Wednesday 11 July 2012

SEJARAH SINGKAT KUHP, STRUKTUR KUHP DAN RANCANGAN KUHP BARU


1.   Sejarah singkat KUHP

        Induk  peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Belsuit (titah raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negeri Belanda pada 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahan. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.
        Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negeri Belanda membuat perundangan-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809. Kodifikasi hukum pidana pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Prancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Prancis. Pada tahun 1813 Prancis meninggalkan negeri Belanda, namun demikian negeri Belanda masih mempertahankan Code Penal tersebut sampai tahun 1886. Pada tahun 1886 mulai diberlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon.
        Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia maka atas dasar pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan “dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Disamping itu, Undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942 baik yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang maupun oleh panglima tertinggi Balatentara Hindia Belanda.
        Oleh karena perjuangan bangsa Indonesia belum selesai pada tahun 1946 dan munculnya dualisme KUHP setelah tahun tersebut, maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.

2.   Struktur KUHP
           
        Sistematika KUHP (WvS) terdiri dari 3 buku dan 569 pasal. Perinciannya adalah sebagai berikut :
        a. Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang terdiri dari 9 bab 103 pasal (Pasal 1-103).
        b. Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab 385 pasal (Pasal 104-488).
        c. Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81 pasal (Pasal 489-569).

        Aturan Umum yang disebut dalam Buku Pertama Bab I sampai Bab VIII berlaku bagi Buku Kedua (Kejahatan), Buku Ketiga (Pelanggaran), dan aturan hukum pidana di luar KUHP kecuali aturan di luar KUHP tersebut menentukan lain.

3.   Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

        Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pada pelaksanaannya, penggalian nilai ini bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif (KUHP), hukum agama, hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi hukum pidana.

        Adapun alasan-alasan yang mendasari perlunya pembaharuan hukum pidana nasional pernah diungkapkan oleh Sudarto, yaitu:
        a. alasan yang bersifat politik
                    adalah wajar bahwa negara Republik Indonesia yang merdeka memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan kebanggaan nasional yang inherent dengan kedudukan sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh karena itu, tugas dari pembentuk undang-undang adalah menasionalkan semua peraturan perundang-undangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
        b. alasan yang bersifat sosiologis
                    suatu KUHP pada dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan pada perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.
        c. alasan yang bersifat praktis
teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa asing semakin sedikit. Di lain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan KUHP yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang tepat.

       

Pembaharuan KUHP secara parsial/tambal sulam yang pernah dilakukan Indonesia adalah dengan beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu :

1. UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (merubah nama WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan beberapa pasal dan krimininalisasi delik pemalsuan uang dan kabar bohong).
2. UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (menambah jenis pidana pokok berupa pidana tutupan).
3. UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi (menambah kejahatan praktek dokter).
4. UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana (menambah kejahatan terhadap bendera RI).
5. UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP (memperberat ancaman pidana Pasal 359, 360, dan memperingan ancaman pidana Pasal 188). 
6. UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP (merubah vijf en twintig gulden dalam beberapa pasal menjadi dua ratus limapuluh rupiah).
7. UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 (hukuman denda dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali). 
8. UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama (penambahan Pasal 156a).
9. UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian (memperberat ancaman pidana bagi perjudian (Pasal 303 ayat (1) dan Pasal 542) dan memasukkannya Pasal 542 menjadi jenis kejahatan (Pasal 303 bis)).
10.UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (memperluas ketentuan berlakunya hukum pidana menurut tempat (Pasal 3 dan 4), penambahan Pasal 95a, 95b, dan 95c serta menambah Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan).
11. UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara (menambah kejahatan terhadap keamanan negara Pasal 107 a-f).

        Sedangkan usaha pembaharuan KUHP secara menyeluruh/total dimulai dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan. Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Konsep KUHP pertama kali, diikuti dengan Konsep KUHP 1968, 1971/1972, Konsep Basaroedin (Konsep BAS) 1977, Konsep 1979, Konsep 1982/1983, Konsep 1984/1985, Konsep 1986/1987, Konsep 1987/1988, Konsep 1989/1990, Konsep 1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998. Terakhir kali Konsep/Rancangan KUHP dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI pada tahun 1999/2000. Rancangan KUHP 1999/2000 ini telah masuk di DPR RI untuk dibahas dan disahkan.
        Selanjutnya, mengkaji Rancangan KUHP secara total dan komprehensif jelas membutuhkan waktu dan tenaga pemikiran yang ekstra keras. Dilihat dari segi pembuatannya saja, para pakar hukum di Indonesia telah membuat Rancangan KUHP sebanyak 12 kali (termasuk revisinya) selama 39 tahun (sejak tahun 1964 s.d. 2000). Pasal-pasal dalam konsep terakhir tahun 2000 juga membengkak menjadi 647 pasal. Sedangkan KUHP sekarang (WvS) “hanya” berjumlah 569  pasal.

Nama                           : Ardi Widayanto
Prodi                           : PKnH’07 Reg
Universitaas Negeri Yogyakarta
Follow: @ardimoviz

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
;