Satu fenomena yang
menonjol dalam Pemilu 2009 adalah semakin kuatnya peranan media Massa. Misalnya
terlibat dalam proses mengkonstruksi citra para kandidat. Baik perseorangan
(caleg, capres dan cawapres) maupun organisasi partai politik. Pemanfaatan
media untuk mendongkrak popularitas sebenarnya telah mulai marak dan bebas. Dimulai sejak Pemilu 1999 dan semakin menguat di
Pemilu 2004. bahkan hingga Pemilu kali ini. Bisa kita katakan, kemenangan SBY
pada pemilihan presiden secara langsung (tahun 2004) merupakan keberhasilan
marketing politiknya. Karena partainya sendiri (baca: demokrat) bukanlah partai
pemenang Pemilu. Pada Pamilu 2009 masa kampanye diperpanjang menjadi 9 bulan.
Dimulai 12 Juli 2008-April 2009. Dengan 38 partai peserta Pemilu. dan banyaknya
tokoh yang menyatakan diri siap menjadi kandidat Presiden dan Wakil Presiden
pada pilpres kemarin. Tentunya kian
meramaikan "pertarungan citra" dalam merebut hati para pemilih.
Kandidat yang menguasai industri citra tentunya akan memperbesar peluangnya
memenangkan pertarungan tersebut.
Komunikasi politik ialah proses penyampaian
informasi politik dari pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya. Partai
politik perlu menerjemahkan informasi yang mudah dipahami oleh pemerintah dan
masyarakat, agar komunikasi bersifat efektif (Cholisin, 2007: 114). Komunikasi
politik menjadi posisi penting terutama sebagai jembatan untuk menyampaikan
pesan-pesan yang dapat memfungsikan kekuasaan.
Pemerintah membutuhkan informasi tentang
kegiatan rakyatnya; dan sebaliknya rakyat juga harus mengetahui apa yang
dikerjakan oleh pemerintahnya
Pers memang diakui merupakan salah satu
alat demokratisasi yang cukup efektif. Pers menjadi jembatan yang menghubungkan
kepentingan-kepentingan politik baik vertikal maupun horizontal. Pers menjadi
bagian dari kehidupan politik untuk mempertemukan rakyat dan penguasa. Bahkan
kebebasan pers sering menjadi salah satu ukuran apakah suatu negara telah
menganut sistem demokrasi atau tidak.
Dalam masa kampanye Pemilu, media dalam hal
ini media massa maupun elektronik sangat potensial dalam hal memepengaruhi
publik untuk menggalang dukungan.
Pada masa orde baru media adalah pendukung
pemerintah. Maka setiap beritapun tentu selalu memuji pemerintah dan kalaupun
ingin mengritik pemerintah harus dengan cara yang amat halus dan tidak tajam.
Begitu juga saat Pemilu, media tentunya akan pro pada partai pemerintah.
Dalam hal kampanye, media massa baik cetak
maupun elektronik merupakan sebuah salauran kampanye terhadap konstituen.
Apalagi dengan arus teknologi ini, rasanya media elektronik menjadi salauran
utama bagi jalan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat khususnya dalam masa
kampanye Pemilu. Medium ini telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan
teknologi. Hal itu salah satunya disebabkan sudah banyaknya masyarakat yang
memiliki televisi maupun radio, bahkan sebagian lagi sudah mampu menggunakan
internet. Oleh karena itu banyak Partai maupun calon yang akan berkompetisi di
Pemilu menggunakan sarana atau saluran kampanye melalui media elektronik
khususnya televisi.
Contoh kasus bisa kita lihat pada Pemilu
tahun 2004 kemarin khususnya Pemilu pemilihan presiden. Siapa yang sering
terlihat di layar TV dari setiap stasiun televisi, dialah yang berhasil menarik
simpati masyarakat. Saya teringat pada masa Pemilu legislatif di TPS ada
seorang nenek yang bertanya pada petugas TPS untuk menunjukkan mana yang
berlambang moncong putih yang akan dia coblos. Dengan enteng nenek tersebut
berargumen bahwa bukannya gambar moncong putih yang harus dicoblos menurut
iklan televisi dan yang sering diingatnya. Juga atusias kaum ibu-ibu yang riuh
dalam mencoblos foto SBY sebagai idolanya bukan karena kesadaran politik.
Dari ilustrasi ini menggambarkan begitu
kuatnya pengaruh media televisi untuk mempengaruhi orang awam sekalipun seperti
mereka. Dengan televisi, kampanye mampu menjangkau orang-orang yang cacat
sekalipun seperti tuna netra dan tuna rungu. Bagi mereka yang takdapat melihat,
bisa menikmati dengan mendengar, begitu juga bagi yang tak dapat mendengar
dapat menikmatinya dengan visualisasinya. Selain faktor aktualitas, televisi
dengan karakteristik audio visualnya memberikan sejumlah keunggulan,
diantaranya mampu menyampaikan pesan melalui gambar dan suara secara bersamaan
dan hidup, serta dapat menayangkan ruang yang sangat luas kepada sejumlah besar
pemirsa dalam waktu bersamaan (Nurrahmawati, 2002: 97).
Semakin sering seorang tokoh atau berita
tentang partai dimuat di halaman itu, maka akan semakin terkenallah dia. Kita
coba ingat kembali berita dalam surat kabar pada waktu menjelang Pemilu 2004.
Siapakah calon, tokoh, atau partai yang sering ‘berpose’ di halaman utama.
Tentunya kita sering melihat berita tentang tokoh baru tersebut, tentunya
seorang figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Nama dan partainya begitu sering
muncul, ditambah dengan berita yang membuat simpati pada tokoh tersebut akibat
disia-siakan oleh pemerintah sewaktu menjabat menteri.
Ternyata media massa baik surat kabar
maupun televisi berpengaruh sangat besar bagi pemenangan dalam Pemilu.
Komunikasi politik lebih efektif melalui sarana tidak langsung atau menggunakan
media tersebut. Karena pesan yang disampaikan akan serentak diketahui oleh
orang banyak di segala penjuru dan juga dapat diulang-ulang penayangannya.
Persepsi, interpretasi, maupun opini publik mudah dipengaruhi lewat iklan
maupun berita dalam media. Maka untuk menghindari terjadinya disfungsi media,
media harus bisa menjadi penengah atau perantara antara pemerintah, elit
partai, dan masyarakat. Di masa reformasi ini, dimana sudah mulai ada kebebasan
pers seharusnya pers harus mengubah pola kerjanya yang semula ‘menjilat’
pemerintah karena terpaksa, tetapi sekarang harus netral dan sebagai alat
kritik sosial bagi pemerintah maupun masyarakat.
media merupakan arena penyampaian isi
terkait Pemilu 2009, dimana politisi dan partai-partai politik adalah pemain
sekaligus penulis isi informasi dan sutradara. Sementara itu, Rakyat hanya
penonton.
Kenyataan buatan yang ditampilkan lewat
iklan dan program-program politik di media sesungguhnya membodohi dan menipu
Rakyat karena tidak sesuai dengan kenyataan sesungguhnya. Coba nilai, iklan
politik Susilo Bambang Yudoyono (SBY), presiden saat ini, menonjolkan
keberhasilan pemerintahannya menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebanyak
tiga kali setelah pemerintahannya sendiri menaikkan harga BBM. Semua orang tahu
naik-turunnya harga BBM di Indonesia mengikuti harga BBM dunia. Kenaikan harga
BBM telah meningkatkan jumlah orang miskin. Tetapi SBY dengan bangga tanpa merasa
bersalah sedikit pun menyatakan secara terbuka di beberapa media bahwa dia yang
menurunkan harga BBM.
Begitu pun iklan lawan politiknya,
Megawati. Dia memasang iklan untuk menepis iklan keberhasilan SBY. Pada iklan
tersebut, Megawati megunakan data-data kegagalan pemerintah untuk menjatuhkan
pamor SBY. Padahal, banyak kegagalan Megawati saat menjabat menjadi presiden
(termasuk menaikkan harga BBM), sehingga dia saat itu kehilangan pamor dan SBY
terpilih menjadi presiden. Sampai saat ini Megawati dan mesin politiknya tidak
menunjukkan program-program konkret untuk Rakyat.
Partai politik memang sadar betul bahwa
aksi-aksi politiknya menjadi tidak berarti tanpa kehadiran media. Menurut C.
Sommerville, dalam bukunya Rakyat Pandir atau Rakyat Informasi (2000), kegiatan
politik niscaya akan berkurang jika tidak disorot media. Ada beberapa hal
memengaruhi itu, salah satunya media memiliki kemampuan reproduksi citra
dahsyat. Beberapa aspek dari reproduksi citra bisa dilebihkan dan dikurangi
dari realitas aslinya. Selain itu, media menyediakan beragam makna untuk
mewakili dan membangun kembali fakta tidak terkatakan (unspeakable), yaitu
beragam kepentingan politis dan finansial yang sengaja disembunyikan di balik
berita dan semua isi yang tersaji melalui media. Kemampuan mendramatisir oleh
media pada gilirannya merupakan amunisi yang baik bagi para politisi, terlebih
menjelang pemilu, untuk memengaruhi Rakyat sebagai penonton sehingga mendukung
para politisi dan partai-partai politik.
Kebanyakan media massa akhir-akhir ini di
ramaikan oleh iklan-iklan politik dari berbagai politisi ataupun partai.
Baik media cetak, elektronik maupun media lainnya, hampir setiap hari
didalamnya kita disuguhi oleh iklan-iklan politik tersebut. Pada awalnya, kita
sering melihat iklan-iklan politik ini hanya mengandung unsur ajakan, coblos
ini coblos itu, tetapi seiring dengan semakin mendekatnya momentum pesta
demokrasi, pemilu 2009, iklan-iklan tidak hanya bersifat ajakan atau
mengarahkan mana yang harus dicoblos, melainkan sudah dalam tempo saling
serang. Bukankah seharusnya memang ada panduan bagaimana iklan politik yang
baik dan sesuai etika?
Dengan melakukan iklan, politisi atau
partai dapat mendongkrak tingkat popularitasnya. Contohnya, sewaktu belum
memakai iklan, seorang politisi hanya berhasil menjamah 20% kepopulerannya dari
publik. Tetapi setelah menggunakan jasa yang bukan tanpa pamrih ini, orang
tersebut berhasil membujuk masyarakat melalui iklan dengan tingkat
kepopulerannya mencapai lebih dari 50%. Sungguh dahsyat memang kekuatan dari
iklan yang ditampilkannya.
Manfaat iklan politik.
Dunia advertising ini dapat
mengaktualisasikan makna kesejahteraan pada publik karena pada dasarnya iklan
bersifat persuasif dan informatif. Karewna bersifat informatif, iklan politik
menjadi sarana politik bagi publik untuk menyadarkan mereka bahwa publik siap
ikut untuk menjadi konstituen yang kuat, cerdas dan mandiri. Iklan politik juga
dapat mendorong terciptanya suatu persaingan yang sehat antara peserta untuk
membuat atau menciptakan program-program baru yang di butuhkan oleh khalayak.
Tetapi pada kenyataannya sekarang
masyarakat masih kurang begitu paham bahwa sebenarnya ada konspirasi-konspirasi
para elit politik dengan media yang bermain didalamnya. Sosialisasi,
pembangunan citra, janji-janji, ataupun kata-kata manis dalam iklan bisa saja
hanya realitas rekayasa dari media. Masyarakat seakan-akan termakan oleh
harapan-harapan semu yang diberikan oleh para politisi dalam upaya
pendekatannya dengan publik. Iklan politik semata-mata menjadikan tempat utama
bagi masyarakat untuk mengetahui figur politis atau partai, sehingga
istilahnya, masyrakat dengan mudah hanya menggangguk saja sebagai tanda bukti
konstituen mereka walaupun sebenarnya pencitraan itu hanya terlihat dari depan
ataupun samping dan tidak mengetahui di balik punggungnya. Barangkali masih
terngiang di benak kita akan janji program 100 hari yang direncanakan oleh
capres (calon presiden) dan cawapres (calon wakil presiden) yang heboh pada
saat itu, pemilu 2004 kemaren, setelah itu kita bisa melihat sendiri kan?sudah
banyak contoh kasus lain seperti ini tetapi mungkin saja tetap berlangsung dan
seakan sudah menjadi tradisi.
Iklan politik tentu saja sangat efektif
dalam memuluskan pencitraan popularitas, apalagi melalui media elektronik seperti
televisi yang daya jangkaunya ke publik 90% lebih besar dari media lainnya.
Untuk itu, para penguasa media memainkan kesempatan besar ini dan menumpuk
rupiah. Pemilik media tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan besar ini,
menjelang pemilu 2009 ini seakan menjadi deadline bagi mereka untuk
memperbanyak pundi-pundi uang dari iklan politik dari koleganya. Siasat yang
dijalankan media mungkin yang paling mencolok adalah biaya per spotnya.
Misalnya, per detik iklan dipatok 6 juta rupiah, durasi iklan adalah 30 detik.
Kita tinggal mengalikan saja hasilnya. Apabila dalam satu program yang satu jam
memakai iklan tersebut, tentu kita akan tahu berapa besarnya keuntungan yang
ada. Oleh itu, politisi atau partai harus siap merogoh kocek dalam-dalam agar
muka dan visi-misi mereka muncul di televisi.
Rezim
Kerahasiaan Pemilu 2009
Iklan politik menjadi primadona bagi
para kontestan pemilihan umum untuk menjaring preferensi publik. Riset Nielsen
menunjukkan, dana iklan politik tahun 2008 mencapai Rp 2,208 triliun (baca: Rp
2 triliun 208 miliar), meningkat 66 persen dibandingkan dengan tahun 2007 yang
mencapai Rp 1,327 triliun. Angka yang sesungguhnya pasti lebih besar karena
riset ini belum menghitung belanja iklan politik untuk media radio, Internet,
serta media luar ruang. Dana iklan politik juga masih akan menggelembung
karena, menjelang pemilu legislatif April 2009, dapat dipastikan iklan politik
semakin gencar menyapa publik.
Namun, gegap-gempita iklan politik
selalu meninggalkan persoalan kompleks. Bagaimana transparansi dan
akuntabilitasnya? Publik tidak pernah tahu secara persis besaran dana iklan
politik itu, dari mana asalnya, siapa saja donaturnya, dibelanjakan untuk apa
saja, serta bagaimana konsekuensinya terhadap kinerja pemerintahan yang baru
nanti.
Partai politik, para calon legislator,
dan kandidat presiden tidak mempunyai tradisi, juga tidak dikondisikan untuk
secara terbuka menjelaskan ihwal dana politik yang mereka gunakan. Publik tidak
mengetahui apakah kampanye politik benar-benar steril dari penyalahgunaan
anggaran publik APBN/APBD, dana departemen, dana dekonsentrasi, dan seterusnya.
Publik juga tidak akan tahu seandainya, di balik gebyar iklan pemilu di media,
beroperasi dana dari para pengusaha hitam, pejabat bermasalah, atau dana hasil
money laundering. Aturan main pemilu
sangat tidak memadai dalam mengantisipasi masalah ini. Menurut Undang-Undang
Pemilu, hanya biaya kampanye partai politik yang harus dilaporkan ke Komisi
Pemilihan Umum. Tidak jelas bagaimana transparansi dana sumbangan dari para
simpatisan. Undang-Undang Pemilu juga hanya menyatakan "dana kampanye
dapat berasal dari sumbangan pihak lain yang sah menurut hukum dan dibatasi
besarannya" (pasal 138). Tanpa penjabaran lebih operasional, tentu klausul
semacam ini mudah dilanggar atau diinterpretasikan secara berbeda.
Netralitas Media Massa
Ketika media massa
berada dalam konteks sosial dan dikonsumsi oleh khalayak. Maka pada saat itu
media massa berhadapan dengan masalah etika. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa media massa pada dasarnya tidak bebas nilai. Ujian terberat bagi
media massa. Yakni menyeimbangkan kebebasan pers dalam memberikan
informasi/pemberitaan dengan porsi tanggung jawab yang diembanya. Ia harus
memposisikan netral. Keputusannya tidak boleh mau diintervensi penguasa.
Walaupun disiram dengan imbalan. Karena etika kebijaksanaan pers bertujuan
melakukan pendidikan terhadap rakyat. Maka pers tidak boleh tergoda oleh
imbalan. Etika adalah aturan
moral. Berasal dari sebuah situasi di mana seseorang bertindak dan mempengaruhi
tindakan orang atau kelompok lain. Definisi etika ini juga berlaku untuk
kelompok media sebagai subjek etis yang ada. Setiap arahan dan aturan moral
mempunyai nilai dan level kontekstualisasi. Bisa pada tingkat individu,
kelompok, komunitas atau sistem sosial yang ada. Dapat dikatakan bahwa etika
pada level tertentu sangat ditentukan oleh arahan sistem sosial yang
disepakati.
Dalam konteks
politik, terutama dalam kesuksesan pemilihan Presiden. Peran media diharapkan dapat melakukan
pendidikan politik bagi rakyat. Setidaknya berperan dalam penambahan informasi
tentang pemilu presiden. Informasi tersebut bisa mempengarui perilaku memilih.
Sehingga akan berdampak pada sistem politik yang berjalan. Selain itu, media dapat menjadi sarana sosialisasi.
Bisa penyampaian program-program dari kandidat presiden, kemudian media juga
menjadi sarana untuk memberitakan sepak terjang kandidiat. Sehingga berharap
masyarakat mempunyai penilaian. Tidak salah pilih terhadap kandidat presiden.
Pemilihan presiden
akan menghasilkan pemimpin baru. Pewaris pemegang otoritas kekuasaan negara ke
depan. Ia memiliki wewenang dan kapasitas untuk menjalankan dan mengatur
pemerintahan negara. Maka peran media adalah mengawasi (baca: kontrol).
Memberikan informasi kepada publik atas aktivitas-aktivitas dan
keputusan-keputusan politik yang dilakukan pemerintahannya. Aktivitas dan
keputusan politik akan menjadi sentral perhatian. Dan secara tidak langsung
akan membentuk opini dalam masyarakat.
Dalam mekanisme
demokrasi, publik merupakan penguasa. Setiap keputusan-keputusan politik yang
dihasilkan dan mengikat semua orang haruslah diketahui terlebih dahulu oleh
publik (masyarakat). Publik tentunya akan merespon keputusan tersebut. Apakah
sesuai dengan aspirasi mereka atau tidak. Respon tersebut kemudian menjadi
pedoman. Khususnya bagi penguasa untuk memperbaiki keputusan yang mereka
keluarkan. Begitu seterusnya hingga masyarakat (publik) akan menerima keputusan
tersebut. Opini masyarakat
terhadap figur kandidat pilpres sangat dipengaruhi oleh informasi yang
diberikan media massa. Peranan media massa sanggup dan mampu membentuk opini
masyarakat. Media massa bahkan mampu menggiring opini masyarakat pada
kesimpulan dan persepsi yang diciptakan media.
Kesimpulan:
Oleh karena
itu media massa seharusnya menjadi sarana pencerahan dan transformasi
nilai-nilai kebenaran agar masyarakat dapat melihat secara apa adanya. Media
sebaiknya tidak memunculkan kesan menilai atau keberpihakan khususnya dalam
masa kampanye Pemilu. Biarlah masyarakat sendiri yang akan menilai. Yang
diperlukan media hanyalah menyampaikan informasi yang sebenarnya, jelas hitam
putihnya. Sehingga masyarakat tidak terjebak pada pilihan mereka, karena
persoalan Pemilu adalah persoalan masa depan bangsa. Media harus mampu bersikap
objektif dalam penayangan berita. Selanjutnya pengaruh dari media massa
terhadap politik dapat di bedakan menjadi dua, yaitu pengaruh televisi (media
massa elektronik) dan pengaruh surat kabar (media massa cetak)
Dengan
demikian diperlukan obyektivitas dan netralitas dari media itu sendiri agar
tercipta iklim yang baik dalam masa Pemilu.
Syukur,berkat doa nak masing masing mbah lancar ritualnya,anda yakin ama mbah mau dibantu telpon mbah 082344441278,atau klik www.master-paranormal.blogspot.com yang penting kepercayaan ada.
ReplyDeletemakasii:))
ReplyDelete