PENDAHULUAN
Bangsa
Indonesia telah menggelar pemilihan umum (Pemilu) pada 9 April lalu. Pemilu
sebagai pesta demokrasi lima tahunan yang dimaksudkan untuk menyegarkan kembali
wacana kepemimpinan nasional sejatinya memerlukan partisipasi aktif warga
negara untuk bersama-sama membangun negara menjadi lebih baik dan demokratis.
Dalam pelaksanaan pemilu legislatif 9 April 2009 lalu, diprediksi,
kecenderungan terhadap membengkaknya golongan putih (Golput) masih besar. Dalam
hal ini, golput lebih banyak diartikan sebagai akibat ketidaktahuan masyarakat
tentang pemilu. Maka banyak di antara mereka yang tidak menggunakan hak
politiknya. Wacana golput memang tak pernah sirna dari pemilu ke pemilu. Semua
ini tidak terlepas dari akar golput yang telah muncul sejak pemilu pertama tahun
1955. Kebanyakan masyarakat tidak datang ke tempat pemungutan suara. Sehingga
untuk menentukan angka golput tidaklah mudah, karena suara tidak sah juga
dikelompokkan sebagai golput.
Sementara,
membincangkan demokrasi mesti ada kontrol masyarakat terhadap urusan-urusan
publik sebagai sikap politiknya. Sebab, rakyat merupakan pundi-pundi politik,
karena perannya tidak hanya berhenti di pemilu saja. Apalagi demokrasi akan
semakin terhambat jika partisipasi politik masyarakat semakin lesu. Padahal
pemilu awal sebuah partisipasi warga negara untuk memperbaiki semua kekurangan
pembangunan, dengan tetap percaya bahwa demokrasi di Indonesia masih perlu
waktu untuk menjadi lebih baik melalui proses konsolidasinya. Langkah politik
untuk mempercepat pembangunan politik di Indonesia dengan menjadikan pemilu
sebagai momentum politik perbaikan untuk memilih pemimpin yang kuat dan
dipercaya oleh masyarakat. Singkatnya, tak ada pilihan untuk golput. Karena
golput bukan langkah cerdas untuk memajukan bangsa, melainkan langkah
kemandekan bangsa. Cara paling tepat adalah meningkatkan partisipasi politik
rakyat melalui keterlibatannya dalam pembangunan nasional, serta kegiatan
pengawasan agar pemerintahan tetap berjalan pada jalur yang benar untuk
memakmurkan kesejahteraan rakyat.
Yang menjadi
pertanyaan, kenapa kepercayaan masyarakat terhadap pemilu menjadi rendah? Kita
memang patut miris jika melihat tingkat partisipasi masyarakat yang terus
menyusut dari pemilu ke pemilu. Namun, yang dilakukan masyarakat itu, tentu bukan
tanpa alasan. Ada latar belakang yang menjadikan mereka kemudian lebih memilih
untuk tidak memilih dalam pemilu. Lalu hal-hal apa sajakah yang menyebabkan
partisipasi masyarakat menurun, terlebih dalam pemilu 2009 ini? Setidaknya
dengan pembahasan dari makalah ini, akan memberikan sedikit pemahaman dan
pengetahuan bagi para pembacanya tentang partisipasi politik pemilu 2009.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Partisipasi
Partisipasi secara harafiah berarti keikutsertaan,
dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam
berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah
hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan
oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat
adalah mobilisasi politik.
Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan,
mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk
juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Huntington
dan Nelson (1995:6), mendefinisikan partisipasi politik sebagai “ kegiatan
warga Negara preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan
keputusan oleh pemerintah”.
Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering
mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan
yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya
ungkapan pemimpin "Saya mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat
BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masing-masing".
Sebaliknya jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor
utama pembuatan keputusan. Dengan melihat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik rezim atau
pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum:
- Rezim otoriter - warga tidak tahu-menahu tentang segala kebijakan dan keputusan politik
- Rezim patrimonial - warga diberitahu tentang keputusan politik yang telah dibuat oleh para pemimpin, tanpa bisa mempengaruhinya.
- Rezim partisipatif - warga bisa mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh para pemimpinnya.
- Rezim demokratis - warga merupakan aktor utama pembuatan keputusan politik.
B.
Fenomena
Partisipasi Politik di Indonesia
Ada gejala menggembirakan bila menatap wajah
demokrasi Indonesia tujuh tahun ke belakang. Penyelenggaraan Pemilu 1999 dan
2004, di tengah segala kekurangannya, banyak mendapatkan pujian. Dua pemilu
terakhir, dipandang sebagai titik tolak tegaknya demokrasi di bumi pertiwi,
karena pintu kebebasan sudah mulai dibuka dan kemandirian berekspresi begitu
dihargai.
Namun ironis. Di tengah demokrasi yang sudah
mulai mapan ini, ada kecenderungan yang kurang sinergis. Sejak Pemilu 1971
hingga ke Pemilu 2004, tren persentase pemilih yang menggunakan hak suaranya
terus melorot. Bahkan yang lebih parah, titik penurunan itu terjadi saat
demokrasi dan kebebasan sangat terbuka lebar di negeri ini, yakni Pemilu 1999
dan 2004. Pada Pemilu 1999, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias
golput, naik menjadi 7,2 persen dibandingkan Pemilu 1997 yang hanya 6,4 persen
saja. Lebih ironis lagi, penurunan partisipasi itu terjadi saat Pemilu 2004
lalu.
Dalam tiga rangkaian pemilu yang diselenggarakan
secara berurutan kala itu, sebanyak 16 persen dari pemilih terdaftar tidak
menyumbangkan suaranya untuk pemilu legislatif. Kemudian, angka ini mengalami
kenaikan menjadi 21,77 persen pada saat pilpres putaran pertama. Pada akhirnya,
angka ini kembali mengalami kenaikan pada saat pilpres putaran kedua menjadi 23,37
persen. Padahal, dalam Pemilu 2004, sistem pemilu sudah berubah menjadi
pemilihan secara langsung dan euforia demokrasi sedang marak-maraknya.
Setidaknya, ada tiga alasan utama kenapa kepercayaan
masyarakat begitu rendah terhadap lembaga pemilu. Pertama, karena publik sudah
merasa tidak pernah terwakili oleh partai politik yang dijagokannya. Harapan
besar yang sempat menggenang di dada para pemilik suara ketika memasuki bilik
pencoblosan, melayang begitu saja kala aspirasi mereka hanya dipandang sebelah mata
oleh partainya.
Publik yang merasa dizalimi oleh partai politik
ini, terekam dalam survei LSI yang dipublikasikan pada Maret 2006 yang lalu.
Dalam survei itu, lebih dari 50 persen masyarakat menyatakan kecewa dengan
kinerja partai politik. Bahkan, survei yang dilakukan berbarengan dengan isu
santer kenaikan BBM dan impor beras kala itu, dibanding lembaga publik lainnya
seperti presiden, polisi, tentara, dan DPR, parpol dinilai paling buruk
kinerjanya. Hampir semua pemilih tidak tahu sikap dan keputusan partai tentang
dua isu penting yaitu kenaikan BBM dan impor beras.
Hubungan psikologis antara masyarakat dan partai
politik pun begitu rendah. Dalam survei yang dilakukan oleh LSI di awal 2006,
hanya sekitar 25 persen saja dari pemilih yang punya hubungan psikologis secara
positif dengan parpol. Selebihnya, pemilih merasa buta dengan kondisi partai
politik.
Kedua, publik sudah mulai gerah dengan
kepongahan para elite politik Tanah Air. Boleh dikatakan, komitmen para elite
politik untuk memperbaiki diri, baik dari kinerja, perilaku, maupun
keberpihakannya, belum juga terwujud. Manuver dan citra yang mereka munculkan,
kebanyakan menerabas keadilan publik. Ambil sebagai salah satu contoh,
tersebarnya video mesum dari kalangan anggota DPR yang banyak dipergunjingkan
akhir-akhir ini. Kasus ini adalah cerminan bagaimana perilaku para elite
politik memang jauh dari harapan masyarakat. Bisa jadi, kasus yang terungkap ini
hanyalah gumpalan gunung es. Padahal, saat ini masyarakat sedang diresahkan
oleh kelangkaan BBM. Mereka harus antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan 5-10
liter minyak tanah. Di sisi lain, anggota DPR yang merupakan wakil untuk
memperjuangkan aspirasi mereka, sedang terbuai membuat film porno dan
"berasik-masyuk" bersama selingkuhannya
Ketiga, publik sudah mulai pandai menganalisa
kondisi politik atau sudah beranjak ke pemilih yang rasional. Ini
dilatarbelakangi oleh santernya perkembangan teknologi. Hampir setiap keluarga,
sudah memiliki media televisi yang menyalurkan informasi padat tentang kondisi
politik nasional. Media televisi telah merubah karkter berpikir mereka kala
disuguhkan kejadian dan perilaku para elite politik.
Prospek Suram
Jika melihat ketiga faktor di atas, sepertinya
kita akan suram menatap prospek partisipasi masyarakat pada Pemilu 2009
mendatang. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik, keresahan
masyarakat dengan kepongahan para elite politik plus pemilih yang sudah
rasional, akan semakin mereduksi partisipasi pada pemilu mendatang.
Terkait dengan pemilih rasional, yang perlu
diwaspadai adalah pemilih pemula. Kelompok ini merupakan pemegang jumlah suara
terbanyak dalam pemilu. Dan kelompok ini merupakan sasaran empuk untuk dibidik
dalam pemilu mendatang. Para pemilih muda yang menjadi potensi besar dalam
Pemilu 2009 adalah pemilih pemula dan yang telah mengikuti satu atau dua pemilu
sebelumnya, yaitu mereka yang berusia 18 sampai 30-an tahun. Catatan proyeksi
penduduk Indonesia yang dibuat Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional menunjukkan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2009
sebesar 231,3 juta jiwa, 70 persen di antaranya adalah kelompok usia pemilih.
Kelompok pemilih muda tercatat merupakan jumlah terbanyak di antara kelompok
usia pemilih.
Pemilu
2009, dari sekitar 170 juta penduduk, 59 persen di antaranya adalah pemilih
yang berusia 20-40 tahun. Inilah kelompok yang paling berpotensi untuk
dirangkul. Namun, kelompok ini juga yang rentan menjadi kelompok golongan putih
alias golput. Dalam kelompok ini banyak terangkum pemilih dari kalangan
pelajar, mahasiswa, dan pekerja muda yang lebih kritis daripada kelompok usia
lain. Meskipun tidak ada angka pasti, sebagian pengamat yakin sebagian besar
golput berasal dari kelompok ini.
Perubahan Partisipasi
Politik
Dalam memasuki putaran kedua kampanye Pemilihan Presiden ini beberapa hal dapat
kita jadikan tolok ukur untuk melihat perubahan partisipasi politik masyarakat
:
1.
Perubahan dari loyalitas partai menjadi loyalitas personafikasi
Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi yang kita hadapi di lapangan pada
putaran pertama pilpres tanggal 5 Juli yang lalu sangat berbeda dari apa
yang kita hadapi pada pemilu legislatif sebelumnya. Perbedaaan tersebut tidak
hanya dari pola kampanye yang dilakukan para kontestan tetapi juga dari
bagaimana masyarakat sebagai pihak yang didambakan pilihannya memandang para
kontestan dalam berkampanye. Dalam kampanye parpol bulan Maret lalu bentuk
pandangan para pemilih masih terkotak pada bentuk platform partai dimana mereka
merasa dekat, apakah itu parpol yang berbasis agama, ideologi, atau sosial
budaya. Pandangan itu menyebabkan perilaku dan pola kampanye parpol masih
tertuju pada apa yang bisa ditawarkan oleh partai kepada masyarakat, hanya
beberapa parpol saja yang berani menawarkan karismatik calon andalannya salah
satunya yang fenomenal adalah Partai Demokrat yang mencalonkan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), PDIP yang memajukan Megawati dan Partai Amanat Nasional yang
memunculkan Amien Rais . Hasil dari pola tersebut adalah 7 parpol yang lolos electoral
treshold.
Pada putaran pertama pilpres 5 Juli lalu
perilaku masyarakat mulai berubah, walaupun konstelasi politik turut
mempengaruhi perilaku pemilih seperti koalisi partai dan tumbuhnya organisasi
pendukung pergerakan partai. Tetapi pengaruh yang
paling besar dari perubahan perilaku pemilih yaitu mulai diterapkannya kampanye
personifikasi dengan propaganda-propaganda personal lewat sarana-sarana
teknologi komunikasi baik secara konvensional maupun modern. Para pemilih
seperti disajikan suatu tontonan baru dari wajah perpolitikan Indonesia,
tontonan yang menurut berbagai pihak seperti NDI dan Jimmy Carter Center (JCC)
sebagai langkah awal menuju Indonesia yang lebih adil, dan demokratis.
Para capres dan pasangannya berturut-turut berusaha membuka diri pada
publik bahwa sifat dan karakter mereka adalah yang paling tepat bagi rakyat
Indonesia untuk 5 tahun mendatang. Hasilnya? Adalah pencitraan kembali (re-imaging)
dari masing-masing kontestan, dan siapakah yang citranya paling diminati
masyarakat pemilih Indonesia? Pengumuman KPU Pusat tanggal 26 Juli 2004 lalu
menetapkan bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK)
menempati peringkat teratas disusul dengan pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi.
2. Perubahan Orientasi
Pemilih Pasif
Mau tak mau fenomena pemilih pasif atau lebih
dikenal dengan sebutan golongan putih (golput) cukup menakutkan bagi
keseluruhan kehidupan politik Indonesia. Betapa tidak? Dari hari ke hari isu
golput semakin santer sehingga seperti suatu hal biasa saja bagi masyarakat
untuk tidak memilih seperti mereka memilih apakah akan berbelanja di pasar
tradisional atau mal. Tetapi apa yang dilihat seperti hantu ternyata tidak
seseram yang dibayangkan semula seperti acara horor di televisi swasta saja. Para pemilih golput pun ternyata merupakan bagian dari konteks efek
samping demokrasi yang lebih bebas dan adil. Pada pemilu legislatif, orientasi
pemilih pasif (penulis lebih condong untuk menggunakan istilah ini dibandingkan
istilah golput) masih pada ketidakpercayaan terhadap pandangan parpol peserta
pemilu selain juga tingkat kesadaran politik yang masih kurang.
Pada pemilu pilpres putaran pertama tanggal 5 Juli lalu orientasi ini
bergeser ke arah ketidakpuasan terhadap kondisi politik yang ada pada
karakteristik pemilih masing-masing dan tidak diakomodasi oleh parpol-parpol
yang mencalonkan para capres-cawapres. Ketidakpuasan ini menyebabkan pada
daerah-daerah tertentu di tanah air tingkat partisipasi pemilih pasif meningkat
hingga 35%. Tetapi yang patut disyukuri bahwa masyarakat Lampung masih
mempunyai tingkat kesadaran politik yang cukup tinggi hal ini dibuktikan dengan
bertambahnya seratus ribu lebih suara pemilih aktif dibandingkan pemilu
legislatif sebelumnya.
3. Pengaruh Opini Publik
Dalam komunikasi politik, opini publik merupakan senjata yang ampuh
dalam mengambil simpati para pemilih. Salah satu contoh seperti dalam kampanye
pemilihan presiden di Amerika Serikat, bagaimana dengan membentuk opini publik
yang kuat tentang kegagalan Pemerintahan Bush dalam mengantisipasi Tragedi
9/11, John Kerry, kandidat dari Partai Demokrat dapat mengungguli partisipasi
politik pemilih dalam jejak pendapat yang diadakan berbagai media center.
Begitupun dengan pilpres putaran kedua ini bagaimana simpati masyarakat kembali
ditarik ulur oleh kedua pasangan yang lolos untuk dipilih pada tanggal 20
September 2004 nanti. Termasuk isu beberapa minggu belakangan ini tentang
penguakan kembali kasus 27 Juli 1996 (Kudatuli) yang dimanfaatkan salah satu
kandidat untuk meraih partisipasi dengan pencitraan kembali (re-imaging)
sebagai pihak yang tertindas dan patut mendapat simpati. Masyarakat harus
waspada bahwa ini tidak lebih dari panggung politik semata dan ada kemungkinan
untuk skenario buntu yang hanya membawa masyarakat pada kegagalan kembali.
Hebatnya pengaruh opini pada dua kali pemilu yang sudah lewat tidak
lepas dari peran para pemimpin opini (opinion leaders) dan media. Para
pemimpin opini selalu muncul dalam media-media baik cetak maupun elektronik
untuk menjawab, mengembangkan ataupun membentuk isu-isu politik baru. Pada
pemilu legislatif, isu yang berkembang pada pemilih pasif lebih pada faktor
teknis dibandingkan faktor visi dan platform yang tidak pas. Kegagalan
pendistribusian logistik cukup santer sehingga membuat beberapa daerah harus
terlambat mengadakan pemilu belum lagi daerah-daerah yang harus diulang karena
adanya indikasi kecurangan. Pada pilpres putaran pertama, isu pada tingkat
pemilih pasif bergeser pada ketidakpuasan, gagalnya Gus Dur pada bursa calon
capres cukup membuat beberapa kalangan berpikir untuk tidak memilih. Walaupun
secara institusi Gus Dur bicara juga untuk mendukung adiknya, pada
kenyataannya, orang tetap memilih karena melihat Gus Dur secara personal.
Pengaruh Teknologi
Komunikasi
Dari beberapa analisa perubahan di atas, salah satu variabel yang dipandang
cukup penting adalah peran teknologi komunikasi dalam meningkat partisipasi
politik pemilih dan pengaruhnya pada metode kampanye para konstentan pemilu.
Kita mengakui bahwa apa yang kita jalankan pada pemilu kali ini sangat berbeda
dari apa yang kita lakukan 5 tahun yang lalu, apalagi 10 tahun yang lalu.
Penggunaan media yang lebih interaktif, bahasa-bahasa kampanye yang komunikatif
dan simbol-simbol yang lebih atraktif membuat masyarakat pemilih terbuai dalam
politik populer (pop politics) dengan ideologi populer (pop ideology).
Perkembangan teknologi informasi memang memegang peranan yang penting dalam hal
ini, peranan itu yang memotong jalur komunikasi menjadi lebih efektif baik
antar kontestan dalam pemilu legislatif maupun antar kandidat capres-cawapres
dengan massa pendukungnya. Peranan tersebutlah yang memungkinkan sesuatunya
lebih efisien baik dalam hal waktu, tenaga maupun finansial masing-masing
peserta pemilu. Salah satu contohnya seperti penggunaan website maupun email
dalam berkampanye, ataupun penggunaan sms untuk menyebarkan isu-isu politik.
Bahkan jejak pendapat yang cukup laris diadakan oleh berbagai lembaga survei
pun merupakan salah satu institusi yang bisa memanfaatkan perkembangan
teknologi komunikasi.
PENUTUP
Partisipasi politik adalah
keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan
keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut
serta dalam pelaksanaan keputusan. Di
Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu
pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang
sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan.
Dengan melihat derajat partisipasi politik warga
dalam proses politik rezim atau pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum:
- Rezim otoriter - warga tidak tahu-menahu tentang segala kebijakan dan keputusan politik
- Rezim patrimonial - warga diberitahu tentang keputusan politik yang telah dibuat oleh para pemimpin, tanpa bisa mempengaruhinya.
- Rezim partisipatif - warga bisa mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh para pemimpinnya.
- Rezim demokratis - warga merupakan aktor utama pembuatan keputusan politik.
Dalam memasuki putaran kedua kampanye Pemilihan Presiden ini beberapa hal dapat
kita jadikan tolok ukur untuk melihat perubahan partisipasi politik masyarakat
:
1. Perubahan dari loyalitas
partai menjadi loyalitas personafikasi
2. Perubahan
Orientasi Pemilih Pasif
3. Pengaruh Opini Publik
DAFTAR PUSTAKA
“Http.//id.
Wikipedia. Org/Wiki/Partisipasi Politik”
Suharno. 2004.
Diktat Kuliah Sosiologi Politik. Yogyakarta
sumber gambar: inilah.com
Semoga Bermanfaat :)
Follow: @ardimoviz