Tugas
Individu
“REKRUTMEN
POLITIK PADA PEMILU LEGISLATIF 2009”
Makalah ini diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Politik
Disusun oleh :
Ardi Widayanto
07401241043
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL
DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI
YOGYAKARTA
2009
BAB I
PENDAHULUAN
Tahun 2009 dapat dipastikan menjadi
hari-hari sibuk bagi partai politik. Penyelenggaraan Pemilu 2009 merupakan
momentum penting bagi partai politik menunjukkan eksisitensinya. Bagi partai
politik, Pemilu 2009 memiliki arti strategis sekaligus krusial. Strategis dalam
arti, jika pemilu dapat dilaksanakan dengan baik dalam kualitas demokrasi yang
memadai, jalan menuju demokrasi akan semakin mulus. Namun, jika Pemilu 2009
tidak menunjukkan kualitas yang memadai, demokrasi itu sedang memasuki titik
krusial.
Pemilu 2009 merupakan momen untuk
mengukur apakah nilai-nilai subtantif demokrasi telah masuk pada tahap
pelembagaan politik atau masih terus larut dalam euforia liberalisasi politik.
Dalam konteks ini, dapat diartikan bahwa penyelenggaraan pemilu tidak hanya
dinilai dari tahap pelaksanaan tepat waktu, jujur, adil, dan partisipatif. Akan
tetapi, dapat pula dilihat secara kualitas pada proses dan capaiannya. Kualitas
proses yakni apakah pemilu telah disadari oleh seluruh komponen bangsa sebagai
wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Sedangkan pada kualitas capaian
adalah, apakah hasil dari pemilu tersebut telah menggambarkan kehendak rasional
masyarakat.
Oleh karena itu, partai politik
merupakan tempat yang paling tepat untuk proses rekrutmen politik, dalam rangka
mengorganisasi kekuasaan secara demokratis. Rekrutmen merupakan arena untuk
membangun kaderisasi, regenerasi, dan seleksi para kandidat, serta membangun
legitimasi dan relasi antara partai dengan masyarakat sipil. Selama ini ada
argumen bahwa rekrutmen politik merupakan sebuah proses awal yang akan sangat
menentukan kinerja parlemen (legislatif). Jika sekarang kapasitas dan
legitimasi DPRD sangat lemah, salah satu penyebabnya adalah proses rekrutmen
yang buruk.
Dalam konteks ini muncul
pertanyaan, mengapa hasil rekrutmen parlemen (DPR/DPRD) masa lalu itu dianggap
gagal? Pokok persoalannya tentu ada pada partai politik itu sendiri, ketika
melakukan rekrutmen politik. Partai politik berperan sebagai agen yang
menyediakan dan mempersiapkan calon-calon politisi yang akan duduk di kursi
parlemen. Semua itu, tentunya akan bergantung pada rekrutmen politik yang
dipengaruhi sistem kepartaian dan sistem pemilu yang dikembangkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rekrutmen
Politik
Rekrutmen
politik memegang peranan penting dalam
sistem politik suatu negara. Karena proses ini menentukan orang-orang yang akan
menjalankan fungsi-fungsi sistem politik negara itu melalui lembaga-lembaga
yang ada. Oleh karena itu, tercapai tidaknya tujuan suatu sistem politik
tergantung pada kualitas rekrutmen
politik.
Rekrutmen
politik adalah proses pengisian jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga politik,
termasuk partai politik dan administrasi atau birokrasi oleh orang-orang yang
akan menjalankan kekuasaan politik
(Suharno, 2004: 117). Ada dua macam mekanisme rekrutmen politik, yaitu
rekrutmen yang terbuka dan tertutup. Dalam model rekrtmen terbuka, semua warga
negara yang memenuhi syarat tertentu(seperti kemempuan, kecakapan, umur,
keadaan fisik, dsb) mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki
posisi-posisi yang ada dalam lembaga negara/pemerintah. Suasana kompetisi untuk
mengisi jabatan biasanya cukup tinggi, sehingga orang-orang yang benar-benar
sudah teruji saja yang akan berhasil keluar sebagai pemenangnya. Ujian tersebut biasanya menyangkut visinya
tentang keadaan masyarakat atau yang di kenal
sebagai platform politiknya serta nilai moral yang melekat dalam
ddirinya termasuk integritasnya. Sebaliknya, dalam sistem rekrutmen tertutup ,
kesempatan tersebut hanyalah dinikmati oleh sekelompok kecil orang. Ujian oleh
masyarakat terhadap kualitas serta integritas tokoh masyarakat biasanya sangat
jarang dilakukan, kecuali oleh sekelompok kecil elite itu sendiri (Suharno,
2004: 117).
B. Permasalahan dalam Rekrutmen
Politik
Era reformasi telah menghasilkan
sejumlah perubahan signifikan dalam masyarakat politik. Dalam konteks rekrutmen
politik parlemen, ada sejumlah gejala yang tidak kondusif bagi proses membangun
demokrasi. Pertama, sistem pemilihan
umum proporsional telah mengabadikan dominasi oligarki dalam proses rekrutmen.
Elite partai di daerah sangat berkuasa penuh terhadap proses rekrutmen, yang
menentukan siapa yang bakal menduduki “nomor topi” dan siapa yang sengsara menduduki
“nomor sepatu”. Bagaimanapun pola oligarki elite itu tidak demokratis,
melainkan cenderung memelihara praktik-praktik KKN yang sangat tertutup. Pola
tidak menghasilkan parlemen yang representatif dan mandatori, melainkan
parlemen bertipe partisan yang lebih loyal kepada partai politik.
Kedua,
proses rekrutmen tidak berlangsung secara terbuka dan partisipatif. Pihak kandidat
sama sekali tidak mempunyai sense
terhadap konstituen yang menjadi basisnya karena dia hanya “mewakili” daerah
administratif (bukan konstituen yang sebenarnya), sehingga pembelajaran untuk
membangun akuntabilitas dan responsivitas menjadi sangat lemah. Sebaliknya
masyarakat juga tidak tahu siapa kandidat yang bakal mewakilinya, yang kelak
akan membawa dan mempertanggungjawabkan mandat. Publik sering bilang bahwa
masyarakat hanya bisa “membeli kucing dalam karung”. Masyarakat juga tidak bisa
menyampaikan voice untuk mempengaruhi kandidat-kandidat yang duduk dalam daftar
calon, karena hal ini merupakan otoritas penuh partai politik. Proses dialog
yang terbuka antara partai dengan masyarakat hampir tidak ada, sehingga tidak
ada kontrak sosial dimana masyarakat bisa memberikan mandat kepada partai.
Masyarakat hanya memberikan “cek kosong” kepada partai yang kemudian partai
bisa mengisi seenaknya sendiri terhadap “cek kosong” itu.
Ketiga,
dalam proses rekrutmen tidak dibangun relasi (linkage) yang baik antara partai politik dan masyarakat sipil.
Masyarakat sipil hanya dipandang secara numerik sebagai angka, bukan sebagai
konstituen yang harus dihormati dan dipejuangkan. Berbagai organisasi
masyarakat hanya ditempatkan sebagai underbow,
sebuah mesin politik yang memobilisasi massa, bukan sebagai basis perjuangan
politik partai. Sebaliknya, pihak aktivis organisasi masyarakat tidak memandang
partai politik sebagai bagian dari gerakan sosial (social movement) untuk mempengaruhi kebijakan dan mengontrol
negara, melainkan hanya sebagai “kendaraan politik” untuk meraih kekuasaan dan
kekuasaan. Akibatnya, para anggota parlemen hanya berorientasi pada kekuasaan
dan kekayaan, bukan pada misi perjuangan politik yang berguna bagi masyarakat.
Bahkan ketika berhasil menduduki jabatan parlemen, mereka melupakan basis
dukungan massa yang telah mengangkatnya meraih kekuasaan. Tidak sedikit anggota
DPRD yang mengabaikan forum atau partisipasi ekstraparlementer, karena mereka
mengklaim bahwa DPRD menjadi lembaga perwakilan paling absah dan partisipasi
itu tidak diatur dalam udang-undang atau peraturan daerah.
Keempat,
dalam proses rekrutmen, partai politik sering menerapkan pendekatan “asal comot” terhadap kandidat yang
dipandang sebagai “mesin politik”.
Pendekatan ini cenderung mengabaikan aspek legitimasi, komitmen, kapasitas, dan
misi perjuangan. Para mantan tentara dan pejabat diambil bukan karena mempunyai
visi-misi, melainkan karena mereka mempunyai sisa-sisa jaringan kekuasaan. Para
pengusaha dicomot karena mempunyai duit banyak yang bisa digunakan secara
efektif untuk dana mobilisasi hingga money
politics. Para selebritis diambil karena mereka mempunyai banyak penggemar.
Para ulama (yang selama ini menjadi penjaga moral) juga diambil karena
mempunyai pengikut masa tradisional. Partai politik secara mudah (dengan
iming-iming tertentu) mengambil tokoh ormas, intelektual, atau akademisi di
kampus yang haus akan kekuasaan dan ingin menjadikan partai sebagai jalan untuk
mobilitas vertikal. Sementara para aktivis, intelektual maupun akademisi yang
konsisten pada misi perjuangannya tidak mau bergabung atau sulit diajak
bergabung ke partai politik, sebab dalam partai politik tidak terjadi
dialektika untuk memperjuangkan idealisme. Sekarang pendekatan “asal comot”
yang dilakukan partai semakin kentara ketika undang-undang mewajibkan kuota 30%
kursi untuk kaum perempuan.
Kelima,
proses kampanye (sebagai bagian dari mekanisme rekrutmen) tidak diisi dengan
pengembangan ruang publik yang demokratis, dialog yang terbuka dan sebagai
arena untuk kontrak sosial untuk membangun visi bersama, melainkan hanya
sebagai ajang show of force,banter-banteran knalpot, dan obral janji. Bagi para
pendukung partai, kampanye menjadi ajang pesta dan arena untuk menyalurkan
ekspresi identitas yang kurang beradab. Mereka bisa memperoleh “wur-wur” dalam bentuk jaket, topi, kaos,
atribut-atribut partai lain secara gratis, menerima sembako atau sekadar uang
bensin, dan lain-lain. Ketika kampanye digelar, yang hadir hanyalah
fungsionaris partai dan para pendukungnya, bukan stakeholders yang luas untuk
menyampaikan mandat dari masyarakat.
Keenam,
proses pemilihan umum dan proses rekrutmen bekerja dalam konteks “massa mengambang” yang kurang terdidik
dan kritis. Dalam jangka yang cukup panjang masyarakat Indonesia tidak
memperoleh pendidikan politik secara sehat sehingga menghasilkan jutaan pemilih
tradisional yang sangat rentan dengan praktik-praktik mobilisasi. Sekarang,
meski ada kebebasan yang terbuka, pendidikan politik secara sehat belum
terjadi. Partai politik tidak memainkan peran yang memadai dalam pendidikan
politik kepada masyarakat. Sampai sekarang sebagian besar rakyat Indonesia
adalah silent majority, yang tenang,
apatis (masa bodoh) dan tidak kritis dalam menghadapi proses politik. Akibatnya
budaya politik yang partisipatif (civic
culture) belum terbangun. Kondisi seperti ini tentu saja tidakmemungkinkan
terjadinya proses rekrutmen secara terbuka dan partisipatif.
C. Rekrutmen Politik Pada
Pemilu Legislatif 2009
Salah satu proses politik yang
penting bagi partai politik menjelang pemilu tahun 2009 adalah rekruitmen
politik. Proses ini sangat menentukan
bagi kelangsungan aktivitas partai politik dan kualitas demokrasi. Betapa tidak,
penetapan calon anggota legislatif yang duduk di kursi parlemen
ditentukan oleh jumlah suara dukungan yang diperolehnya. Paling tidak dengan 30 persen suara dukungan
riil dalam pemilu dapat mengantar seorang calon duduk menjadi wakil rakyat,
meskipun dalam daftar calon legislatif nomor urutnya termasuk nomor besar. Ini bermakna kualitas calon anggota
legislatif sangat menentukan perolehan suara partai politik dalam pemilu
mendatang.
Melihat keadaan ini dapat dipahami
proses rekrutmen yang dilakukan partai politik menjadi titik permulaan yang
harus dilakukan partai politik terutama dalam proses pengkaderan anggotanya
maupun promosi elite politik baru. Namun
bagi sebagian besar partai politik di negeri ini masalah tersebut tidaklah
begitu diambil peduli. Kebanyakan partai
politik hanya berorientasi bagaimana mendapat kekuasaan secara cepat dengan
biaya murah sehingga mengabaikan rekrutmen politik ini. Rekrutmen politik
adalah sebagai fungsi mengambil individu dalam masyarakat untuk dididik,
dilatih sehingga memiliki keahlian dan peran khusus dalam sistem politik. Dharapkan dari proses rekrutmen ini individu
yang dididik dan dilatih tersebut memiliki pengetahuan, nilai, harapan dan
kepedulian politik yang berguna bagi konsolidasi demokrasi.
Sebenarnya rekrutmen politik ini
sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari aktifitas partai politik di manapun
berada. Sayangnya di Indonesia, fungsi
ini baru dapat berjalan ketika pemilu akan diadakan. Lemahnya fungsi rekrutmen
politik ini sebenarnya sudah dapat dijumpai terutama sejak verifikasi partai
politik dilakukan oleh KPU. Seandainya
proses verifikasi keanggotaan partai politik di tingkat akar rumput dilakukan
lebih cermat oleh KPU, maka dapat dilihat bagaimana potret partai politik kita
yang sebenarnya.
Seperti diketahui dalam UU pemilu
disebutkan partai politik yang menjadi peserta pemilu harus memiliki
keanggotaan yang jelas di daerah. Verifikasi
keanggotaan ini merupakan cara untuk membuktikan bahwa partai politik itu
memang mendapat dukungan masyarakat.
Jadi keberadaan partai politik itu, memang dibutuhkan paling tidak oleh
anggotanya. Untuk mengetahui dukungan
masyarakat ini, UU mensyaratkan bahwa dukungan itu harus dibuktikan dengan KTP
atau kartu identitas lainnya. Jika
partai tersebut tidak dapat menunjukkan identitas anggotaannya dalam jumlah
tertentu, maka partai tersebut belum layak disebut sebagai partai politik. Namun dalam kenyataannya, keanggotaan partai
politik seperti kepemilikan terhadap kartu tanda penduduk sebagaimana
disyaratkan UU kebanyakan diperoleh dengan cara “dibeli” dengan sejumlah uang.
Bagi masyarakat apa yang dilakukan
ini bukanlah suatu kesalahan karena mereka memang tidak mengetahui konsekuensi
dari tindakannya ini. Ini karena
masyarakat memang belum memperoleh pendidikan politik yang maksimal berkaitan
dengan perannya sebagai aktor politik.
Akibatnya tidak jarang seseorang bisa memiliki dua atau tiga kartu
keanggotaan partai politik karena keberhasilannya menjual KTP kepada partai
politik. Ironinya partai politik pun
dengan percaya diri mengklaim bahwa mereka telah didukung oleh masyarakat dan
menuntut haknya agar dapat berkompetisi dalam pemilu.
Jumlah partai politik (parpol)
peserta Pemilu 2009 jauh dari yang diinginkan publik. Bukannya berkurang, tapi
malah bertambah. Ada 38 parpol akan bersaing secara nasional, sementara di
Nanggroe Aceh Darussalam ditambah dengan enam partai lokal sesuai Undang-undang
(UU) No 11/2006.
Jumlah parpol yang melimpah itu
menjadikan orang beramai-ramai jadi calon anggota legislatif (caleg). Tak
peduli apakah sebelumnya mereka paham tentang kerja parpol dan kerja anggota
legislatif. Mulai dari guru besar di universitas, pengacara, kalangan
profesional, (pensiunan) pegawai negeri sipil atau anggota militer, pemain
sinetron, ibu rumah tangga, hingga pengangguran dan preman di jalanan, mereka
beramai-ramai menjadi caleg.
Pemilu Legislatif 2009 sekaligus
sebagai ujian terhadap faktor kehati-hatian Parpol dalam melakukan rekrutmen
Caleg. Banyak Parpol yang kaget terhadap perubahan di tengah jalan sistem
Pemilu Legislatif 2009 terkait penentuan Caleg yang berhak duduk pada lembaga
perwakilan berdasarkan perolehan suata terbanyak. Selama ini Parpol terkesan
asal pasang saja seseorang pada daftar Caleg dengan menempatkan "orang
khusus" pada nomor urut jadi. Parpol yang banyak memasukan anak pejabat
pemerintahan atau pengurus partai dalam daftar Caleg, bisa saja menjadi
bumerang pada Pemilu mendatang. Namun dapat dipahami tentang rasa terhadap para
pengurus Parpol yang puluhan tahun mengabdi lalu diberikan penghargaan sebagai
caleg, selain menghindari terjadi konflik internal partai.
Dr Dede Mariana, dosen Fisip Unpad
Bandung, menilai iklim politik di Indonesia saat ini seperti sedang memasuki
zaman neo-promodialisme, misalnya sarat tema kesukuan, ikatan almamater, dan
sumber daya yang bisa menguntungkan. Hal ini bisa membuat seolah-olah hanya
yang bermodal besar dan latar belakang keluarga politik saja yang bisa tampil di
kancah politik. Padahal dengan demokrasi itu kita ingin menciptakan siapapun
boleh terbuka lebar untuk berkarir di politik tanpa harus terdiskriminasi oleh
latar belakang keluarga dan lain-lain. Seharusnya Indonesia harus membenahi
Konstitusi terlebih dahulu. Jangan sampai ada calon-calon yang hebat (calon
independen) tetapi terdiskriminasi oleh konstitusi.
Banyak orang mendadak jadi
politisi, langsung jadi caleg. Hal ini tak lepas dari banyaknya parpol yang
muncul bukan karena didesain secara matang, tetapi lebih banyak karena reaksi
ketidakpuasan terhadap partai yang lebih dahulu ada. Partai Hanura dan Partai
Gerindra misalnya, merupakan dua parpol yang didirikan sejumlah pihak yang
tidak mendapat ruang untuk berkreasi di Partai Golkar dan Partai Amanat
Nasional (PAN).
Partai Bintang Reformasi (PBR) dan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan hasil pacahan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP); Partai Matahari Bangsa hasil sempalan PAN; demikian juga
Partai Kedaulatan Nahdlatul Umat (PKNU) yang merupakan pecahan PKB; serta
Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang muncul karena ketidakpuasan terhadap
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Ideologi Mirip
Hampir semua partai yang lahir di
era reformasi memiliki sejarah kelahiran yang mirip, ketidakpuasan.
Ketidakpuasan itu juga bukan masalah ideologi atau garis perjuangan partai
tetapi lebih banyak karena secara internal tidak mendapat kesempatan untuk berkuasa.
Misalnya, adanya kekalahan dalam proses pemilihan ketua umum partai atau tidak
diberi ruang untuk mengajukan diri sebagai calon presiden.
Semua partai baru dideklarasikan
dulu beberapa orang yang menganggap diri sebagai tokoh yang populer, baru kemudian
mencari anggota untuk menghadapi pemilu terdekat. Hebatnya, setelah
dideklarasikan langsung siap menghadapi pemilu. Sangat jarang atau bahkan tidak
ada yang membangun struktur hingga ke seluruh pelosok terlebih dahulu baru
mendeklarasikan diri sebagai parpol yang siap menghadapi pemilu. Akibatnya,
menjelang pemilu siapa saja bisa dijadikan caleg setelah mendapat kartu tanda
anggota (KTA). Dengan cara demikian pun, cukup banyak parpol yang kesulitan
mengajukan caleg.
Motivasi orang menjadi caleg pun
sangat bervariasi. Mulai dari mencari pekerjaan, meningkatkan status sosial,
prestise, ditawari parpol tertentu, mengikuti tren atau ikut-ikutan, dan juga
yang serius berkarya di bidang politik. Paling tidak, ada 11.600 orang akan
bersaing memperebutkan 570 kursi DPR dalam pemilu 9 April 2009 nanti. Sekitar
112.000 orang bersaing memperbutkan kursi DPRD Provinsi dan lebih dari 1,5 juta
orang memperebutkan kursi DPRD Kabupaten/Kota dengan berbagai macam motivasi.
Padahal, kerja sebagai wakil rakyat
sangat menentukan semua aspek kehidupan bernegara. Itu bukan pekerjaan yang
gampang. Kualitas demokrasi lebih banyak ditentukan sejauh mana kualitas kerja
wakil rakyatnya. Motivasi, keseriusan, dan kompetensi anggota dewan akan turut
berpengaruh pada produk undang-undang yang dihasilkannya.
Tak Terukur
Pengamat politik Arbi Sanit
mengatakan, rekrutmen anggota parpol yang tidak jelas mengakibatkan anggota
legislatif yang dihasilkan menyusun undang-undang dengan “kaca mata kuda”.
Banyak produk undang-undang yang
tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Bahkan sejumlah UU yang disahkan DPR
belakangan ini selalu digugat masyarakat ke Mahkamah Konsitusi (MK). Banyak
orang menjadi anggota dewan karena menganggap pekerjaan tersebut bergelimang
uang.
Sejauh ini, tidak ada parpol yang
memiliki pola pengkaderan yang terukur untuk menentukan daftar caleg. Semua
parpol hanya ingin cepat berkuasa dengan meraih dukungan tetapi hanya jangka
pendek. Tidak ada parpol yang secara serius melakukan pengkaderan untuk
menciptakan pemimpin jangka panjang, padahal pengkaderan merupakan prasyarat
dan tugas utama partai politik sebagai tempat menciptakan pemimpin baru. Banyak
partai baru mengandalkan popularitas figur tertentu untuk mendulang suara dalam
pemilu, bukan karena kerja infrastruktur partai.
Dengan pola rekrutmen anggota
parpol yang lalu menjadi caleg seperti ini, sangat sulit membayangkan wakil
rakyat periode mendatang bisa lebih baik. Bisa saja ini dijadikan risiko sistem
multipartai, tetapi juga bagian dari proses demokrasi Pancasila.
BAB III
PENUTUP
Rekrutmen politik yang baik
seharusnya dimulai dengan pendidikan politik yang dilakukan secara berkesinambungan
oleh partai politik. Namun banyak partai politik tidak melakukannya karena
berbagai kendala. Misalnya masalah keuangan yang memang menjadi masalah besar
dalam perkembangan partai politik di Indonesia.
Selain itu, tidak jelasnya ideologi partai politik berdampak pula pada
visi, misi dan program yang partai politik tersebut. Sukar dinafikan partai politik di Indonesia
belum memiliki tanggung jawab mencerdaskan masyarakatnya berpolitik. Bahkan
partai politik tidak dapat melaksanakan rencana stategisnya seperti rekrutmen
anggota secara berkesinambungan, pembinaan kader secara konsisten serta
pengembangan kader ke tahap pembentukan elite politik. Ini semua merupakan bukti belum maksimalnya
fungsi partai politik di negeri ini.
Rendahnya kualitas pendidikan
politik masyarakat juga dapat dilihat dari kesulitan partai politik menyusun
daftar calon keanggotaan legislatif yang diajukan setiap pemilu. Tidak berjalannya pendidikan politik
berdampak pada kualitas wakil rakyat yang diajukan partai politik. Paling tidak dari dua pemilu sebelumnya dapat
diambil pelajaran siapa yang dipilih dan bagaimana mekanisme mereka dipilih
untuk duduk sebagai wakil rakyat di DPR dan DPRD masih belum jelas. Kurangnya kader partai dan menguatnya politik
kekerabatan berdampak pada proses penentuan calon anggota legislatif ini. Celakanya, dengan bertambahnya partai politik
peserta pemilu tahun 2009 tentu membawa dampak pada kualitas wakil rakyat yang
akan diajukan partai politik.
Sukar dinafikan rendahnya kesadaran
partai politik melakukan pendidikan politik ini telah mempengaruhi kualitas
demokrasi yang dihasilkan. Banyaknya konflik
dalam Pilkada bahkan disertai dengan tindakan anarkisme adalah bukti masih
rendahnya pendidikan politik masyarakat kita.
Bahkan rendahnya kualitas pendidikan politik masyarakat ini sengaja
dibiarkan, agar elite partai mudah
memobilisasi dukungan untuk kepentingannya. Oleh sebab itu agar kualitas
demokrasi meningkat, maka partai politik harus memberi perhatian serius pada
proses rekrutmen politik ini. Tanpa ada
kepedulian partai politik terhadap proses rekrutmen politik, maka demokrasi
yang dihasilkan tidak memberi kemanfaatan apa-apa bagi bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Suharno, M.Si.
2004. Diklat Kuliah Sosiologi Politik. UNY.
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=29740
http://pemilu.antara.co.id/view/?tl=pemilu-2009-ujian-bagi-proses-rekrutmen-caleg-parpol&id=1235288074
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0812/18/pol04.html
http://www.ireyogya.org/sutoro/membuat_rekrutmen_legislatif.pdf
http://www.padangekspres.co.id/content/view/7795/80/
Semoga bermanfaat :)
Follow twitter me: @ardimoviz
Facebook: Ardi Widayanto
No comments:
Post a Comment