Saturday, 21 July 2012

REKRUTMEN POLITIK PADA PEMILU LEGISLATIF 2009

Tugas Individu
“REKRUTMEN POLITIK PADA PEMILU LEGISLATIF 2009”
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Politik

Disusun oleh :
Ardi Widayanto
07401241043


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2009

BAB I
PENDAHULUAN
Tahun 2009 dapat dipastikan menjadi hari-hari sibuk bagi partai politik. Penyelenggaraan Pemilu 2009 merupakan momentum penting bagi partai politik menunjukkan eksisitensinya. Bagi partai politik, Pemilu 2009 memiliki arti strategis sekaligus krusial. Strategis dalam arti, jika pemilu dapat dilaksanakan dengan baik dalam kualitas demokrasi yang memadai, jalan menuju demokrasi akan semakin mulus. Namun, jika Pemilu 2009 tidak menunjukkan kualitas yang memadai, demokrasi itu sedang memasuki titik krusial.
Pemilu 2009 merupakan momen untuk mengukur apakah nilai-nilai subtantif demokrasi telah masuk pada tahap pelembagaan politik atau masih terus larut dalam euforia liberalisasi politik. Dalam konteks ini, dapat diartikan bahwa penyelenggaraan pemilu tidak hanya dinilai dari tahap pelaksanaan tepat waktu, jujur, adil, dan partisipatif. Akan tetapi, dapat pula dilihat secara kualitas pada proses dan capaiannya. Kualitas proses yakni apakah pemilu telah disadari oleh seluruh komponen bangsa sebagai wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Sedangkan pada kualitas capaian adalah, apakah hasil dari pemilu tersebut telah menggambarkan kehendak rasional masyarakat.
Oleh karena itu, partai politik merupakan tempat yang paling tepat untuk proses rekrutmen politik, dalam rangka mengorganisasi kekuasaan secara demokratis. Rekrutmen merupakan arena untuk membangun kaderisasi, regenerasi, dan seleksi para kandidat, serta membangun legitimasi dan relasi antara partai dengan masyarakat sipil. Selama ini ada argumen bahwa rekrutmen politik merupakan sebuah proses awal yang akan sangat menentukan kinerja parlemen (legislatif). Jika sekarang kapasitas dan legitimasi DPRD sangat lemah, salah satu penyebabnya adalah proses rekrutmen yang buruk.
Dalam konteks ini muncul pertanyaan, mengapa hasil rekrutmen parlemen (DPR/DPRD) masa lalu itu dianggap gagal? Pokok persoalannya tentu ada pada partai politik itu sendiri, ketika melakukan rekrutmen politik. Partai politik berperan sebagai agen yang menyediakan dan mempersiapkan calon-calon politisi yang akan duduk di kursi parlemen. Semua itu, tentunya akan bergantung pada rekrutmen politik yang dipengaruhi sistem kepartaian dan sistem pemilu yang dikembangkan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Rekrutmen Politik
Rekrutmen politik  memegang peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Karena proses ini menentukan orang-orang yang akan menjalankan fungsi-fungsi sistem politik negara itu melalui lembaga-lembaga yang ada. Oleh karena itu, tercapai tidaknya tujuan suatu sistem politik tergantung pada kualitas rekrutmen  politik.
Rekrutmen politik adalah proses pengisian jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga politik, termasuk partai politik dan administrasi atau birokrasi oleh orang-orang yang akan menjalankan  kekuasaan politik (Suharno, 2004: 117). Ada dua macam mekanisme rekrutmen politik, yaitu rekrutmen yang terbuka dan tertutup. Dalam model rekrtmen terbuka, semua warga negara yang memenuhi syarat tertentu(seperti kemempuan, kecakapan, umur, keadaan fisik, dsb) mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki posisi-posisi yang ada dalam lembaga negara/pemerintah. Suasana kompetisi untuk mengisi jabatan biasanya cukup tinggi, sehingga orang-orang yang benar-benar sudah teruji saja yang akan berhasil keluar sebagai pemenangnya.  Ujian tersebut biasanya menyangkut visinya tentang keadaan masyarakat atau yang di kenal  sebagai platform politiknya serta nilai moral yang melekat dalam ddirinya termasuk integritasnya. Sebaliknya, dalam sistem rekrutmen tertutup , kesempatan tersebut hanyalah dinikmati oleh sekelompok kecil orang. Ujian oleh masyarakat terhadap kualitas serta integritas tokoh masyarakat biasanya sangat jarang dilakukan, kecuali oleh sekelompok kecil elite itu sendiri (Suharno, 2004: 117).

B.     Permasalahan dalam Rekrutmen Politik
Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan signifikan dalam masyarakat politik. Dalam konteks rekrutmen politik parlemen, ada sejumlah gejala yang tidak kondusif bagi proses membangun demokrasi. Pertama, sistem pemilihan umum proporsional telah mengabadikan dominasi oligarki dalam proses rekrutmen. Elite partai di daerah sangat berkuasa penuh terhadap proses rekrutmen, yang menentukan siapa yang bakal menduduki “nomor topi” dan siapa yang sengsara menduduki “nomor sepatu”. Bagaimanapun pola oligarki elite itu tidak demokratis, melainkan cenderung memelihara praktik-praktik KKN yang sangat tertutup. Pola tidak menghasilkan parlemen yang representatif dan mandatori, melainkan parlemen bertipe partisan yang lebih loyal kepada partai politik.
Kedua, proses rekrutmen tidak berlangsung secara terbuka dan partisipatif. Pihak kandidat sama sekali tidak mempunyai sense terhadap konstituen yang menjadi basisnya karena dia hanya “mewakili” daerah administratif (bukan konstituen yang sebenarnya), sehingga pembelajaran untuk membangun akuntabilitas dan responsivitas menjadi sangat lemah. Sebaliknya masyarakat juga tidak tahu siapa kandidat yang bakal mewakilinya, yang kelak akan membawa dan mempertanggungjawabkan mandat. Publik sering bilang bahwa masyarakat hanya bisa “membeli kucing dalam karung”. Masyarakat juga tidak bisa menyampaikan voice untuk mempengaruhi kandidat-kandidat yang duduk dalam daftar calon, karena hal ini merupakan otoritas penuh partai politik. Proses dialog yang terbuka antara partai dengan masyarakat hampir tidak ada, sehingga tidak ada kontrak sosial dimana masyarakat bisa memberikan mandat kepada partai. Masyarakat hanya memberikan “cek kosong” kepada partai yang kemudian partai bisa mengisi seenaknya sendiri terhadap “cek kosong” itu.
Ketiga, dalam proses rekrutmen tidak dibangun relasi (linkage) yang baik antara partai politik dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil hanya dipandang secara numerik sebagai angka, bukan sebagai konstituen yang harus dihormati dan dipejuangkan. Berbagai organisasi masyarakat hanya ditempatkan sebagai underbow, sebuah mesin politik yang memobilisasi massa, bukan sebagai basis perjuangan politik partai. Sebaliknya, pihak aktivis organisasi masyarakat tidak memandang partai politik sebagai bagian dari gerakan sosial (social movement) untuk mempengaruhi kebijakan dan mengontrol negara, melainkan hanya sebagai “kendaraan politik” untuk meraih kekuasaan dan kekuasaan. Akibatnya, para anggota parlemen hanya berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bukan pada misi perjuangan politik yang berguna bagi masyarakat. Bahkan ketika berhasil menduduki jabatan parlemen, mereka melupakan basis dukungan massa yang telah mengangkatnya meraih kekuasaan. Tidak sedikit anggota DPRD yang mengabaikan forum atau partisipasi ekstraparlementer, karena mereka mengklaim bahwa DPRD menjadi lembaga perwakilan paling absah dan partisipasi itu tidak diatur dalam udang-undang atau peraturan daerah.
Keempat, dalam proses rekrutmen, partai politik sering menerapkan pendekatan “asal comot” terhadap kandidat yang dipandang sebagai “mesin politik”. Pendekatan ini cenderung mengabaikan aspek legitimasi, komitmen, kapasitas, dan misi perjuangan. Para mantan tentara dan pejabat diambil bukan karena mempunyai visi-misi, melainkan karena mereka mempunyai sisa-sisa jaringan kekuasaan. Para pengusaha dicomot karena mempunyai duit banyak yang bisa digunakan secara efektif untuk dana mobilisasi hingga money politics. Para selebritis diambil karena mereka mempunyai banyak penggemar. Para ulama (yang selama ini menjadi penjaga moral) juga diambil karena mempunyai pengikut masa tradisional. Partai politik secara mudah (dengan iming-iming tertentu) mengambil tokoh ormas, intelektual, atau akademisi di kampus yang haus akan kekuasaan dan ingin menjadikan partai sebagai jalan untuk mobilitas vertikal. Sementara para aktivis, intelektual maupun akademisi yang konsisten pada misi perjuangannya tidak mau bergabung atau sulit diajak bergabung ke partai politik, sebab dalam partai politik tidak terjadi dialektika untuk memperjuangkan idealisme. Sekarang pendekatan “asal comot” yang dilakukan partai semakin kentara ketika undang-undang mewajibkan kuota 30% kursi untuk kaum perempuan.
Kelima, proses kampanye (sebagai bagian dari mekanisme rekrutmen) tidak diisi dengan pengembangan ruang publik yang demokratis, dialog yang terbuka dan sebagai arena untuk kontrak sosial untuk membangun visi bersama, melainkan hanya sebagai ajang show of force,banter-banteran knalpot, dan obral janji. Bagi para pendukung partai, kampanye menjadi ajang pesta dan arena untuk menyalurkan ekspresi identitas yang kurang beradab. Mereka bisa memperoleh “wur-wur” dalam bentuk jaket, topi, kaos, atribut-atribut partai lain secara gratis, menerima sembako atau sekadar uang bensin, dan lain-lain. Ketika kampanye digelar, yang hadir hanyalah fungsionaris partai dan para pendukungnya, bukan stakeholders yang luas untuk menyampaikan mandat dari masyarakat.
Keenam, proses pemilihan umum dan proses rekrutmen bekerja dalam konteks “massa mengambang” yang kurang terdidik dan kritis. Dalam jangka yang cukup panjang masyarakat Indonesia tidak memperoleh pendidikan politik secara sehat sehingga menghasilkan jutaan pemilih tradisional yang sangat rentan dengan praktik-praktik mobilisasi. Sekarang, meski ada kebebasan yang terbuka, pendidikan politik secara sehat belum terjadi. Partai politik tidak memainkan peran yang memadai dalam pendidikan politik kepada masyarakat. Sampai sekarang sebagian besar rakyat Indonesia adalah silent majority, yang tenang, apatis (masa bodoh) dan tidak kritis dalam menghadapi proses politik. Akibatnya budaya politik yang partisipatif (civic culture) belum terbangun. Kondisi seperti ini tentu saja tidakmemungkinkan terjadinya proses rekrutmen secara terbuka dan partisipatif.
C.    Rekrutmen Politik Pada Pemilu Legislatif 2009
Salah satu proses politik yang penting bagi partai politik menjelang pemilu tahun 2009 adalah rekruitmen politik.  Proses ini sangat menentukan bagi kelangsungan aktivitas partai politik dan kualitas demokrasi.  Betapa tidak,  penetapan calon anggota legislatif yang duduk di kursi parlemen ditentukan oleh jumlah suara dukungan yang diperolehnya.  Paling tidak dengan 30 persen suara dukungan riil dalam pemilu dapat mengantar seorang calon duduk menjadi wakil rakyat, meskipun dalam daftar calon legislatif nomor urutnya termasuk nomor besar.  Ini bermakna kualitas calon anggota legislatif sangat menentukan perolehan suara partai politik dalam pemilu mendatang.
Melihat keadaan ini dapat dipahami proses rekrutmen yang dilakukan partai politik menjadi titik permulaan yang harus dilakukan partai politik terutama dalam proses pengkaderan anggotanya maupun promosi elite politik baru.  Namun bagi sebagian besar partai politik di negeri ini masalah tersebut tidaklah begitu diambil peduli.  Kebanyakan partai politik hanya berorientasi bagaimana mendapat kekuasaan secara cepat dengan biaya murah sehingga mengabaikan rekrutmen politik ini. Rekrutmen politik adalah sebagai fungsi mengambil individu dalam masyarakat untuk dididik, dilatih sehingga memiliki keahlian dan peran khusus dalam sistem politik.  Dharapkan dari proses rekrutmen ini individu yang dididik dan dilatih tersebut memiliki pengetahuan, nilai, harapan dan kepedulian politik yang berguna bagi konsolidasi demokrasi.
Sebenarnya rekrutmen politik ini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari aktifitas partai politik di manapun berada.  Sayangnya di Indonesia, fungsi ini baru dapat berjalan ketika pemilu akan diadakan. Lemahnya fungsi rekrutmen politik ini sebenarnya sudah dapat dijumpai terutama sejak verifikasi partai politik dilakukan oleh KPU.  Seandainya proses verifikasi keanggotaan partai politik di tingkat akar rumput dilakukan lebih cermat oleh KPU, maka dapat dilihat bagaimana potret partai politik kita yang sebenarnya.
Seperti diketahui dalam UU pemilu disebutkan partai politik yang menjadi peserta pemilu harus memiliki keanggotaan yang jelas di daerah.  Verifikasi keanggotaan ini merupakan cara untuk membuktikan bahwa partai politik itu memang mendapat dukungan masyarakat.  Jadi keberadaan partai politik itu, memang dibutuhkan paling tidak oleh anggotanya.  Untuk mengetahui dukungan masyarakat ini, UU mensyaratkan bahwa dukungan itu harus dibuktikan dengan KTP atau kartu identitas lainnya.  Jika partai tersebut tidak dapat menunjukkan identitas anggotaannya dalam jumlah tertentu, maka partai tersebut belum layak disebut sebagai partai politik.  Namun dalam kenyataannya, keanggotaan partai politik seperti kepemilikan terhadap kartu tanda penduduk sebagaimana disyaratkan UU kebanyakan diperoleh dengan cara “dibeli” dengan sejumlah uang.
Bagi masyarakat apa yang dilakukan ini bukanlah suatu kesalahan karena mereka memang tidak mengetahui konsekuensi dari tindakannya ini.  Ini karena masyarakat memang belum memperoleh pendidikan politik yang maksimal berkaitan dengan perannya sebagai aktor politik.  Akibatnya tidak jarang seseorang bisa memiliki dua atau tiga kartu keanggotaan partai politik karena keberhasilannya menjual KTP kepada partai politik.  Ironinya partai politik pun dengan percaya diri mengklaim bahwa mereka telah didukung oleh masyarakat dan menuntut haknya agar dapat berkompetisi dalam pemilu.
Jumlah partai politik (parpol) peserta Pemilu 2009 jauh dari yang diinginkan publik. Bukannya berkurang, tapi malah bertambah. Ada 38 parpol akan bersaing secara nasional, sementara di Nanggroe Aceh Darussalam ditambah dengan enam partai lokal sesuai Undang-undang (UU) No 11/2006.
Jumlah parpol yang melimpah itu menjadikan orang beramai-ramai jadi calon anggota legislatif (caleg). Tak peduli apakah sebelumnya mereka paham tentang kerja parpol dan kerja anggota legislatif. Mulai dari guru besar di universitas, pengacara, kalangan profesional, (pensiunan) pegawai negeri sipil atau anggota militer, pemain sinetron, ibu rumah tangga, hingga pengangguran dan preman di jalanan, mereka beramai-ramai menjadi caleg.
Pemilu Legislatif 2009 sekaligus sebagai ujian terhadap faktor kehati-hatian Parpol dalam melakukan rekrutmen Caleg. Banyak Parpol yang kaget terhadap perubahan di tengah jalan sistem Pemilu Legislatif 2009 terkait penentuan Caleg yang berhak duduk pada lembaga perwakilan berdasarkan perolehan suata terbanyak. Selama ini Parpol terkesan asal pasang saja seseorang pada daftar Caleg dengan menempatkan "orang khusus" pada nomor urut jadi. Parpol yang banyak memasukan anak pejabat pemerintahan atau pengurus partai dalam daftar Caleg, bisa saja menjadi bumerang pada Pemilu mendatang. Namun dapat dipahami tentang rasa terhadap para pengurus Parpol yang puluhan tahun mengabdi lalu diberikan penghargaan sebagai caleg, selain menghindari terjadi konflik internal partai.
Dr Dede Mariana, dosen Fisip Unpad Bandung, menilai iklim politik di Indonesia saat ini seperti sedang memasuki zaman neo-promodialisme, misalnya sarat tema kesukuan, ikatan almamater, dan sumber daya yang bisa menguntungkan. Hal ini bisa membuat seolah-olah hanya yang bermodal besar dan latar belakang keluarga politik saja yang bisa tampil di kancah politik. Padahal dengan demokrasi itu kita ingin menciptakan siapapun boleh terbuka lebar untuk berkarir di politik tanpa harus terdiskriminasi oleh latar belakang keluarga dan lain-lain. Seharusnya Indonesia harus membenahi Konstitusi terlebih dahulu. Jangan sampai ada calon-calon yang hebat (calon independen) tetapi terdiskriminasi oleh konstitusi.
Banyak orang mendadak jadi politisi, langsung jadi caleg. Hal ini tak lepas dari banyaknya parpol yang muncul bukan karena didesain secara matang, tetapi lebih banyak karena reaksi ketidakpuasan terhadap partai yang lebih dahulu ada. Partai Hanura dan Partai Gerindra misalnya, merupakan dua parpol yang didirikan sejumlah pihak yang tidak mendapat ruang untuk berkreasi di Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan hasil pacahan Partai Persatuan Pembangunan (PPP); Partai Matahari Bangsa hasil sempalan PAN; demikian juga Partai Kedaulatan Nahdlatul Umat (PKNU) yang merupakan pecahan PKB; serta Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang muncul karena ketidakpuasan terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Ideologi Mirip
Hampir semua partai yang lahir di era reformasi memiliki sejarah kelahiran yang mirip, ketidakpuasan. Ketidakpuasan itu juga bukan masalah ideologi atau garis perjuangan partai tetapi lebih banyak karena secara internal tidak mendapat kesempatan untuk berkuasa. Misalnya, adanya kekalahan dalam proses pemilihan ketua umum partai atau tidak diberi ruang untuk mengajukan diri sebagai calon presiden.
Semua partai baru dideklarasikan dulu beberapa orang yang menganggap diri sebagai tokoh yang populer, baru kemudian mencari anggota untuk menghadapi pemilu terdekat. Hebatnya, setelah dideklarasikan langsung siap menghadapi pemilu. Sangat jarang atau bahkan tidak ada yang membangun struktur hingga ke seluruh pelosok terlebih dahulu baru mendeklarasikan diri sebagai parpol yang siap menghadapi pemilu. Akibatnya, menjelang pemilu siapa saja bisa dijadikan caleg setelah mendapat kartu tanda anggota (KTA). Dengan cara demikian pun, cukup banyak parpol yang kesulitan mengajukan caleg.
Motivasi orang menjadi caleg pun sangat bervariasi. Mulai dari mencari pekerjaan, meningkatkan status sosial, prestise, ditawari parpol tertentu, mengikuti tren atau ikut-ikutan, dan juga yang serius berkarya di bidang politik. Paling tidak, ada 11.600 orang akan bersaing memperebutkan 570 kursi DPR dalam pemilu 9 April 2009 nanti. Sekitar 112.000 orang bersaing memperbutkan kursi DPRD Provinsi dan lebih dari 1,5 juta orang memperebutkan kursi DPRD Kabupaten/Kota dengan berbagai macam motivasi.
Padahal, kerja sebagai wakil rakyat sangat menentukan semua aspek kehidupan bernegara. Itu bukan pekerjaan yang gampang. Kualitas demokrasi lebih banyak ditentukan sejauh mana kualitas kerja wakil rakyatnya. Motivasi, keseriusan, dan kompetensi anggota dewan akan turut berpengaruh pada produk undang-undang yang dihasilkannya.
Tak Terukur
Pengamat politik Arbi Sanit mengatakan, rekrutmen anggota parpol yang tidak jelas mengakibatkan anggota legislatif yang dihasilkan menyusun undang-undang dengan “kaca mata kuda”.
Banyak produk undang-undang yang tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Bahkan sejumlah UU yang disahkan DPR belakangan ini selalu digugat masyarakat ke Mahkamah Konsitusi (MK). Banyak orang menjadi anggota dewan karena menganggap pekerjaan tersebut bergelimang uang.
Sejauh ini, tidak ada parpol yang memiliki pola pengkaderan yang terukur untuk menentukan daftar caleg. Semua parpol hanya ingin cepat berkuasa dengan meraih dukungan tetapi hanya jangka pendek. Tidak ada parpol yang secara serius melakukan pengkaderan untuk menciptakan pemimpin jangka panjang, padahal pengkaderan merupakan prasyarat dan tugas utama partai politik sebagai tempat menciptakan pemimpin baru. Banyak partai baru mengandalkan popularitas figur tertentu untuk mendulang suara dalam pemilu, bukan karena kerja infrastruktur partai.
Dengan pola rekrutmen anggota parpol yang lalu menjadi caleg seperti ini, sangat sulit membayangkan wakil rakyat periode mendatang bisa lebih baik. Bisa saja ini dijadikan risiko sistem multipartai, tetapi juga bagian dari proses demokrasi Pancasila.


BAB III
PENUTUP
Rekrutmen politik yang baik seharusnya dimulai dengan pendidikan politik yang dilakukan secara berkesinambungan oleh partai politik. Namun banyak partai politik tidak melakukannya karena berbagai kendala. Misalnya masalah keuangan yang memang menjadi masalah besar dalam perkembangan partai politik di Indonesia.  Selain itu, tidak jelasnya ideologi partai politik berdampak pula pada visi, misi dan program yang partai politik tersebut.  Sukar dinafikan partai politik di Indonesia belum memiliki tanggung jawab mencerdaskan masyarakatnya berpolitik. Bahkan partai politik tidak dapat melaksanakan rencana stategisnya seperti rekrutmen anggota secara berkesinambungan, pembinaan kader secara konsisten serta pengembangan kader ke tahap pembentukan elite politik.  Ini semua merupakan bukti belum maksimalnya fungsi partai politik di negeri ini.
Rendahnya kualitas pendidikan politik masyarakat juga dapat dilihat dari kesulitan partai politik menyusun daftar calon keanggotaan legislatif yang diajukan setiap pemilu.  Tidak berjalannya pendidikan politik berdampak pada kualitas wakil rakyat yang diajukan partai politik.  Paling tidak dari dua pemilu sebelumnya dapat diambil pelajaran siapa yang dipilih dan bagaimana mekanisme mereka dipilih untuk duduk sebagai wakil rakyat di DPR dan DPRD masih belum jelas.  Kurangnya kader partai dan menguatnya politik kekerabatan berdampak pada proses penentuan calon anggota legislatif ini.  Celakanya, dengan bertambahnya partai politik peserta pemilu tahun 2009 tentu membawa dampak pada kualitas wakil rakyat yang akan diajukan partai politik.
Sukar dinafikan rendahnya kesadaran partai politik melakukan pendidikan politik ini telah mempengaruhi kualitas demokrasi yang dihasilkan.  Banyaknya konflik dalam Pilkada bahkan disertai dengan tindakan anarkisme adalah bukti masih rendahnya pendidikan politik masyarakat kita.  Bahkan rendahnya kualitas pendidikan politik masyarakat ini sengaja dibiarkan, agar  elite partai mudah memobilisasi dukungan untuk kepentingannya. Oleh sebab itu agar kualitas demokrasi meningkat, maka partai politik harus memberi perhatian serius pada proses rekrutmen politik ini.  Tanpa ada kepedulian partai politik terhadap proses rekrutmen politik, maka demokrasi yang dihasilkan tidak memberi kemanfaatan apa-apa bagi bangsa ini.


DAFTAR PUSTAKA
Suharno, M.Si. 2004. Diklat Kuliah Sosiologi Politik. UNY.
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=29740
http://pemilu.antara.co.id/view/?tl=pemilu-2009-ujian-bagi-proses-rekrutmen-caleg-parpol&id=1235288074
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0812/18/pol04.html
http://www.ireyogya.org/sutoro/membuat_rekrutmen_legislatif.pdf
http://www.padangekspres.co.id/content/view/7795/80/


Semoga bermanfaat :)

Follow twitter me: @ardimoviz
Facebook:  Ardi Widayanto

No comments:

Post a Comment