Thursday 2 August 2012

Media Massa Sebagai Alat Komunikasi Politik dalam Kampanye Pemilu 2009

Dalam momentum demokrasi. peran media massa sangat vital. Berfungsi menjaga keseimbangan sebuah entitas negara dan masyarakat. Kebebasan pers termasuk media massa merupakan keunggulan dalam rezim demokrasi. Sehingga menjadi pilar penting dalam tegaknya berdemokrasi. Media massa memiliki fungsi kontrol. Karena melalui transformasi informasi, media massa mampu mengerem laju kebijakan peremintah yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat.
Satu fenomena yang menonjol dalam Pemilu 2009 adalah semakin kuatnya peranan media Massa. Misalnya terlibat dalam proses mengkonstruksi citra para kandidat. Baik perseorangan (caleg, capres dan cawapres) maupun organisasi partai politik. Pemanfaatan media untuk mendongkrak popularitas sebenarnya telah mulai marak dan bebas. Dimulai sejak Pemilu 1999 dan semakin menguat di Pemilu 2004. bahkan hingga Pemilu kali ini. Bisa kita katakan, kemenangan SBY pada pemilihan presiden secara langsung (tahun 2004) merupakan keberhasilan marketing politiknya. Karena partainya sendiri (baca: demokrat) bukanlah partai pemenang Pemilu. Pada Pamilu 2009 masa kampanye diperpanjang menjadi 9 bulan. Dimulai 12 Juli 2008-April 2009. Dengan 38 partai peserta Pemilu. dan banyaknya tokoh yang menyatakan diri siap menjadi kandidat Presiden dan Wakil Presiden pada pilpres kemarin. Tentunya kian meramaikan "pertarungan citra" dalam merebut hati para pemilih. Kandidat yang menguasai industri citra tentunya akan memperbesar peluangnya memenangkan pertarungan tersebut.
Komunikasi politik ialah proses penyampaian informasi politik dari pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya. Partai politik perlu menerjemahkan informasi yang mudah dipahami oleh pemerintah dan masyarakat, agar komunikasi bersifat efektif (Cholisin, 2007: 114). Komunikasi politik menjadi posisi penting terutama sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan-pesan yang dapat memfungsikan kekuasaan.
Pemerintah membutuhkan informasi tentang kegiatan rakyatnya; dan sebaliknya rakyat juga harus mengetahui apa yang dikerjakan oleh pemerintahnya
Pers memang diakui merupakan salah satu alat demokratisasi yang cukup efektif. Pers menjadi jembatan yang menghubungkan kepentingan-kepentingan politik baik vertikal maupun horizontal. Pers menjadi bagian dari kehidupan politik untuk mempertemukan rakyat dan penguasa. Bahkan kebebasan pers sering menjadi salah satu ukuran apakah suatu negara telah menganut sistem demokrasi atau tidak.
Dalam masa kampanye Pemilu, media dalam hal ini media massa maupun elektronik sangat potensial dalam hal memepengaruhi publik untuk menggalang dukungan.
Pada masa orde baru media adalah pendukung pemerintah. Maka setiap beritapun tentu selalu memuji pemerintah dan kalaupun ingin mengritik pemerintah harus dengan cara yang amat halus dan tidak tajam. Begitu juga saat Pemilu, media tentunya akan pro pada partai pemerintah.
Dalam hal kampanye, media massa baik cetak maupun elektronik merupakan sebuah salauran kampanye terhadap konstituen. Apalagi dengan arus teknologi ini, rasanya media elektronik menjadi salauran utama bagi jalan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat khususnya dalam masa kampanye Pemilu. Medium ini telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi. Hal itu salah satunya disebabkan sudah banyaknya masyarakat yang memiliki televisi maupun radio, bahkan sebagian lagi sudah mampu menggunakan internet. Oleh karena itu banyak Partai maupun calon yang akan berkompetisi di Pemilu menggunakan sarana atau saluran kampanye melalui media elektronik khususnya televisi.
Contoh kasus bisa kita lihat pada Pemilu tahun 2004 kemarin khususnya Pemilu pemilihan presiden. Siapa yang sering terlihat di layar TV dari setiap stasiun televisi, dialah yang berhasil menarik simpati masyarakat. Saya teringat pada masa Pemilu legislatif di TPS ada seorang nenek yang bertanya pada petugas TPS untuk menunjukkan mana yang berlambang moncong putih yang akan dia coblos. Dengan enteng nenek tersebut berargumen bahwa bukannya gambar moncong putih yang harus dicoblos menurut iklan televisi dan yang sering diingatnya. Juga atusias kaum ibu-ibu yang riuh dalam mencoblos foto SBY sebagai idolanya bukan karena kesadaran politik.
Dari ilustrasi ini menggambarkan begitu kuatnya pengaruh media televisi untuk mempengaruhi orang awam sekalipun seperti mereka. Dengan televisi, kampanye mampu menjangkau orang-orang yang cacat sekalipun seperti tuna netra dan tuna rungu. Bagi mereka yang takdapat melihat, bisa menikmati dengan mendengar, begitu juga bagi yang tak dapat mendengar dapat menikmatinya dengan visualisasinya. Selain faktor aktualitas, televisi dengan karakteristik audio visualnya memberikan sejumlah keunggulan, diantaranya mampu menyampaikan pesan melalui gambar dan suara secara bersamaan dan hidup, serta dapat menayangkan ruang yang sangat luas kepada sejumlah besar pemirsa dalam waktu bersamaan (Nurrahmawati, 2002: 97).
Semakin sering seorang tokoh atau berita tentang partai dimuat di halaman itu, maka akan semakin terkenallah dia. Kita coba ingat kembali berita dalam surat kabar pada waktu menjelang Pemilu 2004. Siapakah calon, tokoh, atau partai yang sering ‘berpose’ di halaman utama. Tentunya kita sering melihat berita tentang tokoh baru tersebut, tentunya seorang figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Nama dan partainya begitu sering muncul, ditambah dengan berita yang membuat simpati pada tokoh tersebut akibat disia-siakan oleh pemerintah sewaktu menjabat menteri.
Ternyata media massa baik surat kabar maupun televisi berpengaruh sangat besar bagi pemenangan dalam Pemilu. Komunikasi politik lebih efektif melalui sarana tidak langsung atau menggunakan media tersebut. Karena pesan yang disampaikan akan serentak diketahui oleh orang banyak di segala penjuru dan juga dapat diulang-ulang penayangannya. Persepsi, interpretasi, maupun opini publik mudah dipengaruhi lewat iklan maupun berita dalam media. Maka untuk menghindari terjadinya disfungsi media, media harus bisa menjadi penengah atau perantara antara pemerintah, elit partai, dan masyarakat. Di masa reformasi ini, dimana sudah mulai ada kebebasan pers seharusnya pers harus mengubah pola kerjanya yang semula ‘menjilat’ pemerintah karena terpaksa, tetapi sekarang harus netral dan sebagai alat kritik sosial bagi pemerintah maupun masyarakat.
media merupakan arena penyampaian isi terkait Pemilu 2009, dimana politisi dan partai-partai politik adalah pemain sekaligus penulis isi informasi dan sutradara. Sementara itu, Rakyat hanya penonton.
Kenyataan buatan yang ditampilkan lewat iklan dan program-program politik di media sesungguhnya membodohi dan menipu Rakyat karena tidak sesuai dengan kenyataan sesungguhnya. Coba nilai, iklan politik Susilo Bambang Yudoyono (SBY), presiden saat ini, menonjolkan keberhasilan pemerintahannya menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebanyak tiga kali setelah pemerintahannya sendiri menaikkan harga BBM. Semua orang tahu naik-turunnya harga BBM di Indonesia mengikuti harga BBM dunia. Kenaikan harga BBM telah meningkatkan jumlah orang miskin. Tetapi SBY dengan bangga tanpa merasa bersalah sedikit pun menyatakan secara terbuka di beberapa media bahwa dia yang menurunkan harga BBM.
Begitu pun iklan lawan politiknya, Megawati. Dia memasang iklan untuk menepis iklan keberhasilan SBY. Pada iklan tersebut, Megawati megunakan data-data kegagalan pemerintah untuk menjatuhkan pamor SBY. Padahal, banyak kegagalan Megawati saat menjabat menjadi presiden (termasuk menaikkan harga BBM), sehingga dia saat itu kehilangan pamor dan SBY terpilih menjadi presiden. Sampai saat ini Megawati dan mesin politiknya tidak menunjukkan program-program konkret untuk Rakyat.
Partai politik memang sadar betul bahwa aksi-aksi politiknya menjadi tidak berarti tanpa kehadiran media. Menurut C. Sommerville, dalam bukunya Rakyat Pandir atau Rakyat Informasi (2000), kegiatan politik niscaya akan berkurang jika tidak disorot media. Ada beberapa hal memengaruhi itu, salah satunya media memiliki kemampuan reproduksi citra dahsyat. Beberapa aspek dari reproduksi citra bisa dilebihkan dan dikurangi dari realitas aslinya. Selain itu, media menyediakan beragam makna untuk mewakili dan membangun kembali fakta tidak terkatakan (unspeakable), yaitu beragam kepentingan politis dan finansial yang sengaja disembunyikan di balik berita dan semua isi yang tersaji melalui media. Kemampuan mendramatisir oleh media pada gilirannya merupakan amunisi yang baik bagi para politisi, terlebih menjelang pemilu, untuk memengaruhi Rakyat sebagai penonton sehingga mendukung para politisi dan partai-partai politik.
Kebanyakan media massa akhir-akhir ini di ramaikan oleh iklan-iklan politik dari berbagai politisi ataupun partai. Baik media cetak, elektronik maupun media lainnya, hampir setiap hari didalamnya kita disuguhi oleh iklan-iklan politik tersebut. Pada awalnya, kita sering melihat iklan-iklan politik ini hanya mengandung unsur ajakan, coblos ini coblos itu, tetapi seiring dengan semakin mendekatnya momentum pesta demokrasi, pemilu 2009, iklan-iklan tidak hanya bersifat ajakan atau mengarahkan mana yang harus dicoblos, melainkan sudah dalam tempo saling serang. Bukankah seharusnya memang ada panduan bagaimana iklan politik yang baik dan sesuai etika?
Dengan melakukan iklan, politisi atau partai dapat mendongkrak tingkat popularitasnya. Contohnya, sewaktu belum memakai iklan, seorang politisi hanya berhasil menjamah 20% kepopulerannya dari publik. Tetapi setelah menggunakan jasa yang bukan tanpa pamrih ini, orang tersebut berhasil membujuk masyarakat melalui iklan dengan tingkat kepopulerannya mencapai lebih dari 50%. Sungguh dahsyat memang kekuatan dari iklan yang ditampilkannya.

Manfaat iklan politik. 
Dunia advertising ini dapat mengaktualisasikan makna kesejahteraan pada publik karena pada dasarnya iklan bersifat persuasif dan informatif. Karewna bersifat informatif, iklan politik menjadi sarana politik bagi publik untuk menyadarkan mereka bahwa publik siap ikut untuk menjadi konstituen yang kuat, cerdas dan mandiri. Iklan politik juga dapat mendorong terciptanya suatu persaingan yang sehat antara peserta untuk membuat atau menciptakan program-program baru yang di butuhkan oleh khalayak.
Tetapi pada kenyataannya sekarang masyarakat masih kurang begitu paham bahwa sebenarnya ada konspirasi-konspirasi para elit politik dengan media yang bermain didalamnya. Sosialisasi, pembangunan citra, janji-janji, ataupun kata-kata manis dalam iklan bisa saja hanya realitas rekayasa dari media. Masyarakat seakan-akan termakan oleh harapan-harapan semu yang diberikan oleh para politisi dalam upaya pendekatannya dengan publik. Iklan politik semata-mata menjadikan tempat utama bagi masyarakat untuk mengetahui figur politis atau partai, sehingga istilahnya, masyrakat dengan mudah hanya menggangguk saja sebagai tanda bukti konstituen mereka walaupun sebenarnya pencitraan itu hanya terlihat dari depan ataupun samping dan tidak mengetahui di balik punggungnya. Barangkali masih terngiang di benak kita akan janji program 100 hari yang direncanakan oleh capres (calon presiden) dan cawapres (calon wakil presiden) yang heboh pada saat itu, pemilu 2004 kemaren, setelah itu kita bisa melihat sendiri kan?sudah banyak contoh kasus lain seperti ini tetapi mungkin saja tetap berlangsung dan seakan sudah menjadi tradisi.
Iklan politik tentu saja sangat efektif dalam memuluskan pencitraan popularitas, apalagi melalui media elektronik seperti televisi yang daya jangkaunya ke publik 90% lebih besar dari media lainnya. Untuk itu, para penguasa media memainkan kesempatan besar ini dan menumpuk rupiah. Pemilik media tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan besar ini, menjelang pemilu 2009 ini seakan menjadi deadline bagi mereka untuk memperbanyak pundi-pundi uang dari iklan politik dari koleganya. Siasat yang dijalankan media mungkin yang paling mencolok adalah biaya per spotnya. Misalnya, per detik iklan dipatok 6 juta rupiah, durasi iklan adalah 30 detik. Kita tinggal mengalikan saja hasilnya. Apabila dalam satu program yang satu jam memakai iklan tersebut, tentu kita akan tahu berapa besarnya keuntungan yang ada. Oleh itu, politisi atau partai harus siap merogoh kocek dalam-dalam agar muka dan visi-misi mereka muncul di televisi.

Rezim Kerahasiaan Pemilu 2009     
Iklan politik menjadi primadona bagi para kontestan pemilihan umum untuk menjaring preferensi publik. Riset Nielsen menunjukkan, dana iklan politik tahun 2008 mencapai Rp 2,208 triliun (baca: Rp 2 triliun 208 miliar), meningkat 66 persen dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai Rp 1,327 triliun. Angka yang sesungguhnya pasti lebih besar karena riset ini belum menghitung belanja iklan politik untuk media radio, Internet, serta media luar ruang. Dana iklan politik juga masih akan menggelembung karena, menjelang pemilu legislatif April 2009, dapat dipastikan iklan politik semakin gencar menyapa publik.
Namun, gegap-gempita iklan politik selalu meninggalkan persoalan kompleks. Bagaimana transparansi dan akuntabilitasnya? Publik tidak pernah tahu secara persis besaran dana iklan politik itu, dari mana asalnya, siapa saja donaturnya, dibelanjakan untuk apa saja, serta bagaimana konsekuensinya terhadap kinerja pemerintahan yang baru nanti.
Partai politik, para calon legislator, dan kandidat presiden tidak mempunyai tradisi, juga tidak dikondisikan untuk secara terbuka menjelaskan ihwal dana politik yang mereka gunakan. Publik tidak mengetahui apakah kampanye politik benar-benar steril dari penyalahgunaan anggaran publik APBN/APBD, dana departemen, dana dekonsentrasi, dan seterusnya. Publik juga tidak akan tahu seandainya, di balik gebyar iklan pemilu di media, beroperasi dana dari para pengusaha hitam, pejabat bermasalah, atau dana hasil money laundering. Aturan main pemilu sangat tidak memadai dalam mengantisipasi masalah ini. Menurut Undang-Undang Pemilu, hanya biaya kampanye partai politik yang harus dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum. Tidak jelas bagaimana transparansi dana sumbangan dari para simpatisan. Undang-Undang Pemilu juga hanya menyatakan "dana kampanye dapat berasal dari sumbangan pihak lain yang sah menurut hukum dan dibatasi besarannya" (pasal 138). Tanpa penjabaran lebih operasional, tentu klausul semacam ini mudah dilanggar atau diinterpretasikan secara berbeda.

Netralitas Media Massa
Ketika media massa berada dalam konteks sosial dan dikonsumsi oleh khalayak. Maka pada saat itu media massa berhadapan dengan masalah etika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa media massa pada dasarnya tidak bebas nilai.  Ujian terberat bagi media massa. Yakni menyeimbangkan kebebasan pers dalam memberikan informasi/pemberitaan dengan porsi tanggung jawab yang diembanya. Ia harus memposisikan netral. Keputusannya tidak boleh mau diintervensi penguasa. Walaupun disiram dengan imbalan. Karena etika kebijaksanaan pers bertujuan melakukan pendidikan terhadap rakyat. Maka pers tidak boleh tergoda oleh imbalan. Etika adalah aturan moral. Berasal dari sebuah situasi di mana seseorang bertindak dan mempengaruhi tindakan orang atau kelompok lain. Definisi etika ini juga berlaku untuk kelompok media sebagai subjek etis yang ada. Setiap arahan dan aturan moral mempunyai nilai dan level kontekstualisasi. Bisa pada tingkat individu, kelompok, komunitas atau sistem sosial yang ada. Dapat dikatakan bahwa etika pada level tertentu sangat ditentukan oleh arahan sistem sosial yang disepakati.
Dalam konteks politik, terutama dalam kesuksesan pemilihan Presiden. Peran media diharapkan dapat melakukan pendidikan politik bagi rakyat. Setidaknya berperan dalam penambahan informasi tentang pemilu presiden. Informasi tersebut bisa mempengarui perilaku memilih. Sehingga akan berdampak pada sistem politik yang berjalan. Selain itu, media dapat menjadi sarana sosialisasi. Bisa penyampaian program-program dari kandidat presiden, kemudian media juga menjadi sarana untuk memberitakan sepak terjang kandidiat. Sehingga berharap masyarakat mempunyai penilaian. Tidak salah pilih terhadap kandidat presiden.
Pemilihan presiden akan menghasilkan pemimpin baru. Pewaris pemegang otoritas kekuasaan negara ke depan. Ia memiliki wewenang dan kapasitas untuk menjalankan dan mengatur pemerintahan negara. Maka peran media adalah mengawasi (baca: kontrol). Memberikan informasi kepada publik atas aktivitas-aktivitas dan keputusan-keputusan politik yang dilakukan pemerintahannya. Aktivitas dan keputusan politik akan menjadi sentral perhatian. Dan secara tidak langsung akan membentuk opini dalam masyarakat.
Dalam mekanisme demokrasi, publik merupakan penguasa. Setiap keputusan-keputusan politik yang dihasilkan dan mengikat semua orang haruslah diketahui terlebih dahulu oleh publik (masyarakat). Publik tentunya akan merespon keputusan tersebut. Apakah sesuai dengan aspirasi mereka atau tidak. Respon tersebut kemudian menjadi pedoman. Khususnya bagi penguasa untuk memperbaiki keputusan yang mereka keluarkan. Begitu seterusnya hingga masyarakat (publik) akan menerima keputusan tersebut. Opini masyarakat terhadap figur kandidat pilpres sangat dipengaruhi oleh informasi yang diberikan media massa. Peranan media massa sanggup dan mampu membentuk opini masyarakat. Media massa bahkan mampu menggiring opini masyarakat pada kesimpulan dan persepsi yang diciptakan media. 

Kesimpulan:
Oleh karena itu media massa seharusnya menjadi sarana pencerahan dan transformasi nilai-nilai kebenaran agar masyarakat dapat melihat secara apa adanya. Media sebaiknya tidak memunculkan kesan menilai atau keberpihakan khususnya dalam masa kampanye Pemilu. Biarlah masyarakat sendiri yang akan menilai. Yang diperlukan media hanyalah menyampaikan informasi yang sebenarnya, jelas hitam putihnya. Sehingga masyarakat tidak terjebak pada pilihan mereka, karena persoalan Pemilu adalah persoalan masa depan bangsa. Media harus mampu bersikap objektif dalam penayangan berita. Selanjutnya pengaruh dari media massa terhadap politik dapat di bedakan menjadi dua, yaitu pengaruh televisi (media massa elektronik) dan pengaruh surat kabar (media massa cetak)
Dengan demikian diperlukan obyektivitas dan netralitas dari media itu sendiri agar tercipta iklim yang baik dalam masa Pemilu.



2 comments:

  1. Syukur,berkat doa nak masing masing mbah lancar ritualnya,anda yakin ama mbah mau dibantu telpon mbah 082344441278,atau klik www.master-paranormal.blogspot.com yang penting kepercayaan ada.

    ReplyDelete

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
;