Militer
(ABRI) khususnya NI-AD sejak awal tahun 1945 sampai Orba memainkan peranan
politik yang penting. Tanpa dukungan TNI_AD pemerintah manapun tidak akan
berkuasa lama. Keterlibatan dalam politik menimbulkan fraksi-fraksi dalam ABRI.
Misalkan dikenal adanya ABRI hijau dan ABRI merah putih. ABRI hijau dikenal
dengan dekat dengan kalangan tokoh-tokoh islam, sedangkan ABRI merah putih
yaitu ABRI yang nasionalis.
A. Perspektif
Organisasi Militer
Hasnan
Habib menyatakan organisasi militer sebagai raison d’etre untuk
menghadapi dan mengatasi keadaan darurat (emergency organization) yang
bercirikan organisasi keras, ketat, hierarkhis sentralistis, berdisiplin keras,
dan bergerak atas komando. Ciri ini disebut habit formation. Sebagai emergency
organization stabilitas politik merupakan perhatian utama bagi militer.
Karena itu militer sangat sensitif tentang hal ini bahkan cenderung
membesar-besarkan akibatnya perbedaan-perbedaan pendapat dan persaingan politik
dianggap sebagai ancaman terhadap
stabilitas politik. Eric Nordlinger menggambarkan bahwa sikap negatif militer
terhadap kegiatan politik masyarakat berkaitan erat dengan ciri organisasi
militer, yaitu hierarkhi dan keterpaduan.
Konsepsi
dan ciri organisasi militer di atas merupakan paradigma profesionalisme. Fungsi
militer difokuskan pada keamanan eksternal, militer secara politik netral , dan
mengakui supremasi sipil. Bagi Negara berkembang , seperti Indonesia yang
menganut profesionalisme baru, organisasi militer lebih merupakan refleksi
kondisi social, politik, dan kultur masyarakat.
Hal ini mengakibatkan organisasi militer memiliki cirri khas antara lain
fungsi militer difokuskan pada keamanan internal, ruang lingkup tindakan
militer tidak terbatas(multi fungsi), dan menciptakan manajerialisme
militer-politikdan perluasan peranan. Fungsi militer sebagai stabilisator dan
dinamisator dimaksudkan sebagai bentuk manajemen militer-politik untuk
memperlancar jalannya pembangunan.
Fungsi
militer yang ditetapkan sebagai dinamisator pembangunan merupakan upaya untuk
memperkokoh legitimasi peran militer dalam politik. Yahya Muhaimin
menggambarkan tentang sulitnya dwi fungsi ABRI mendorong demokratisasi. Hal ini
karena dalam tradisi kehidupan militer secara universal tidak dikenal
musyawarah atau kearifan dan kebersamaan sebagai kerangka niai yang sangat
penting bagi demokratisasi. Hal-hal tersebut tidak dikenal sebab bersifat
kontradiktif dengan system komando yang hierarkhis dengan disiplin yang kuat.
Dari
perspektif organisasi, militer tidak dimaksudkan untuk ikut mengembangkan
demokratisasi. Bahkan cirri-ciri organisasi militer bersifat kontradiktif
dengan demokrasi. Oleh karena itu secara institusional, militer akan menjadi penghambat
bagi pengembangan kehidupan yang demokratis.
B. Perspektif
Neo-Patrimonial
Harold
Crouch menampilkan konsep neo-patrimonial untuk menunjukan system
politik Orba yang lebih menyerupai Negara
patrimonial di masa lampau daripada suatu pility yang modern. Dalam
model neo-patrimonial, birokrasi menampakan cirri-ciri modern, tetapi
dalam perilakunya masih memperlihatkan warisan tradisi dan budaya politik masa
lampau (kebudayaan Jawa). Dalam anggapan seperti itu birokrasi dan perilaku
politik di Indonesia masih memperlihatkan karakteristik patrimonial. Di mana
jabatan dan keseluruhan hierarkhi didasarkan atas hubungan personal atau
hubungan “bapak-anak buah” (patron-klien). Ini berarti dalm model neo-patrimonial
patron (dalam hal ini Presiden) menjadi aktor yang paling menentukan bagi
pemenuhan kepentingan materi dan karir klien (elite birokrasi sipil, militer,
dan parati politik dan organisasi kepanjangan pemerintah). Presiden Soeharto
sebagai patron menjadi kekuatan utama politik yang dalam perkembangannya
semakin menguat. Misal, sejak awal 1990 presiden Soeharto makin lama makin
tampil sebagai penguasa tunggal dalam bidang politik, pemerintahan, militer,
ekonomi, dan kemasyarakatan.
Militer
merupkan aktor politik yang penting setelah Presiden. Posisi militer yang
strategis ini dimanfaatkan pemerintah untuk berkuasa dan mempertahankan
kekuasaannya seperti yang dilakukan Presiden Soeharto pada masa Orba.
Perspektif neo-patrimonial menggambarkan Presiden (patron) sebagi faktor
determinan terhadap peran sisal politik yang dilakukan militer (klien). Militer
yang represif terhadap kegiatan politik masyarakat termasuk terhadap gerakan
prodemokrasi dilakukan untuk menjamin kepentingan dan menunjukan loyalitasnya
kepada patron. Sebagai imbalannya militer diberi peran social, ekonomi, dan
politik yang sangat luas. Militer menyadari kondisi ini selama rezim Orba,
namun tidak mencari usaha yang seriusuntuk melepaskan diri dari genggaman yang
begitu ketat dari kekuasaan Presiden Soeharto.
C. Perspektif
Kepentingan Politik dan Ekonomi Militer
Kepentingan
politik dan ekonomi TNI tercermin pada peran social politik yang berupa
penugaskaryaan. Ramlan surbakti memperlihatkan hubungan antara politik dan
ekonomi berdasarkan penjelasan social yang dikenal memiliki tiga perspektif
yaitu, ekonomisme, politisisme, interktif dan perilaku berkesinambungan.
Perspektif ekonomisme beranggapan proses-proses politik merupakan produk
proses-proses nonpolitik atau ekonomi menentukan politik. Sebaliknya menurut
perspektif politisisme struktur politik memiliki dan mengembangkan kepentingan
sendiri dan menggunakan kepentingan-kepentingan ini terhadap kepentingan
ekonomi. Sedangkan perspektif interaksi mencoba menjembatani kedua perspektif
diatas yang beranggapan antara politik dan ekonomi memiliki hubungan timbal
balik. Terakhir perspektif perilaku yang berkesinambungan didalamnya termasuk
aliran perspektif public choice berupaya menerapkan asumsi, bahasa, dan
logika ekonomi neoklasik ke dalam perilaku politik. Pola hubungan antara
politik dengan ekonomi di Indonesia cenderung mengarah pada politisisme.
Perspektif
kepentingan politik dan ekonomi militer sebagai upaya menjelaskan masalah
respons terhadap gerakan prodemokrasi bersifat negatif, memang tidak popular
lebih-lebih dikalangan militer. Lain halnya dengan kedua perspektif terdahulu
(perspektif organisasi militer dan perspektif neo-patrimonial), yang
lebih banyak digunakan untuk menjelaskan masalah tersebut. Bahkan di kalangan
militer (TNI) kedua penjelasan itu telah diakui kebenarannya sebagai penjelasan
mengaa militer menjadi penghambat bagi pengembangan demokrasi.
Dinamika
Militer dalam Politik, Ekonomi, dan Gerakan Prodemokrasi pada Era Orde Baru
(1966-1980)
A.
Dinamika keterlibatan Militer dalam politik Dan
Ekonomi 1966-1980
Dewi Fortuna Anwar menggambarkan format politik Orde Baru, antara lain
sebagai berikut. Pertama, semakin memperluas peranan sosial politik ABRI.
Dibawah rezim Orde Baru doktrin “Jalan Tengah’ telah ditafsirkan secara sangat
fleksibel, sehingga militer dikembangkan perannya tidak lagi sebatas sebagai
salah satu kekuatan social-politik disamping kekuatan social-politik yang lain,
tetapi memiliki peranan yang dominant dan sangat luas dibidang non Hankam. Keterlibatan militer tidak hanya
terlihat di bidang eksekutif, tetapi terlihat juga di bidang legislatif,
yudikatif, dan berbagai kegiatan ekonomi dan sosial. Peran militer yang semakin
luas tersebut semakin mempersempit ruang gerak masyarakat untuk bertindak
secara lebih mandiri.
Kedua, menciptakan system pemilu yang tujuan utamanya untuk
mempertahankan status-quo. Pemilu yang mestinya berfungsi antara lain
memungkinkan terjadinya pergantian pemerintah secara teratur dan berkala tidak
terjadi. Karena Golkar sebagai partai pemerintah memang direkayasa sebagai
partai hegemonic untuk selalu menjadi pemenang dalam setiap pemilu. Adanya
rekayasa tersebut tampak dimana PPP dan PDI dipersempit geraknya sehingga tidak
pernah mampu mengurangi mayoritas Golkar di DPR.
Ketiga,
menjadikan Golkar sebagai mesin pengumpul suara bagi pemerintah yang didukung
penuh oleh militer dan Korpri. Pegawai negeri (birokrasi politik) yang
seharusnya hanya berfungsi sebagai administrator pemerintahan yang netral
secara poltik, tetapi berubah menjadi bagian dari kekuatan politik (Golkar).
Oleh karena itu Golkar dengan dukungan militer dan birokrasi yang memiliki
jaringan ke desa-desa dapat memobilisasi dukungan secara efektif.
Keempat,
membiarkan bidang legislative dan yudikatif dalam posisi lemah dan subkordinat
pada lembaga eksekutif.
Format
politik Orde baru yang menempatkan militer sebagai kekuatan politik dominant
menjadi dasar yang kuat bagi pengembangan kebijakan politik yang represif. Hal
ini dimungkinkan karena militer memiliki monopoli terhadap hak pengguna
kekerasan. Keberhasilan Orde Baru (Jenderal Soeharto0 mempertahankan
kekuasaannya karena mmadukan strategi kebijakan kekerasan dengan kebijakan penukaran
(exchange) dengan bujukan (persuasion). Oleh karena itu yang berkuasa adalah
lembaga militer (ABRI)
DAFTAR PUSTAKA
Cholisin. 2002. Militer dan Gerakan Prodemokrasi.
Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
semoga bermanfaat :)
:yaya:
ReplyDelete