Tuesday, 24 July 2012

MULTIKULTURALISME DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK

 
Tugas Individu
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Multikultur
BAB I
PENDAHULUAN
Otonomi daerah memungkinkan setiap daerah menonjolkan kekhasannya sebagai sumber potensi. Namun di sisi lain, era otonomi daerah yang seluas-luasnya juga berdampak negatif bagi lokalitas dengan berkembangnya semangat etnosentrisme dan potensi disintegrasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Efek negatif tersebut tidak terlepas dari penafsiran sempit akan makna kebanggaan lokalitas. Lokalitas hanya dimaknai sebagai ruang kultural tanpa mempertimbangkan lokalitas sebagai suatu ruang politik di mana seluruh orang yang ada dalam lokalitas tersebut (dengan identitas etnis, ras, agama, dan kultur apapun) memiliki hak-hak politik yang sederajat. Maka kebanggaan yang muncul pun menjadi kebanggaan semu yang berdiri di atas kepentingan sempit identitas suatu kelompok elit, tanpa memperhatikan kondisi massa secara keseluruhan.
Secara kultural, karakteristik masyarakat Indonesia sangat beragam meski secara umum sering disebut sebagai masyarakat multikultural. Seiring dengan perkembangan zaman, keanekaragaman masyarakat Indonesia semakin bertambah, tidak hanya dari dimensi kultural namun juga dimensi identitas (ras, etnisitas, agama). Dalam kondisi seperti inilah konsep multikulturalisme memperoleh relevansinya. Wacana multikulturalisme menjadi relevan manakala berhadapan dengan realitas kehidupan sosial di Indonesia yang semakin hari semakin kosmopolis.
Karenanya, tidak mungkin suatu kebijakan publik dibuat dengan hanya memakai perspektif suatu etnik atau religi, meskipun etnik atau religi tersebut adalah etnik atau religi mayoritas. Dalam kondisi yang serba beragam, perumusan kebijakan publik mestinya menjadi proses kolektif yang multiperspektif, termasuk dari sisi kultural, sehingga dapat dihasilkan kebijakan publik yang mampu menjawab tantangan global dewasa ini. Para wakil rakyat yang berada di DPR RI pun dituntut untuk mampu mengantisipasi tantangan zaman tersebut, yang salahsatunya tercermin dalam berbagai produk hukum yang dihasilkannya. Karenanya, pemahaman mengenai multikulturalisme serta strategi untuk menerapkannya dalam proses perumusan kebijakan publik dapat menjadi awal bagi lahirnya peraturan-peraturan yang lebih demokratis.

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme berasal dari kata “multi” yang berarti plural, “kultural” yang berarti kultur atau budaya dan “isme” yang berarti paham atau aliran. Istilah multikulturalisme bukan sekadar pengakuan akan adanya kultur atau budaya yang berjenis-jenis, tetapi pengakuan itu juga mempunyai implikasi-implikasi politis, Istilah multikulturalisme bukan sekadar pengakuan akan adanya kultur atau budaya yang berjenis-jenis, tetapi pengakuan itu juga mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial dan ekonomi, terutama yang berkaitan dengan “the right to culture”. Rumusan Multikulturalisme Menurut Rob Reich adalah
a)      Multikulturalisme Deskriptif
Multikulturalisme deskriptif yaitu kenyataan sosial yang dikenal oleh pakar ilmu politik sebagai kenyataan pluralistik. Multikulturalisme deskriptif tidak mengakui adanya satu konsep mengenai yang disebut sesuatu yang baik (good). Sesuatu yang baik tergantung kepada nilai pluralistik dalam masyarakat. Dengan demikian kebenaran yang disebut tunggal tidak dikenal dalam konsep multikulturalisme. Yang baik adalah yang dianggap benar oleh suatu masyarakat.
b)      Multikulturalisme Normatif
Multikulturalisme Normatif berkaitan dengan dasar-dasar moral antara keterikatan seseorang dalam suatu negara bangsa. Artinya terdapat suatu ikatan moral dari anggota-anggotanya dalam batas-batas negara bangsa untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan bersama. Dalam kaitan ini multikulturalisme normatif merupakan suatu kritik sosial dalam membangun keinginan bersama dari suatu kelompok, membangun suatu wadah di dalam pluralitas budaya yang ada dalam komunitas tersebut.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Selanjutnya Suparlan mengutip Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan Reed (ed. 1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.
Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.
2.      Multikulturalisme dalam Perumusan Kebijakan Publik
Politik tidak hanya dimengerti secara formal dan kaku, tetapi lebih lugas sebagai daya upaya anggota masyarakat untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan mereka, upaya untuk bertahan menghadapi kelompok yang lebih kuat secara ekonomi, sosial, dan ideologis, termasuk upaya mereka mempertahankan pandangan hidup berupa ekspresi budaya dan nilai-nilai atau norma-norma yang ada. Jadi politik tidak hanya berurusan dengan akumulasi dan manipulasi kekuasaan tetapi juga permasalahan distribusi sumber daya (resources) secara adil.
Bentuk konkret dari politik adalah kebijakan publik yang pada hakikatnya merupakan bentuk pengaturan distribusi sumberdaya-sumberdaya politik, baik yang berupa kekuasaan, kesejahteraan, kesehatan, keamanan, ketertiban, dll. Dalam konsep sistem politik, kebijakan publik bahkan dimaknai sebagai bentuk konkret dari artikulasi dan agregasi berbagai kepentingan publik, baik yang berupa tuntutan maupun dukungan. Kebijakan publik berperan sebagai mekanisme otoritatif untuk mendistribusikan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, sekaligus menyelesaikan permasalahan kesenjangan sumberdaya tersebut. Peran penting inilah yang menyebabkan kebijakan publik harus lahir dari proses yang transparan dan melibatkan sebanyak mungkin pihak yang berkepentingan.
Namun, dalam praktiknya, kebijakan publik seringkali tidak lahir dari suatu proses yang transparan dan partisipatif. Dalam banyak kasus, kebijakan publik justru lahir dari proses yang tertutup dan elitis, sehingga peluang terjadinya distorsi antara muatan kebijakan publik dengan kepentingan publik menjadi lebih besar. Distorsi ini bisa timbul manakala kepentingan mayoritas mendominasi proses pembuatan kebijakan publik, sehingga kepentingan minoritas terkalahkan. Selain itu, keterbatasan kemampuan untuk melakukan lobbying dan bargaining dalam proses kebijakan juga dapat menyebabkan kebijakan publik yang lahir justru bertentangan dengan kepentingan publik.
Dalam konteks masyarakat yang sangat beragam, baik secara etnisitas, ideologi, religi, ras, dll., semakin sulit untuk merancang posisi yang setara di antara berbagai kelompok kepentingan karena pasti terdapat kelompok yang mayoritas dan juga terdapat kelompok yang menjadi minoritas. Kondisi ini merupakan fakta sosial yang tidak dapat dihindari. Namun, bukan berarti bahwa kondisi ini tidak dapat diubah. Di sejumlah negara, persoalan dilematis ini coba diatasi dengan menerapkan model demokrasi yang memungkinkan adanya affirmative action berupa pengakuan formal terhadap kesetaraan kelompok-kelompok masyarakat. Malaysia, Singapura, dan Thailand, misalnya, merupakan contoh negara-negara yang menerapkan model demokrasi konsosiasional di mana para anggota parlemen merupakan representasi dari kelompok-kelompok masyarakat yang ada, baik secara kultural maupun politik. Melalui model demokrasi ini, diharapkan parlemen dapat menjadi ujung tombak bagi lahirnya kebijakan-kebijakan publik yang multikulturalis.
Sejalan dengan model demokrasi konsosiasional, David Held (2000) pun mengajukan model demokrasi kosmopolitan yang diyakini mampu mengatasi kebuntuan demokrasi liberal. Model demokrasi kosmopolitan lahir sebagai respon terhadap tantangan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang semakin plural bahkan tidak lagi mengenai batas-batas teritorial suatu negara. Sistem kekuasaan dipandang seperti suatu jejaring (network) yang saling terkait antarberbagai kelompok masyarakat dan bangsa. Jejaring kekuasaan ini meliputi seluruh institusi kekuasaan, baik di level suprastruktur maupun infrastruktur, institusi ekonomi, masyarakat sipil, dll. Demokrasi ini mengakui perbedaan-perbedaan kultural yang ada sebagai suatu kesetaraan, sehingga setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan sebaliknya secara bebas terlibat dalam mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Dalam perspektif demokrasi kosmopolitan, budaya merupakan sumberdaya yang perlu menjadi acuan dalam pengambilan kebijakan.
Pada praktiknya, model demokrasi kosmopolitan menganut sejumlah prinsip yang dapat diadopsi dalam perumusan kebijakan. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1)      Kapasitas untuk menentukan pilihan secara mandiri
Prinsip ini mengakui bahwa semua kelompok masyarakat (termasuk juga kelompok etnik) memiliki kapasitas untuk menentukan pilihan secara mandiri. Prinsip ini mengharuskan adanya komitmen terhadap otonomi dan pengakuan hak-hak dan kewajiban untuk menegakan hukum sebagai aturan main dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2)      Adopsi terhadap prinsip-prinsip dan aturan main berdasarkan hukum yang berlaku
Hukum menjadi mekanisme untuk membatasi bentuk dan ruang lingkup tindakan individual maupun kolektif dalam berbagai institusi, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun civil society. Untuk menjamin penegakan hukum, maka sejumlah standar pun ditetapkan agar ada kesetaraan bagi semua anggota masyarakat, sehingga jalan kekerasan untuk mencapai tujuan tidak dibenarkan.
3)      Perumusan peraturan dan penegakan hukum
Prinsip ini berlaku bagi setiap level institusi dan seluruh anggota masyarakat, sehingga bersifat non diskriminatif. Prinsip ini juga berlaku sebagai bentuk pengawasan dan pengendalian terhadap berbagai praktik penggunaan kekuasaan dan otoritas lembaga pemerintahan.
4)      Prioritas kolektif
Prinsip ini mendasari perumusan kebijakan agar setiap kebijakan yang dihasilkan dilandaskan pada skala prioritas yang mengacu pada kepentingan publik, yakni kepentingan sebagian besar kelompok masyarakat (bukan hanya kepentingan kelompok mayoritas). Penyusunan skala prioritas dalam agenda setting kebijakan publik perlu memperhatikan komitmen terhadap otonomi demokrasi sebagai landasan bagi keberlangsungan demokratisasi.
5)      Prinsip keadilan sosial
Prinsip mendasari pembuatan kebijakan sebagai mekanisme untuk menjamin distribusi sumberdaya-sumberdaya secara adil, menghindarkan eksploitasi sumberdaya untuk kepentingan sesaat atau kepentingan segelintir orang.
6)      Prinsip relasi non koersif
Demokrasi kosmopolitan menekankan penyelesaian konflik melalui manajemen konflik dan mekanisme resolusi yang berbasis governance, dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan. Penggunaan paksaan hanya diperkenankan setelah seluruh mekanisme negosiasi tidak dapat dilakukan lagi. Namun, kekuasaan ini pun tetap diterapkan oleh institusi yang memiliki kewenangan legal untuk melakukan paksaan dan menjatuhkan sanksi.
7)      Keanggotaan lintas budaya
Melalui prinsip ini, demokrasi kosmopolitan memberikan peluang bagi setiap anggota masyarakat yang berbeda-beda dapat saling berinteraksi bahkan dapat menjadi anggota dari berbagai organisasi yang beragam, tanpa memandang asal etnisitas, ras, agama, atau ideologinya. Keanggotaan organisasi kemasyarakatan bersifat terbuka, sehingga dapat memperluas akses partisipasi publik.
Ketujuh prinsip tersebut menegaskan bahwa multikulturalisme dan demokrasi menjadi dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dalam merumuskan suatu desain kebijakan publik yang mengakui kesederajatan berbagai budaya. Demokrasi tidak mungkin hidup dalam sebuah masyarakat bila demokrasi tidak diserap ke dalam dan menjadi kebudayaan serta pranata-pranata sosial dari masyarakat tersebut. Begitu pula halnya demokrasi tidak mungkin hidup bila tidak didukung nilai-nilai budaya yang merupakan patokan bagi pedoman etika dan moral, baik secara sosial, legal, ekonomi dan politik yang berlaku pada tingkat individual maupun pada tingkat kemasyarakatan.
Prinsip demokrasi hanya mungkin dapat berkembang dan hidup secara mantap dalam sebuah masyarakat sipil yang terbuka, yaitu yang warganya mempunyai toleransi terhadap perbedan-perbedaan dalam bentuk apa pun. Adanya kesetaraan dalam derajat kemanusiaan yang saling menghormati, yang diatur oleh hukum yang berkeadilan dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya. Di antara prinsip-prinsip mendasar dari demokrasi adalah kesetaraan derajat individu dengan meniadakan hierarki sosial berdasarkan atas rasial, suku bangsa, kebangsaan, ataupun kekayaan dan kekuasaan. Kemudian adanya kebebasan (freedom), individualisme dan individualitas, toleransi terhadap perbedaan-perbedaan, konflik-konflik, dan adanya konsensus dalam proses politik; hukum yang adil dan beradab, dan prikemanusiaan.
Sebagai sebuah ide, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia. Berbagai kegiatan dalam cakupan kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan pilitik, dan berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan. Karenanya, multikulturalisme dapat menjadi suatu strategi dari integrasi sosial di mana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati, sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam mengantisipasi setiap isu yang mengarah pada konflik sosial, separatisme, dan disintegrasi sosial.



BAB III
PENUTUP
Komitmen untuk mengakui keragaman sebagai salah satu ciri masyarakat Jawa Barat dewasa ini tidaklah berarti terjadinya ketercerabutan dari akar budaya lokal (Sunda) karena pada saat yang sama sesungguhnya juga terdapat simbol-simbol, nilai-nilai, struktur-struktur, dan lembaga-lembaga dalam kehidupan bersama yang mengikat berbagai keragaman tersebut. Dalam karakter masyarakat yang mengarah pada kosmopolitanisme, multikulturalisme menjadikan pola interaksi dan identifikasi diri menjadi bersifat multi sehingga seseorang tidak hanya merasa diri sebagai orang Sunda karena dia dilahirkan dari orang tua beretnis Sunda, tapi lebih dari itu, seorang yang bukan etnis Sunda tapi lahir di Bandung pun bisa merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat Sunda.
Pengalaman mengajarkan, bukan semangat kemanungalan atau ketunggalan yang paling potensial akan melahirkan persatuan kuat dan kemajuan suatu masyarakat, tetapi pengakuan adanya pluralitas budaya inilah yang lebih menjamin tercapainya visi dan misi Jawa Barat menuju pembaruan sosial yang demokratis. Di samping itu, yang perlu kita jadikan standar secara kolektif dalam suatu komunitas sosial kehidupan bermasyarakat adanya “keajekan sosial” (social consistency) yang sama-sama kita miliki. “Keajekan sosial” tersebut berupa sistem nilai sosial, seperti etika yang harus kita sepakati dan taati secara bersama-sama oleh suatu masyarakat yang multikultural. Hal demikian akan memungkinkan realitas sosial yang multikultural tidak akan mudah terjebak dalam sebuah konflik-konflik komunal yang merugikan semua pihak. Dengan semangat multikulturalisme, perbedaan hendaknya dipahami sebagai aset dan bukan sebagai pemicu konflik, apalagi dimanipulasi sebagai alat pertarungan kekuasaan.
Kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural hendaknya dapat dimanfaatkan sebagai faktor pendorong bagi munculnya kreativitas dan inovasi yang pada gilirannya akan mendukung percepatan pencapaian visi dan misi dari bangsa Indonesia sendiri.




DAFTAR PUSTAKA

http://dedemariana.blogspot.com/2007/10/multikulturalisme-dalam-perumusan.html http://pustakawan.pnri.go.id/uploads/media/5/PERPUSTAKAANDANPENDIDIKANMULTIKULTURALISME.doc.
http://rusnaini.staff.fkip.uns.ac.id/files/2009/02/pokok-bahasan-1.pdf


Disusun oleh :
Ardi Widayanto
07401241043

Semoga bermanfaat
follow: @ardimoviz

1 comment:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
;