sebelumnya dipegang oleh Presiden (vide Pasal 5 ayat
(1) UUD 1945 lama). Akibatnya beban untuk membentuk Undang-Undang yang
diwujudkan dalam fungsi legislasi DPR menjadi tanggung jawab sepenuhnya DPR.
Dengan kata lain Perubahan UUD 1945 telah mendudukkan posisi DPR sebagai
lembaga utama pembentuk Undang-Undang, sedangkan Presiden tetap memiliki kekuasaan
membentuk Undang-Undang dalam bentuk "hak" mengajukan RUU kepada DPR,
sekaligus tugas untuk mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk
menjadi Undang-Undang.
B.
Proses Pembentukan
Undang-Undang
a. Tahapan Pembentukan
Undang-Undang
Pengaturan proses pembentukan Undang-Undang dapat
dilihat dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 yang membagi pembentukan Undang-Undang menjadi
beberapa tahapan, yaitu: perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,
pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.
Beberapa tahapan pembentukan Undang-Undang menurut UU
No. 10 Tahun 2004 tersebut secara teoritis dimulai dari: (1) tata cara
mempersiapkan RUU, (2) pembahasan RUU di DPR, dan (3) tahapan persetujuan dan
pengundangan. Dengan kata lain, proses pembentukan Undang-Undang merupakan
suatu tahapan kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan, yang diawali
dari terbentuknya suatu ide atau gagasan tentang perlunya pengaturan terhadap
suatu permasalahan.
b. Asal Usul RUU
Usulan pembentukan UU berawal baik dari RUU yang
diajukan DPR, RUU dari Pemerintah maupun RUU yang diajukan oleh DPD.
Selanjutnya dilakukan kegiatan mempersiapkan suatu RUU baik oleh DPR, DPD
maupun oleh Pemerintah. Kemudian dilakukan pembahasan RUU di DPR untuk
mendapatkan persetujuan bersama, dilanjutkan dengan persetujuan pengesahan dan
diakhiri dengan pengundangan. Dalam kaitan dengan peranan DPR, paling tidak ada
empat peranan yang diemban, yaitu: (a) mengajukan RUU inisiatif, (b) membahas
RUU dari pemerintah, (c) melaksanakan evaluasi terhadap UU yang ada, dan (d)
melakukan penilaian terhadap kebijakan pemerintah. DPR dapat meningkatkan
kualitas UU yang dihasilkan dengan menerapkan proses yang kebih baik dalam menjalankan
keempat peranan ini.
1.
RUU yang Berasal dari DPR
Proses
penyiapan RUU yang berasal dari DPR dilaksanakan berdasarkan UU No. 27 Tahun
2009 dan Peraturan Tata Tertib DPR.
·
Badan Pembantuan Penyiapan Usul
Inisiatif DPR
Sebelum
sampai pada usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang membantu penyiapan
suatu RUU. Sebagai ilustrasi, RUU Komisi Anti Korupsi disiapkan oleh Fraksi
PPP, sedangkan pada RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disiapkan
oleh Tim Asistensi Badan Legislasi (Baleg). Selain itu ada beberapa badan lain
yang secara fungsional memiliki kewenangan untuk menyiapkan sebuah RUU yang
akan menjadi usul inisiatif DPR. Badan ini adalah Pusat Pengkajian Pelayanan
Data dan Informasi (PPPDI) yang bertugas melakukan penelitian atas substansi
RUU dan Tim Perancang Sekretariat Jenderal DPR yang menuangkan hasil penelitian
tersebut menjadi sebuah RUU.
·
Usul Inisiatif DPR
Tahapan Pertama
Penyusunan
RUU dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan Prolegnas dan kedua
inisiatif dari Anggota, Komisi, Gabungan Komisi atau Baleg. Penyusunan
Prolegnas oleh DPR dikoordinasikan oleh DPR melalui Baleg. Dalam Prolegnas
ditetapkan skala prioritas sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat. Tahapan
awal untuk mengajukan RUU usul inisiatif dapat diajukan oleh Anggota, Komisi,
Gabungan Komisi, atau Badan Legislasi. Usul inisiatif RUU tersebut beserta
penjelasan keterangan dan/atau naskah akademis yang disampaikan secara tertulis
oleh Anggota atau Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi, atau Pimpinan
Badan Legislatif kepada Pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan
pengusul serta nama Fraksinya setelah dilakukan pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi.
Tahapan Kedua
Tahapan
berikutnya, dalam Rapat Paripurna setelah Usul Inisiatif RUU tersebut diterima
oleh Pimpinan DPR, Pimpinan DPR memberitahukan kepada Aggota tentang masuknya
usul inisiatif RUU tersebut, kemudian dibagikan kepada seluruh Anggota. Rapat
Paripurna untuk memutuskan apakah usul RUU tersebut secara prinsip dapat
diterima menjadi RUU usul dari DPR atau tidak, setelah diberikan kesempatan
kepada Fraksi untuk memberikan pendapatnya. Keputusan dalam Rapat Paripurna
dapat berupa:
(1) Persetujuan;
(2) Persetujuan dengan perubahan;
atau
(3) Penolakan.
Dalam
hal persetujuan, DPR menugaskan kepada Komisi, Baleg, atau Panitia Khusus untuk
menyempurnakan RUU tersebut. Dalam hal RUU yang telah disetujui tanpa perubahan
atau yang telah disempurnakan, disampaikan kepada Presiden oleh Pimpinan DPR
dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden
dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama-sama dengan DPR, dan kepada
Pimpinan DPD jika RUU yang diajukan mengenai hal-hal tertentu.
Dalam
waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya surat tentang penyampaian
RUU dari DPR, Presiden menunjuk Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam
pembahasan RUU bersama DPR. Terhadap RUU yang berasal dari DPR terdapat
beberapa pengaturan yang harus diperhatikan sebagai syarat keabsahan, yaitu:
a.
Pengusul berhak mengajukan perubahan selama usul RUU belum dibicarakan dalam
Badan Musyawarah yang membahas penentuan waktu pembicaraan dalam Rapat
Paripurna usul RUU tersebut.
b. Pengusul berhak menarik usulnya
kembali, selama usul RUU tersebut belum diputuskan menjadi RUU oleh Rapat
Paripurna.
c. Pemberitahuan tentang perubahan
atau penarikan kembali usul, harus ditandatangani oleh semua pengusul dan
disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR, kemudian dibagikan kepada
seluruh Anggota.
Perhatikan bagan proses alur
penyusunan RUU Usul Inisiatif DPR berikut ini.
RUU yang berasal dari DPR
2.
RUU
yang Berasal dari Presiden
Berdasarkan Perubahan Pertama UUD 1945 Presiden berhak
mengajukan RUU kepada DPR. Ketentuan ini menempatkan hubungan yang dinamis
antar kedua lembaga negara dalam pembentukan Undang-Undang. Kata berhak di
dalam norma Pasal 5 ayat (1) tersebut secara tegas memberikan suatu peranan
yang boleh dilakukan atau tidak dilakukan oleh Presiden. Dan dalam praktik
ketatanegaraan, Presiden berperan aktif dalam pembentukan Undang-Undang, baik
pada proses dan tahapan persiapan RUU, pembahasan RUU maupun pada tahapan pengundangan
suatu Undang-Undang.
Bagaimana tata cara mempersiapkan RUU yang dilakukan
oleh Presiden? Di samping UU Nomor 10 Tahun 2004, pengaturannya ditemukan dalam
Perpres No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rancangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah,
dan Rancangan Peraturan Presiden, yang ditetapkan pada tanggal 14 November
2005. Tata cara mempersiapkan RUU yang berasal dari Pemerintah dilakukan
melalui tahapan sebagai berikut:
1)
Penyusunan RUU
Penyusunan RUU dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama dilakukan prakarsa berdasarkan Prolegnas. Penyusunan RUU yang
didasarkan Prolegnas tidak memerlukan persetujuan izin prakarsa dari Presiden.
Dan kedua dalam keadaan tertentu, prakarsa dalam menyusun RUU di luar Prolegnas
dapat dilakukan setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa
kepada Presiden, dengan disertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU
yang akan diajukan. Penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU tersebut meliputi:
a. Urgensi dan tujuan pengaturan; b. Sasaran yang ingin diwujudkan; c. Pokok
pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur; dan d. Jangkauan serta arah
pengaturan.
2)
Penyampaian RUU kepada DPR
Berdasarkan
ketentuan Pasal 25 Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 terhadap suatu RUU yang
telah disetujui oleh Presiden, akan disampaikan kepada DPR untuk dilakukan
pembahasan. Selanjutnya Menteri Sekretaris Negara akan menyiapkan Surat
Presiden kepada Pimpinan DPR untuk menyampaikan RUU disertai dengan Keterangan
Pemerintah mengenai RUU tersebut.
Keterangan Pemerintah tersebut
disiapkan oleh Prakarsa, yang antara lain memuat:
a). Urgensi dan tujuan penyampaian;
b). Sasaran yang ingin
diwujudkan;
c). Pokok pikiran, lingkup, atau
obyek yang akan diatur; dan
d). Jangkauan serta arah pengaturan;
yang menggambarkan keseluruhan substansi RUU.
Surat Presiden tersebut ditembuskan
kepada Wakil Presiden, pada menteri koordinator, menteri yang ditugasi untuk
mewakili Presiden/Prakarsa, dan Menteri. Pendapat akhir Pemerintah dalam
pembahasan RUU di DPR disampaikan oleh Menhukham yang ditugasi mewakili
Presiden, setelah terlebih dahulu melaporkannya kepada Presiden.
3.
RUU yang Berasal dari DPD
Dengan
disahkannya UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD tata cara
pengajuan dan pembahasan RUU yang berasal dari DPD juga mengalami beberapa
perubahan. Tata cara mempersiapkan (proses penyusunan) dan pembahasan RUU yang
berasal dari Dewan Perwakilan Daerah di lingkungan Dewan Perwakilan Daerah
selanjutnya akan diatur oleh Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah yang
mengacu pada perubahan UU terbaru.
RUU
yang berasal dari DPD diajukan oleh DPD kepada DPR adalah RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Setelah melalui
proses penyusuna legislasi di DPD, prinsipnya pada sidang Paripurna DPD akan
memutuskan, apakah Usul RUU tersebut
dapat diterima menjadi RUU Usul DPD atau tidak. Keputusan Sidang Paripurna
dapat terdiri atas tiga macam, yaitu:
a) Diterima;
b) Diterima dengan perubahan; atau
c) Ditolak.
Keputusan
tersebut diambil setelah Panitia Perancang Undang-Undang menyampaikan penjelasan
dan prakarsa diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Dalam hal Usul RUU
diterima dengan perubahan, DPD menugasi Panitia Perancang Undang-Undang untuk
membahas dan menyempurnakan usul RUU tersebut. Usul RUU yang telah diterima
tanpa perubahan, atau RUU yang telah disempurnakan tersebut selanjutnya akan disampaikan
kepada DPR dan Presiden disertai Surat Pengantar Pimpinan DPD.
Pembahasan RUU secara resmi
sepenuhnya dilakukan dalam forum persidangan DPR. Pemerintah dan DPD dapat ikut
serta dalam pembahasan tetapi yang mengambil keputusan hanya DPR. Hanya saja,
DPR tidak dapat memutus tanpa persetujuan Pemerintah. Pembahasan setiap RUU,
baik yang berasal dari Pemerintah, DPR, maupun Dewan Perwakilan Daerah dibahas
di DPR dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu:
1. Pembicaraan Tingkat I, yang
dilakukan dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat Badan Legislasi,
Rapat Badan Anggaran, atau Rapat Panitia Khusus.
2. Pembicaraan Tingkat II, yang
dilakukan dalam Rapat Paripurna.
E. Pengesahan RUU dan
Pengundangan
Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 pada Pasal 37, RUU yang telah disetujui
bersama DPR dan Presiden tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari sejak tanggal persetujuan bersama. Setelah menerima RUU yang telah
disetujui DPR dan Presiden tersebut, Sekretariat Negara akan menuangkannya
dalam kertas kepresidenan dan akhirnya dikirimkan kepada Presiden untuk
disahkan menjadi UU. Pengesahan RUU yang telah disetujui bersama tersebut
dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui oleh DPR dan Presiden.
Setelah Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dengan DPR
tersebut, maka Undang-Undang itu kemudian diundangkan oleh Menteri (yang tugas
dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan), agar
Undang-Undang itu dapat berlaku dan mempunyai kekuatan hokum mengikat umum.
Dalam hal RUU tersebut tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama DPR dan
Presiden, maka RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang, dan wajib diundangkan,
sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang No. 10 Th. 2004, dan
Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 Perubahan. Setelah Undang-Undang tersebut diundangkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Pemerintah wajib menyebarluaskan
Undang-Undang yang telah diundangkan tersebut.
Keterangan
1) RUU yang telah disetujui
disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden paling lambat 7 hari kerja untuk
disahkan;
2) Apabila dalam 15 hari kerja RUU
tersebut belum disahkan menjadi UU, Pimpinan DPR mengirim surat kepada Presiden
untuk minta penjelasan
3) Dalam hal RUU tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU disetujui, RUU tersebut
sah menjadi UU
DAFTAR PUSTAKA
http://ekowinarto.files.wordpress.com/2009/03/bab-38.pdf
http://www.legalitas.org/Konsepsi%20Perancangan%20Peraturan%20Perundang-Undang%20Dan%20Teknik%20Penyusunan%20Peraturan%20Perundang-Undangan
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2008/06/ilmu-perundang-undangan.html
http://www.legalitas.org/content/pembentukan-peraturan-perundangundangan-perspektif-pemerintah
Semoga bermanfaat
Calon DPD RI Sumatera Selatan
ReplyDeletekalo anjing?
ReplyDeleteCalon DPD RI Sumatra utara
ReplyDelete