Sunday 5 August 2012

Militer dan Gerakan Prodemokrasi

A. Peran Politik Militer
Militer (ABRI) khususnya NI-AD sejak awal tahun 1945 sampai Orba memainkan peranan politik yang penting. Tanpa dukungan TNI-AD pemerintah manapun tidak akan berkuasa lama. Keterlibatan dalam politik menimbulkan fraksi-fraksi dalam ABRI. Misalkan dikenal adanya ABRI hijau dan ABRI merah putih. ABRI hijau dikenal dengan dekat dengan kalangan tokoh-tokoh islam, sedangkan ABRI merah putih yaitu ABRI yang nasionalis.
1)      Perspektif Organisasi Militer
Hasnan Habib menyatakan organisasi militer sebagai raison d’etre untuk menghadapi dan mengatasi keadaan darurat (emergency organization) yang bercirikan organisasi keras, ketat, hierarkhis sentralistis, berdisiplin keras, dan bergerak atas komando. Ciri ini disebut habit formation. Sebagai emergency organization stabilitas politik merupakan perhatian utama bagi militer. Karena itu militer sangat sensitif tentang hal ini bahkan cenderung membesar-besarkan akibatnya perbedaan-perbedaan pendapat dan persaingan politik dianggap sebagai ancaman  terhadap stabilitas politik. Eric Nordlinger menggambarkan bahwa sikap negatif militer terhadap kegiatan politik masyarakat berkaitan erat dengan ciri organisasi militer, yaitu hierarkhi dan keterpaduan.
Konsepsi dan ciri organisasi militer di atas merupakan paradigma profesionalisme. Fungsi militer difokuskan pada keamanan eksternal, militer secara politik netral , dan mengakui supremasi sipil. Bagi Negara berkembang , seperti Indonesia yang menganut profesionalisme baru, organisasi militer lebih merupakan refleksi kondisi social, politik, dan kultur masyarakat.  Hal ini mengakibatkan organisasi militer memiliki cirri khas antara lain fungsi militer difokuskan pada keamanan internal, ruang lingkup tindakan militer tidak terbatas(multi fungsi), dan menciptakan manajerialisme militer-politikdan perluasan peranan. Fungsi militer sebagai stabilisator dan dinamisator dimaksudkan sebagai bentuk manajemen militer-politik untuk memperlancar jalannya pembangunan.
Fungsi militer yang ditetapkan sebagai dinamisator pembangunan merupakan upaya untuk memperkokoh legitimasi peran militer dalam politik. Yahya Muhaimin menggambarkan tentang sulitnya dwi fungsi ABRI mendorong demokratisasi. Hal ini karena dalam tradisi kehidupan militer secara universal tidak dikenal musyawarah atau kearifan dan kebersamaan sebagai kerangka niai yang sangat penting bagi demokratisasi. Hal-hal tersebut tidak dikenal sebab bersifat kontradiktif dengan system komando yang hierarkhis dengan disiplin yang kuat.
Dari perspektif organisasi, militer tidak dimaksudkan untuk ikut mengembangkan demokratisasi. Bahkan cirri-ciri organisasi militer bersifat kontradiktif dengan demokrasi. Oleh karena itu secara institusional, militer akan menjadi penghambat bagi pengembangan kehidupan yang demokratis.

2)      Perspektif Neo-Patrimonial
Harold Crouch menampilkan konsep neo-patrimonial untuk menunjukan system politik Orba yang lebih menyerupai Negara  patrimonial di masa lampau daripada suatu pility yang modern. Dalam model neo-patrimonial, birokrasi menampakan cirri-ciri modern, tetapi dalam perilakunya masih memperlihatkan warisan tradisi dan budaya politik masa lampau (kebudayaan Jawa). Dalam anggapan seperti itu birokrasi dan perilaku politik di Indonesia masih memperlihatkan karakteristik patrimonial. Di mana jabatan dan keseluruhan hierarkhi didasarkan atas hubungan personal atau hubungan “bapak-anak buah” (patron-klien). Ini berarti dalm model neo-patrimonial patron (dalam hal ini Presiden) menjadi aktor yang paling menentukan bagi pemenuhan kepentingan materi dan karir klien (elite birokrasi sipil, militer, dan parati politik dan organisasi kepanjangan pemerintah). Presiden Soeharto sebagai patron menjadi kekuatan utama politik yang dalam perkembangannya semakin menguat. Misal, sejak awal 1990 presiden Soeharto makin lama makin tampil sebagai penguasa tunggal dalam bidang politik, pemerintahan, militer, ekonomi, dan kemasyarakatan.
Militer merupkan aktor politik yang penting setelah Presiden. Posisi militer yang strategis ini dimanfaatkan pemerintah untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya seperti yang dilakukan Presiden Soeharto pada masa Orba. Perspektif neo-patrimonial menggambarkan Presiden (patron) sebagi faktor determinan terhadap peran sisal politik yang dilakukan militer (klien). Militer yang represif terhadap kegiatan politik masyarakat termasuk terhadap gerakan prodemokrasi dilakukan untuk menjamin kepentingan dan menunjukan loyalitasnya kepada patron. Sebagai imbalannya militer diberi peran social, ekonomi, dan politik yang sangat luas. Militer menyadari kondisi ini selama rezim Orba, namun tidak mencari usaha yang seriusuntuk melepaskan diri dari genggaman yang begitu ketat dari kekuasaan Presiden Soeharto.

3)      Perspektif Kepentingan Politik dan Ekonomi Militer
Kepentingan politik dan ekonomi TNI tercermin pada peran social politik yang berupa penugaskaryaan. Ramlan surbakti memperlihatkan hubungan antara politik dan ekonomi berdasarkan penjelasan social yang dikenal memiliki tiga perspektif yaitu, ekonomisme, politisisme, interktif dan perilaku berkesinambungan. Perspektif ekonomisme beranggapan proses-proses politik merupakan produk proses-proses nonpolitik atau ekonomi menentukan politik. Sebaliknya menurut perspektif politisisme struktur politik memiliki dan mengembangkan kepentingan sendiri dan menggunakan kepentingan-kepentingan ini terhadap kepentingan ekonomi. Sedangkan perspektif interaksi mencoba menjembatani kedua perspektif diatas yang beranggapan antara politik dan ekonomi memiliki hubungan timbal balik. Terakhir perspektif perilaku yang berkesinambungan didalamnya termasuk aliran perspektif public choice berupaya menerapkan asumsi, bahasa, dan logika ekonomi neoklasik ke dalam perilaku politik. Pola hubungan antara politik dengan ekonomi di Indonesia cenderung mengarah pada politisisme.
Perspektif kepentingan politik dan ekonomi militer sebagai upaya menjelaskan masalah respons terhadap gerakan prodemokrasi bersifat negatif, memang tidak popular lebih-lebih dikalangan militer. Lain halnya dengan kedua perspektif terdahulu (perspektif organisasi militer dan perspektif neo-patrimonial), yang lebih banyak digunakan untuk menjelaskan masalah tersebut. Bahkan di kalangan militer (TNI) kedua penjelasan itu telah diakui kebenarannya sebagai penjelasan mengaa militer menjadi penghambat bagi pengembangan demokrasi. 

B.     Dinamika Keterlibatan Militer Dalam Politik Dan Ekonomi 1966-1980
Dewi Fortuna Anwar menggambarkan format politik Orde Baru, antara lain sebagai berikut. Pertama, semakin memperluas peranan sosial politik ABRI. Dibawah rezim Orde Baru doktrin “Jalan Tengah’ telah ditafsirkan secara sangat fleksibel, sehingga militer dikembangkan perannya tidak lagi sebatas sebagai salah satu kekuatan social-politik disamping kekuatan social-politik yang lain, tetapi memiliki peranan yang dominant dan sangat luas dibidang  non Hankam. Keterlibatan militer tidak hanya terlihat di bidang eksekutif, tetapi terlihat juga di bidang legislatif, yudikatif, dan berbagai kegiatan ekonomi dan sosial. Peran militer yang semakin luas tersebut semakin mempersempit ruang gerak masyarakat untuk bertindak secara lebih mandiri.
Kedua, menciptakan system pemilu yang tujuan utamanya untuk mempertahankan status-quo. Pemilu yang mestinya berfungsi antara lain memungkinkan terjadinya pergantian pemerintah secara teratur dan berkala tidak terjadi. Karena Golkar sebagai partai pemerintah memang direkayasa sebagai partai hegemonic untuk selalu menjadi pemenang dalam setiap pemilu. Adanya rekayasa tersebut tampak dimana PPP dan PDI dipersempit geraknya sehingga tidak pernah mampu mengurangi mayoritas Golkar di DPR.
Ketiga, menjadikan Golkar sebagai mesin pengumpul suara bagi pemerintah yang didukung penuh oleh militer dan Korpri. Pegawai negeri (birokrasi politik) yang seharusnya hanya berfungsi sebagai administrator pemerintahan yang netral secara poltik, tetapi berubah menjadi bagian dari kekuatan politik (Golkar). Oleh karena itu Golkar dengan dukungan militer dan birokrasi yang memiliki jaringan ke desa-desa dapat memobilisasi dukungan secara efektif.
Keempat, membiarkan bidang legislative dan yudikatif dalam posisi lemah dan subkordinat pada lembaga eksekutif.
Format politik Orde baru yang menempatkan militer sebagai kekuatan politik dominant menjadi dasar yang kuat bagi pengembangan kebijakan politik yang represif. Hal ini dimungkinkan karena militer memiliki monopoli terhadap hak pengguna kekerasan. Keberhasilan Orde Baru (Jenderal Soeharto0 mempertahankan kekuasaannya karena mmadukan strategi kebijakan kekerasan dengan kebijakan penukaran (exchange) dengan bujukan (persuasion). Oleh karena itu yang berkuasa adalah lembaga militer (ABRI)


C.    Respons Militer Terhadap Gerakan Prodemokrasi
1)      Pola – Pola Respons Militer Terhadap Gerakan Prodemokrasi
Respons militer terhadap gerakan prodemokrasi cenderung bersifat monopolitik yaitu dalam bentuk refrensif. Bentuk reprensif yang bersifat langsung hingga subtle atau dari metode reprensif sehingga metode persuasi fisik, bentuk reprensif langsung mencakup intimidasi, penganiayaan, penculikan bahkan pembunuhan. Sedangkan bentuk sublet mencakup konfromasi, intervensi, pendeskriditas, pelarangan melakukan aktifitas, pencekalan dan pencegalan.
Respons intimidasi tidak hanya di lakukan pada gerakan prodemokrasi dari unsur partai politik nonpemerintahan seperti larangan mendukung atau memilih Mega sebagai ketua PDI tetapi juga dilakukan terhadap aktivis mahasiswa yang melakukan demo. Intimidasi merambah pada gerakan prodemokrasi dari unsure intelektual. Hal ini menunjukan pihak militer memandang perbedaan pendapat sebagai sesuatu yang tabu karena mencerminkan konflik dan konflik dipandang sesuatu yang agresif dan desdruktif. Penganiayaan terhadap gerakan prodemokrasi aktivis mahasiswa, buruh dan tani dalam memperjuangkan hak-haknya, keadilan, demokrasi dan hak asasi manusia untuk ketika melakukan demo. Penganiayaan yang dilakukan berupa penembakan dengan peluruh karet, pentungan dan pemukulan.
Reprensi fisik yang paling melumpuhkan adalah pembunuhan. Hal tersebut dilakukan terhadap aktivis mahasiswa ,buru dan petani. Hilangnya nyawa merupakan akibat dari penembakan peluruh tajam dan penganiayaan pihak militer terhadap para aktivis demokrasi. Kasus Trisakti, Marsinah, dan Nipan merupakan contoh tentang pola reprensi dengan penghilangan nyawa.
Reprensi dalam bentuk subtle yang pertama adalah konfrontatif. Respons tersebut ditujukan terhadap partai politik nonpemerintahan, aktivis mahasiswa dan intelektual. Militer bersikap lain ketika partai nonpemerintahan menghendaki militer bersikap netral terhadap kekuatan politik. Alasan yang dilontarkan bervariasi, misalnya, anggotan ABRI adalah kader Golkar, ABRI memang menghendaki single majority, dan KBA-lah yang digiring ke Golkar bukan ABRI aktif atau sebagai institusi.
Intervensi tidak sekedar terlihat pada seleksi utusan DPC/DPD ke kongres, tetapi juga terlibatnya aparat dirsospol pada kongres ,bahkan disusunnya kriteria pecalonan ketua partai oleh pihak militer. Intervensi yang berlebihan tersebut dilakukan agar ketua partai nonpemerintahan yang terpilih bersedia dikooptasi dan bekerjasama dengan pihak militer. Hal tersebut juga dimaksudkan unuk mengembangkan konflik internal partai sehingga solidaritas partai menjadi lemah dan berkembangnya partai nonpemerintahan yang bersifat oposan dapat dicegah, sehingga rekayasa pengembangan partai hegemonik yang sekaligus sebagai kepanjangan kepentingan politik militer dapat berjalan secara efektif.
Respon yang  ketiga adalah pendiskreditan, dilakukan oleh militer yang bersifat halus hingga keras. Pendiskreditan halus misalnya dengan menyebutkan partai politik nonpemerintah yang tidak diakui secara resmi oleh pemerintah yang melakuakan trobosan mengajukan calon presiden dan wakil presiden untuk mengubah budaya calon tunggal yang sangat tidak demokratis sebagai IDS (individu di luar sistem) sedangkan pendiskreditan keras misalnya dengan melontarkan tuduhan sebagai pemicu kerusuhan, makar,OBT/ berbau kekiri-kirian dan PKI. Pendiskreditan yang tidak rasional realistic ini merupakan upaya membuat opini publik agar masyarakat tidak simpatik terhadap gerakan prodemokrasi dan menghilangkan keberanian aktivis prodemokrasi untuk melakukan aktivitasnya.
Respon keempat adalah lapangan untuk melakukan aktivitas, larangan tersebut ditunjukan pada organisai-organisasi yang berpotensi memiliki pengaruh yang luas karena mamiliki basis sosial atau dukungan besar dan bagiseseorang yang berpandangan  memiliki pengaruh kuat dalam membentuk pendapat umum
Pola-pola respons represif terdapat pada gerakan-gerakan prodemokrasi di atas secara subtansial cenderung sama antara militer yang masih aktif dengan kalangan purnawirawan yang tidak termasuk pembangkang elite maupun antar fraksi ABRI “hijau’ dengan fraksi ABRI “merah putih”. Dalam respons konfortatif antara kedua fraksi ini ada kesan beda namun sesungguhnya sebatas pada metode pada subtansi. Hal ini dapat dilihat dalam respons konfrontatif terhadap tuntutan agar agar militer bersikap netral dan tidak berpihak kepada kekuatan politik tertentu. Militer yang aktif dalam fraksi ‘hijau’ cenderung merespons dengan keras bahkan vulgar dengan menyatakan ABRI adalah kader Golkar dan sekarang masih diperlukan single majority. Sedang fraksi ‘merah putih’ cenderung merespons secara lebih hati-hati sehingga tampak tidak tegas.
Pola-pola respons militer yang bersifat negatif (represif)pada kurun waktu 1990 – 1998 cenderung meningkat ketika mengahapi agenda politikyang sangat penting terutama pemilu 1997 yang dinilai sangat strategis untuk suksesi kepemimpinan nasional. Begitu juga ketika menghadapi krisis dan tuntutan reformasi pada pemilu 1998. Respon militer akan selalu bersikap reprensif ketika berkaitan dengan kepentingan politik militer dalam konstalasi politik nasional.

2)      Dimensi Kepentingan Politik dan Ekonomi Militer dalam Merespons Gerakan Prodemokrasi
Keterlibatan militer dalam politik pada tahun 90-an semakin intens, bahkan berusaha keras untuk menjadi penentuan dan tetap dominan dalam suksesi pada 1998. Keinginan untuk selalu terlibat dalam politik sangat kuat sepeti terlihat dalam respons konfrontatif terhadap pemikiran dari gerakan prodemokrasi yang mempertanyakan dwifungsi ABRI yang membawa akses. Dwifungsi merupakan sesuatu yang bersifat built in, sehingga yang diubah hanya implementasinya bukan substansialnya.
Peran militer yang kuat dalam politik berimbas dalam bidang ekonomi. Peran militer yang besar dalam stabilitas politik dan keamanan memberikan ketenangan dan ketentraman berusaha bagi konglomerat. Ini memberikan suatu petunjuk bahwa militer merupakan aktor (birokrat) yang berperan dalam menentukan politik yang berimbas pada peran bisnisnya berarti unsur pertama dari prespektif ekonomi-politik politisme atau PSP terpenuhi.
Bisnis yang dikembangkan militer pada tahun 1990-an sarat denagn iklim kolusi. Cara bisnis yang lebih mengandalkan kekuasaan tampak disadari dan di pahami betul oleh perwira militer, mereka memilih profesi militer dan mengembangkan karir militer cenderung bermotif ekonomi, sehingga di kalangan perwira militer lebih berupaya untuk menduduki jabatan srategis yang mudah mendatangkan keuntungan ekonomi sebagaimana tercemin pada pelaksanaan kekaryaan.
Fakta di atas menunjukan bahwa militer mengandalkan modal kekuasaan dalam pelaksanaan bisnis. Dalam prespektif ekonomi-politik di kenal “R-S” atau “akumulasi kekuasaan sebagai modal utama bisnis”. Hal ini berarti mekanisme pelaksanaan bisnis oleh militer di lakukan dengan mekanisme kekuasaan/politik. Mekanisme ini tampak dilakukan militer ketika menghadapi berbagai pemikiran, sikap maupun tuntutan gerakan prodemokrasi untuk memecahkan berbagai problema politik ekonomi.
Tuntutan perubahan politik-ekonomi yang dianjurkan gerakan prodemokrasi tahun 1990-an, juga direspons militer secara reprensif. Tuntutan perubahan politik mencakup perubahan kearah multi partai, demokrasi parlementer, pengawasan terhadap kekuasaan, perubahan lima paket undang-undang politik, peninjauan kembali dwifungsi ABRI karena kebanyakan melahirkan ekses bagi demokratisasi, penghapusan floating mass sampai pada penggantian kepemimpinan nasional. Sedangkan tuntutan perubahan ekonomi mencangkup kenaikan upah buruh, turunkan harga, penghapusan kesenjangan sosial-ekonomi, penghapusan praktek monopoli, oligopoly, kartel dan mengurangi keterlibatan militer dalam bisnis karena membawa ekses diataranya kolusi dan erzatz capitalisme.
Respons reprensi militer terhadap tuntutan perubahan politik-ekonomi oleh gerakan prodemokrasi tersebut menunjukkan ideologi militer yang statisme / konservatif. Hal itu bisa ditunjukan pada pernyataan – pernyataan mereka sebagai berikut :
a)      Tuntutan terhadap penggantian kepemimpinan nasional bersifat radikal dan inskonstitusional
b)      Ekses dwifungsi ABRI juga bisa terjadi dimana – mana
c)      Krisis 1997 terjadi gara – gara operasi intelijen ekonomi asing, pelaksanaan modal dan kultur kurang percaya pada rencana dan prinsip dasar ekonomi
d)     Pembaharuan ekonomi lebih dahulu baru politik
Secara umum ideologi statisme tercemin pada pandangan militer bahwa reformasi harus dilakukan secara gradual dengan alasan hal-hal yang perlu dipertahankan, adanya kesinambungan dan perubahan. Kecenderungan berkembangnya idiologi statisme di kalangan militer tampak ketika petinggi militer yang terlibat aktif dan berhasil dalam melakukan represi terhadap gerakan prodemokrasi dinilai berprestasi dan perlu di berikan reward.
Militer memang melakukan reformasi internal namun hanya dalam konsep karena militer tidak penah berniat lepaskan peran social-politiknya. Respons militer yang bersifat negatif (represif) terhadap tuntutan perubahan politik-ekonomi oleh gerakan prodemokrasi di atas menunjukan aspek ketiga dari perspektif ekonomi-politik politisisme atau PSP terpenuhi. 

DAFTAR PUSTAKA

Cholisin. 2002. Militer dan Gerakan Prodemokrasi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
;