PENDAHULUAN
Ketika kita menyaksikan iklan politik yang
bertebaran di berbagai jagad media luar ruang, media massa cetak, dan
elektronik, sebenarnya kita sedang melihat upaya keras para caleg dan kandidat
presiden merelasikan iklan politiknya sebagai sebuah realitas kedua. Bangunan
realitas kedua tersebut ditopang dengan aspek-aspek komunikasi visual,
relasi-relasi sosial dan kultural yang berperan membangun pencitraan dirinya.
Para caleg dan kandidat presiden mengemas
pencitraan dirinya, lewat citraan visual dengan menekankan pesan verbal yang
bertemakan: ’peduli wong cilik’, ‘peduli
orang miskin’, ‘peduli kesehatan bagi rakyat miskin’, ‘peduli produksi dalam
negeri’, ‘peduli dengan nasib petani’, ‘peduli pendidikan murah dan gratis’
atau ‘peduli dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia’. Semuanya
itu merupakaan janji politik yang terlihat indah dan menentramkan hati calon
pemilih. Tetapi realitasnya sulit untuk direalisasikan di kehidupan nyata.
Secara teoretis, proses pencitraan para caleg dan
kandidat presiden yang dilukiskan lewat iklan politik, sejatinya mengajak kita
untuk mengembangkan imajinasi prospektif tentang iklan politik ideal.
Sayangnya, hal tersebut jauh pasak dari pada tiangnya. Yang terjadi kemudian
kita sedang menonton iring-iringan jenazah kematian iklan politik.
Fenomena matinya iklan politik di tengah calon
pemilih yang semakin kritis dan apatis telah terlihat realitasnya di lapangan.
Kematian iklan politik ditandai dengan perlombaan visual yang dilakukan para
caleg dan kandidat presiden lewat upaya tebar pesona demi menarik simpati
massa. Untuk itu, mereka memanfaatkan kedahsyatan media iklan guna
mengakomodasikan pencitraan dirinya. Karena meyakini kedahsyatan mitos media
iklan, maka mereka pun secara jor-joran memroduksi pesan verbal dan pesan
visual iklan politik. Untuk itu, iklan koran, televisi, dan radio disebarkan
secara bersamaan ke ruang privat calon pemilih. Media iklan luar ruang pun
tidak ketinggalan dipasang di sepanjang jalan yang dianggap strategis.
Kematian iklan politik semakin mendekati liang
lahatnya manakala tim sukses para caleg dan kandidat presiden, secara
membabi-buta melakukan aktivitas kampanye yang cenderung memroduksi sampah
visual. Bahkan di dalam segala sepak terjangnya, anggota tim sukses peserta
kampanye Pemilu 2009 dinilai mengarah pada perilaku teror visual dengan modus
operandinya menempelkan dan memasang sebanyak mungkin billboard,
baliho, spanduk, umbul-umbul, poster, dan flyer tanpa mengindahkan
dogma sebuah dekorasi dan grafis kota yang mengedepankan estetika kota ramah
lingkungan. Anggota tim sukses cenderung mengabaikan ergonomi pemasangan media
luar ruang yang artistik, komunikatif dan persuasif.
Pola pemasangan, cara menempatkan, dan menempelkan
atribut kampanye, benar-benar bertolak belakang dari esensi desain media luar
ruang yang dirancang sedemikian rupa agar tampil menarik, artistik, informatif,
dan komunikatif. Tetapi di tangan orang-orang yang bertugas memasang dan
menempatkan reklame luar ruang, salah satu karya desain komunikasi visual yang
bagus itu berubah fungsi menjadi seonggok sampah visual. Di tangan orang-orang
perkasa seperti itulah, iklan politik menemui ajalnya dengan sangat
menyedihkan.
Modus operandi pemasangan media iklan luar ruang
yang dilakukan secara serampangan dan ngawur seperti itu, cenderung
menurunkan citra, kewibawaan, reputasi, dan nama baik para caleg dan kandidat
presiden, yang mempunyai cita-cita mulia untuk membangun Indonesia agar
rakyatnya bermartabat, berkehidupan makmur, aman dan sejahtera. Perilaku hantam
kromo semacam itu menyebabkan iklan politik yang diposisikan untuk
memberikan informasi perihal keberadaan caleg, kandidat presiden dan partai
politik peserta Pemilu 2009, segera diluncurkan menuju ajal kematiannya dengan
tidak terhormat.
Membicarakan masalah iklan politik terutama dalam
konteks iklan luar ruang, rasanya tidak pernah tuntas. Ketidaktuntasan seperti
inilah yang menyebabkan nafas iklan politik kehilangan denyutnya. Dimanakah
simpul sengkarutnya? Sejatinya, inti permasalahan dari carut marut jagat reklame
luar ruang ini (termasuk iklan politik) bersumber pada penentuan titik
penempatan dan pola pemasangan yang semrawut dan ‘’penuh kebijakan’’ dengan
menerapkan standar ganda.
Pada titik ini, seyogyanya pemerintah pusat, provinsi, daerah,
dan kota secara tegas menertibkan keliaran iklan politik liar. Langkah pertama
yang perlu dilakukan, yakni pemerintah bersama instansi terkait berani
menurunkan, membongkar, dan melepaskan iklan politik luar ruang yang menyalahi
peruntukannya berdasar masterplan iklan luar ruang dan Undang-undang
yang dimiliki pemerintah pusat, provinsi, daerah, dan kota. Kedua, menerapkan sanksi dan hukuman yang
sepadan bagi parapihak yang bertugas memasang reklame luar ruang iklan politik
apabila diketahui melanggar aturan pemasangan. Ketiga, memberikan
sanksi dan hukuman yang adil bagi biro iklan, event organizer, pengusaha media
luar ruang, tim sukses caleg, dan kandidat presiden yang kedapatan melanggar
pola pemasangan dan penempatan media luar ruang iklan politik. Keempat,
ada keseragaman perangkat hukum dan kesamaan persepsi terkait dengan penempatan
dan pemasangan reklame media luar ruang iklan politik.
Jika hal itu bisa disinergikan dan dilaksanakan
dengan penuh tanggung jawab, maka peserta kampanye Pemilu 2009 telah
melaksanakan tanggung jawab moral dan sosial secara sempurna. Mereka secara
terhormat telah memberikan pendidikan politik dengan elegan. Mereka secara
terhormat pula telah berhasil mengajak masyarakat luas, sebagai calon pemilih,
untuk mengembangkan imajinasi prospektif tentang iklan politik yang ideal. Dan
iklan politik pun tidak akan layu kemudian mati, melainkan justru akan tumbuh
berkembang bagaikan bunga flamboyan yang bermekaran dan menjadi penanda zaman
yang mencatat kemasyurannya penyelenggaraan Pemilu 2009.
Menguatnya suhu politik saat menjelang pilpres
2009, membawa kemasan kimiawi psikologi kontestan, pendukung dan konstituen
memanas. Saling melakukan serangan dan balasan. Mengukur kekuatan dan
menghantam kelemahan lawan. Memformulasi strategi dan taktik pemenangan.
Merupakan bumbu sekaligus improvisasi
demokrasi. Selama masih dalam batas kewajaran. Kompetisi sehat dan tidak sampai
mengarah pada black campaign. Tentunya harus diapresiasi. Karena ini bagian
dari demokrasi. Dan porsi kemenangan, keputusan akhir ada di tangan rakyat.
Kedaulatan rakyat adalah hakim agung keputusan akhir dalam rezim demokrasi.
Momentum demokrasi dengan program sarananya
melalui pemilihan langsung. Melahirkan dan menjadikan rakyat sebagai kunci
kemenangan kandidat. Praktis, koalisi partai pendukung kandidat dan kemampuan
finansial yang cukup besar, bukanlah jaminan kemenangan. Seorang capres
setidaknya mengharuskan populer dan dikenal masyarakat.
Dengan visi-misi dan program-program yang
menarik masyarakat. Sarana yang
paling efektif adalah sosialisasi. Bisa melalui media massa baik cetak maupun
elektronik. Terlebih melalui media audio-visual. Tetapi tidak mengecilkan alat,
atribut baligo kampanye maupun sarana pendukung lainnya. Termasuk soliditas tim
sukses, mesin partai dan dukungan besaran budget. Karena tentunya banyak
variabel dalam menentukan kemenangan kandidat.
Dalam momentum demokrasi. peran media massa
sangat vital. Berfungsi menjaga keseimbangan sebuah entitas negara dan
masyarakat. Kebebasan pers termasuk media massa merupakan keunggulan dalam
rezim demokrasi. Sehingga menjadi pilar penting dalam tegaknya berdemokrasi.
Media massa memiliki fungsi kontrol.
Karena melalui transformasi informasi, media massa mampu mengerem laju
kebijakan peremintah yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat.
Satu fenomena yang menonjol dalam Pemilu 2009
adalah semakin kuatnya peranan media Massa. Misalnya terlibat dalam proses
mengkonstruksi citra para kandidat. Baik perseorangan (caleg, capres dan
cawapres) maupun organisasi partai politik. Pemanfaatan media untuk mendongkrak
popularitas sebenarnya telah mulai marak dan bebas. Dimulai sejak Pemilu 1999 dan semakin menguat
di Pemilu 2004. bahkan hingga Pemilu kali ini. Bisa kita katakan, kemenangan
SBY pada pemilihan presiden secara langsung (tahun 2004) merupakan keberhasilan
marketing politiknya. Karena partainya sendiri (baca: demokrat) bukanlah partai
pemenang Pemilu. Pada Pamilu 2009 masa kampanye diperpanjang menjadi 9 bulan.
Dimulai 12 Juli 2008-April 2009. Dengan 38 partai peserta Pemilu. dan banyaknya
tokoh yang menyatakan diri siap menjadi kandidat Presiden dan Wakil Presiden
pada pilpres kemarin. Tentunya
kian meramaikan "pertarungan citra" dalam merebut hati para pemilih.
Kandidat yang menguasai industri citra tentunya akan memperbesar peluangnya
memenangkan pertarungan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Komunikasi Politik
Hadirnya komunikasi politik sudah setua
hadirnya ilmu politik itu sendiri, hal itu merupakan penggunaan secara terorganisir
terhadap media massa moderen untuk tujuan politik, terutama dalam praktik
kampanye pemilu, yang awalnya mengarahkan kepada penyelidikan yang sistematis
terhadap komunikasi politik dan telah memberi topik bahasan atas identifikasi
kontemporer utamanya. Bagaimanapun juga, komunikasi politik lebih dari sekadar
kampanye politik. Dalam istilah yang digunakan oleh Seymour-Ure (1974), hal itu
memiliki dimensi horisontal dan juga vertikal. Kajian sebelumnya mengacu pada
komunikasi diantara kelompok yang sederajad, apakah mereka ini adalah anggota
elit politik yang sama, atau warga negara yang saling berinteraksi dan
berkumpul bersama-sama. Komunikasi vertikal berlaku diantara pihak pemerintah
(atau partai) dan masyarakat (yang prinsipnya ke salah satu arah diantara dua).
Penekanan yang awal kepada kampanye
pemilu difokuskan perhatiannya pada arus “top-down” pada dimensi vertikal (dari
pemerintah atau partai kepada warga negara atau pengikut). Hal ini,
bagaimanapun juga, mengarah kepada pengabaian komunikasi di dalam elit
masyarakat tertentu dan komunikasi yang bersifat informal dan interpersonal.
Kita harus juga membuat catatan atas arus komunikasi yang mengarah “ke atas”,
kepada arah politik yang juga “ke atas”, dalam bentuk membuat ‘feedback”
voting, hasil polling pendapat, atau bentuk pertemuan pemikiran yang diadakan
oleh politikus dan pemerintah.
Komunikasi politik ialah proses
penyampaian informasi politik dari pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya.
Partai politik perlu menerjemahkan informasi yang mudah dipahami oleh
pemerintah dan masyarakat, agar komunikasi bersifat efektif (Cholisin, 2007:
114). Komunikasi politik menjadi posisi penting terutama sebagai jembatan untuk
menyampaikan pesan-pesan yang dapat memfungsikan kekuasaan. Proses ini berlangsung
disemua tingkat masyarakat dan setiap tempat yang memungkinkan terjadinya
pertukaran informasi diantara individu-individu dengan kelompok-kelompoknya;
bahkan diantara anggota msyarakat dengan para penguasanya. Sebab dalam
kehidupan bernegara, setiap individu memerlukan informasi terutama mengenai
kegiatan masing-masing pihak menurut fungsinya (Asep Saeful Muhtadi, 2008:
29-30).
Pemerintah membutuhkan informasi tentang
kegiatan rakyatnya; dan sebaliknya rakyat juga harus mengetahui apa yang
dikerjakan oleh pemerintahnya. Itu sebabnya, menurut Nasution (1990: 18),
sistem politik demokrasi selalu mensyaratkan adanya kebebasan pers (freedom of the press) dan kebebasan
berbicara (freedom of the speech).
Dan fungsi-fungsi ini semuanya secara timbal balik dimainkan oleh komunikasi
politik.
Itulah sebabnya, Susanto (1985: 2)
mendefinisikan komunikasi politik sebagai
“ komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian
rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat
mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama”.
Sedangkan dilihat dari sisi kegunaanya, menurut Kartaprawira (1988: 60),
komunikasi politik berguna untuk “menghubungkan pikiran politik yang hidup
dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, institut, asosiasi, ataupun
sektor kehidupan politik masyarakat dengan sektor pemerintahan”. Dua rumusan
yang saling melengkapi ini mengisyaratkan bahwa komunikasi politik memang baru
merupakan kegiatan pra-politik. Ia mempersiapkan situasi politik yang kondusif
bagi suatu kepentingan tertentu. Diantara faktor yang ikut menentukan daya
tahan pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun, misalnya, adalah
karena intensifnya komunikasi politik yang secara sengaja diarahkan untuk
memperolah pengaruh massa melalui proses akomodasi dan konfrontasi terhadap
pemikiran politik yang hidup di masyarakat.
Komunikasi politik yang mengacu terhadap
semua proses informasi (termasuk di dalamnya fakta, opini, kepercayaan dll.)
transmisi, pertukaran dan pencarian yang terjadi diantara partisipan dalam
wacana aktifitas politik yang di-institusi-kan. Kita dapat secara berguna
menahan perhatian kita kepada aktivitas yang menjadi bagian dari “wilayah
publik” dalam kehidupan politik, sebuah referensi yang melibatkan isi dari
debat politik terbuka dan sebuah ‘arena’ dimana debat semacam itu terjadi.
Di dalam prakteknya, komunikasi politik
meliputi berikut ini :
1)
Kegiatan-kegiatan
langsung yang terdiri dari formasi, mobilisasi dan berbagai penyebaran dan
pergerakan kecil dari politik.
2)
Semua bentuk kampanye
yang terorganisir dirancang untuk mendapatkan dukungan politik bagi partai,
tahu penyebab-penyebab, kebijakan atau pemerintah, dengan mempengaruhi opini
dan perilaku dalam pemilu.
3)
Banyak proses yang
melibatkan ekspresi, pengukuran, penyebaran informasi dan juga ‘manajemen’ opini publik (ini termasuk
di dalamnya diskusi informal dan interpersonal).
4)
Aktifitas media massa
yang sudah mapan dalam melaporkan dan memberi komentar pada kejadian politik.
5)
Proses informasi publik
dan debat yang berkaitan dengan kebijakan politik.
6)
Sosialiasasi politik
informal dan formasi dan pengawalan kesadaran politik.
Fenomena
komunikasi politik suatu masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
dinamika politik dimana komunikasi itu bekerja. Karena itu, kegiatan komunikasi
politik di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari proses politik nasional
yang menjadi latar kehidupannya (Asep Saeful Muhtadi, 2008: 55).
Menurut Gabriel Almond, semua bentuk interaksi manusia
melibatkan komunikasi. Media massa seperti televisi, radio, surat kabar dan
majalah ikut mempengaruhi struktur komunikasi dalam masyarakat. Almond
membedakan empat struktur komunikasi. Pertama, kontak tatap muka informal yang muncul
terpisah dari struktur masyarakat. Kedua, struktur sosial tradisional seperti
hubungan famili dan keagamaan. Ketiga, struktur politik “output” (keluaran)
seperti legislatif dan birokrasi. Keempat, struktur “input” (masukan) termasuk
misalnya serikat buruh dan kelompok kepentingan dan partai-partai politik.
Kelima, media massa.
Almond menilai, kontak informal dalam sistem politik
manapun tidak bisa disepelekan. Riset ilmuwan sosial telah membuktikan
bahwa saluran informal menjadi sistem komunikasi paling berkembang. Ia
menyebutkan, studi media massa dan opini publik, Katz dan Lazarsfled (1955)
menemukan bahwa media massa tidak membuat pengaruh langsung atas kebanyakan
individu. Namun penelitian belakangan menunjukkan media massa mempengaruhi pola
perilaku dan persepsi masyarakat.
Mochtar Prabotinggi (1993) menguraikan dengan
rinci bahwa dalam prosesnya komunikasi politik sering mengalami empat distorsi.
Pertama, distorsi bahasa sebagai topeng. Ia memberikan contohnya dengan melihat
bagaimana orang mengatakan alis “bagai semut beriring” atau bibir “bak delima
merekah”. Uraian itu menunjukkan sebuah euphemisme. Oleh sebab itulah, bahasa
yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi
sebenarnya, bisa disebut seperti diungkakan Ben Anderson (1966), “bahasa
topeng”.
Kedua, distorsi bahasa sebagai proyek lupa. Manusia
makhluk yang memang pelupa. Namun demikian dalam konteks politik kita
membicarakan lupa sebagai sesuatu yang dimanipulasikan. Ternyata seperti diulas
Prabottinggi, “lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas satu
orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang.”
Selanjutnya Prabottinggi membuat pendapat lebih jauh
bahwa dengan mengalihkan perhatian seorang atau ratusan juta orang, maka massa
bisa lupa. Bahkan lupa bisa diperpanjang selama dikehendaki manipulator. Di
sini tampak distorsi komunikasi ini bisa parah jika sebuah rejim menghendaki
rakyatnya melupakan sejarah atau membuat sejarah sendiri untuk melupakan sejarah
pemerintahan sebelumnya.
Distorsi ketiga adalah, distorsi bahasa sebagai
representasi. Jika dalam distorsi topeng keadaan sebenarnya ditutupi dan dalam
distorsi lupa berbicara soal pengalihan sesuatu, maka distoris ketiga ini
terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya.
Prabottinggi memberi contoh bagaimana gambaran buruk
yang menimpa kaum Muslimin dan orang Arab oleh media Barat. Dunia Islam,
seperti disebutkan Edwar Said (1978) selalu dipandang sebagai lawan
Barat. Dalam politik nasional pun, suatu kelompok yang jadi lawan politik rejim
berkuasa sering dilukiskan sebagai penyeleweng, penganut aliran sesat dan tidak
memakmurkan rakyat. Yang
terakhir adalah distoris bahasa sebagai ideologi. Distorsi keempat inilah yang
paling berbahaya. Sedikitnya dua alasan mengapa distorsi ideologi itu rawan.
Pertama, setiap ideologi pada dasarnya memang sudah bersifat distortif. Kedua,
distorsi ideologi sangat lihai menggunakan ketiga jenis distorsi lainnya.
Kita lihat mengapa sangat berbahaya. Ada dua
perspektif yang cenderung menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif
yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang.
Perspektif ini menekankan hanya penguasalah yang berhak menentukan mana yang
politik dan mana yang bukan. Oleh sebab itu nantinya akan berakhir dengan
monopoli politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata
menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik.Mereka yang menganut
perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem
politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat.
B.
Pers dan Kampanye Pemilu
Pemilu merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat yang berdasarkan pada demokrasi perwakilan. Dengan demikian, pemilu
dapat diartikan sebagai mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau
penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai (Ramlan, 1992:
181).
Di dalam pemilu terjadi persaingan antar partai politik
dalam memperebutkan kekuasaan di pemerintahan. Dalam pemilu atau pada masa
kampanye partai politik melaksanakan fungsinya sebagai partai politik. Salah
satunya yaitu fungsi komunikasi politik.
Pada tiga kali pemilu pasca Orde Baru, pers tampak semakin
mendapat porsi peran yag lebih besar. Cara-cara kampanye konvensional mulai
banyak ditinggalkan. Partai-partai politik terus melirik peluang-peluang yang
biasa diperankan pers. Penyajian pesan-pesan-politik oleh para kandidat pun
tampak semakin hidup dan bervariasi. Pers kemudian menjadi alat komunikasi
partai-partai politik untuk merekrut massa. Pendekatan-pendekatan kampanye
inilah yang kemudian telah melahirkan kesan politik yang relatif berbeda bila
dibandingkan dengan suasana pada beberapa pemilu sebelumnya (masa sebelum era
Reformasi). Meskipun pemilu diikuti banyak partai, tapi setiap partai tetap
tidak menghilangkan kesempatan mengemukakan agenda-agenda politiknya secara
lebih bebas. Sehingga banyaknya partai peserta pemilu bukan lagi hambatan, tapi
justru merupakan potensi yang akan lebih menguntungkan pihak pemilih.
Pers memang diakui merupakan salah satu alat demokratisasi
yang cukup efektif. Pers menjadi jembatan yang menghubungkan
kepentingan-kepentingan politik baik vertikal maupun horizontal. Pers menjadi
bagian dari kehidupan politik untuk mempertemukan rakyat dan penguasa. Bahkan
kebebasan pers sering menjadi salah satu ukuran apakah suatu negara telah
menganut sistem demokrasi atau tidak. Tidak heran jika di negara-negara maju,
pemanfaatan pers dalam proses politik hampir selalu mendapat porsi yang sangat
besar. Karena itu pula pers kemudian menjadi kekuatan keempat (the fourth estate) yang tidak bisa
diabaikan dalam tatanan sosial politik suatu negara.
Sejarah mencatat banyak peristiwa ketika pers menjadi alat
utama sosialisasi politik. Ketika John F. Kennedy dinyatakan unggul atas lawan
politiknya Richard M. Nixon pada pemilihan presiden amerika Serikat tahun 1960,
menrut catatan sejarah, justru karena peran pers yang telah menyampaikan
pesan-pesan politik secara apaik dan persuasif. Kennedy yang sebelumnya
diramalkan akan kalah dalam pemilu tersebut, ternyata sebaliknya. Media massa
memainkan perannya untuk menutupi sisi-sisi penting yang dianggap publik dan
pihak lawan sebagai kelemahannya. Sosok Kennedy yang dianggap terlalu muda
untuk menduduki jabatan presiden ketika itu, muncul di layar televisi serta
memenuhi halaman-halaman surat kabar dan majalah dengan penampilanya yang cukup
berwibawa dan terkesan cukup usia. Sistem suara pun direkayasa sehingga
masyarakat pemirsa menjadi sangat simpatik ketika mengikuti siaran langsung
pidato Kennedy melalui radio ataupun layar televisi (Asep Saful Muhtadi,
2008:146).
Studi yang dilakukan untuk melihat peran media dalam
kegiatan pemilihan presiden itu merupakan kegiatan pertama dalam sejarah
penelitian efek media massa, khususnya dalam kasus kampanye. Setelah itu,
banyak dilakukan penelitian tentang efek media massa, baik dalam konteks
pengembangan ilmu maupun untuk kepentingan pragmatis. Lebih-lebih ketika media
massa, baik cetak maupun elektronik, kini semakin berkembang, studi tentang
efek media pun semakin menarik dilakukan. Bahkan, ketika hasil penelitian
memperlihatkan bahwa lebih dari 70% kehidupan masyarakat dewasa ini digunakan
untuk berinteraksi dengan media, seperti koran/surat kabar, radio, televisi,
majalah, buku, jurnal, iklan, dan lain sebagainya.
C. Media Massa Dan Politik
Massa
Studi atas komunikasi politik dalam abad
yang ke dua puluh, diluar cerita munculnya terbitan koran politik, telah
dibentuk oleh tren ke arah “politik massa” yang didasarkan pada hak pilih
universal di dalam masyarakat yang terorganisir secara birokratis dalam skala
besar (Mills 1955). Trend ini telah menempatkan suatu keadaan yang baik pada
kapasitas pemimpin politik untuk mengatur arah pilihan individu pada sebagai
besar warga negara, yang mana ikatan yang ada bersifat jauh atau hanya di
permukaan saja. Terhadap latar belakang ini, pembahasan yang utama yang telah
ditentukan ialah : peran dan pengaruh media massa yang bersifat komersial,
khususnya mempengaruhi keseimbangan kekuatan di antara pemerintah ‘borjuis’
yang sudah mapan dan tantangan kaum sosialis dan radikal; persoalan
‘propaganda’ – penggunaan yang masif dan teroganisir terhadap semua bentuk
komunikasi moderen oleh pemegang kekuasaan untuk mendapatkan dukungan populer;
dan pengembangan kampanye pemilu yang terencana dan profesional menggunakan
alat-alat dan teknik komunikasi yang baru dan jajak pendapat.
1.
Media
Massa Dan Partai Politik
Yang pertama dari persoalan yang yang
meminta perhatian khusus yang merubah hubungan antara media massa dan partai
politik dan pertanyaan mengenai pemilikan dan monopoli dalam alat komunikasi.
Seperti Seymour-Ure (1974) telah mengemukakan pendapatnya, ada 3 dasar utama
dalam hubungan politis antara koran dan partai:
a)
Korespondensi organisasional
– koran itu milik partai, dan dirancang untuk mencapai tujuan partai.
b)
Mendukung tujuan sebuah
partai- sebuah koran dan menentukan untuk memilih secara editorial untuk
mendukung sebuah partai dan secara konsisten mendukung kebijakannya.
c)
Korespondensi antara
pembaca dan dukungan yang telah diberikan kepada sebuah partai- untuk alasan
lain selain yang telah disebutkan, sebuah koran mungkin saja menarik pembacanya
dari sebuah kelas atau sektor sosial yang utamanya menyandarkan diri pada arah
politik tertentu, tanpa adanya pilihan politis yang sadar yang telah dibuat.
Dalam kasus tautan organisasi, setiap
dari kondisi yang lain adalah memungkinkan untuk dijumpai, tetapi tiga variabel
yang disediakan merupakan kunci untuk menguji hubungan pers dengan partai dari
simbiosis total sampai menjadi kemandirian yang menyeluruh.
Syarat pertama (sebuah dukungan aktif
terhadap tujuan partai merupakan fitur yang umum pada koran-koran yang
awal-awal terbit di Amerika Serikat dan juga sama umumnya dengan yang di Eropa
kontinental, paling tidak sampai Perang Dunia Kedua. Telah menurun secara besar-besar
kecenderungan sebagai hasil dari kecenderungan umum kepada : bent;uk politiik
yang kurang ideologis tapi elbih bersifat pragmatik; lebih banyak pada
komersialisasi pers (lebih suka kepada netralitas atau keseimbangan kepentingan
politik dalam kepentingan meluaskan cakupan pemasaran); penurunan dalam
persaingan dan pilihan (koran yang memonopoli cenderung kurang terbuka pada
pesekutuan kepada partai); meningkatnya profesionalisasi junalisme, yang juga
lebih menyukai obyektifitas dan informasi atas advokasi dan peran propaganda
pers. Keterlibatan pers juag dibawah tekanan dari munculnya keseimbangan moral,
dan obyektifitas jurnalisme yang dipraktikkan (seringkali merupakan persoalan
kebijakan publik) dalam penyiaran.
2.
Propaganda
Media Massa
Studi moderen terhadap komunikasi
politik sebenarnya dimulai dengan studi propaganda, khususnya sebagai respon
terhadap penggunaan yang dibuat oleh alat baru komunikasi (media dan film)
selama dan sesudah perang dunia pertama untuk memajukan patriotisme dan juga
ideologi lain diantara media massa nasional. Persamaan yang awal pada
komunikasi politik dengan propaganda dikuatkan oleh adanya contoh seperti Uni
Soviet dan Nazi Jerman, keduanya menggunakan monopoli pengaturan media massa
(sekarang termasuk di dalamnya adalah radio) karena mereka memiliki proyek yang
berbeda dalam transformasi sosial.
Tidak mengherankan, istilah ‘propaganda’
mendapatkan konotasi negatif. Hal ini digunakan sebagai indikasi untuk
membentuk komunikasi persuasif dengan fitur atau keistimewaan sebagai berikut:
proses komunikasi adalah ditujukan untuk pengirim pesan daripada untuk penerima
pesan, atau untuk mendapatkan manfaat bersama; hal ini melibatkan tingkat
pengendalian yang tinggi dan manajemen dengan mengandalkan sumber yang ada;
tujuan dan kadang-kadang identitas dari sumber seringkali disembunyikan. Secara
umum, propaganda bersifat ‘manipulatif’, satu arah dan memaksa (Jowett dan
O’Donell 1987). Dalam makna peyoratif (pemburukan makna), istilah propaganda
masih mengacu kepada komunikasi langsung dari partai politik dengan adanya
peran media massa untuk merancang dan memobilisasi dukungan.
3.
Riset
Kampanye Pemilihan
Studi yang sistematis terhadap
komunikasi pemilu dengan sendirinya dibuat mungkin oleh adanya kemajuan dalam
teknik mengukur sikap dan opini dan metode analisis statistik yang punya banyak
variasi. Bagaimanapun juga, metode semacam itu diminati pencariannya dalam efek
jangka pendek pada individual dan mengarah pada pengabaian jenis efek yang
lain- pada institusi dan perubahan politik jangka panjang.
Disamping adanya penemuan yang menjadi
penyebab pada riset empiris tentang efektifitas kampanye (hal ini sangat sulit
untuk dibuktikan efek signifikansi langsung-nya), komunikasi politik hadir pada
periode sesudah perang dan khususnya setelah hadirnya teknologi televisi,
menjadi lebih banyak diidentifikasikan dalam banyak negara dengan praktek
kampanye multimedia yang intensif dan luas oleh partai dan kandidat dalam
persaingan menuju pemilu. Kampanye-kampanye ini sering dibuat model iklan
komersial dan secara meningkat mengadopsi pemikiran dan metode yang sesuai
untuk produk marketing, mencoba untuk mewujudkan dan kemudian ‘menjual’ ‘image’
partai dan pemimpinnya. Tidak juga tujuan dalam prinsip pada strategi ini
maupun ketidakpastian mengenai kemujaraban mampu mencegah kecenderungan ini.
D. Kampanye Sebagai Komunikasi
Politik
Jauh-jauh hari sudah banyak Parpol atau
calon tertentu yang sudah berkampanye secara terselubung. Mereka mulai berebut
simpati massa lewat pendekatan-pendejkatan persuasif. Semuanya mendadak menjadi
baik hati, dan perhatian terharap rakyat. Jelas kondisi ini sangat kontaras
dengan hari-hari biasanya.
Menjelang Pemilu adalah masa saatnya
kampanye dimana setiap Parpol atau calon melakukan pendekatan pada massa untuk
menarik dukungan. Roger dan Storey (dalam Antar Venus, 2004: 7) memberi
pengertian kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana
dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang
dilakuan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Perlu diperhatikan
bahwa pesan kampanye harus terbuka untuk didiskusikan dan dikritisi. Hal ini
dimungkinkan karena gagasan dan tujuan kampanye pada dasarnya mengandung
kebaikan untuk publik bahkan sebagian kampanye ditujukan sepenuhnya untuk
kepentingan dan kesejahtraan umum (public interest). Oleh karena itu isi pesan
tidak boleh menyesatkan, maka disini tidak perlu ada pemaksaan dalam
mempengaruhi.
Apapun ragam dan tujuannya, menurut
Pflau dan Parrot upaya perubahan yang dilakukan kampanye selalu terkait dengan
aspek pengetahuan, sikap, dan prilaku. Dalam aspek pengetahuan diharapkan akan
munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan atau meningkatnya pengetahuan
masyarakat tentang isu tertentu, yang kemudian adanya perubahan dalam ranah
sikap. Pada tahap akhir dari tujuannya yaitu mengubah prilaku masyarakat secara
konkret berupa tindakan yang bersifat insidental maupun berkelanjutan.
Kampanye dalam Pemilu pada dasarnya
dianggap sebagai suatu ajang berlangsungnya proses komunikasi politik tertentu,
yang sangat tinggi intensitasnya. Ini dikarenakan terutama dalam proses
kampanye pemilu, interaksi politik berlangsung dalam tempo yang mengingkat.
Setiap peserta kampanye berusaha meyakinkanpara pemberi suara/konstituen, bahwa
kelompok atau golongannya adalah calon-calon yang paling layak untuk
memenangkan kedudukan.
Dalam masa kampanye Pemilu, media dalam
hal ini media massa maupun elektronik sangat potensial dalam hal memepengaruhi
publik untuk menggalang dukungan. Pada kasusu pemilu jenis kampanye yang
digunakan adalah candidate-oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi
pada kandodat yang dimotivasi untuk mendapatkan kekuasaan. Karena memang tujuan
dari kampanye Pemilu adalah untuk pengisian jabatan publik (rekruitmen
politik). Karena berbicara politik adalah berbicara soal perebutan kekauasaan.
Pada dasawarsa yang lalu banyak
teoritisi komunikasi masih memandang media sebagai komponen komuniksasi yang
netral. Pada waktu itu berlaku asumsi bahwa media apapun yang dipilih untuk
menyampaikan pesan-pesan komunikasi tidak akan mempengaruhi pemahaman dan
penerimaan pesan oleh masyarakat. Lalu bagaimanakah realitas media akhir-akhir
atau saat ini sebagai alat komunikasi politik dalam kampanye Pemilu? Apakah
media mampu mempertahankan kenetralannya dalam Pemilu?
Dalam sebuah negara yang belum
demokratis, media massa yang netral sangat sulit ditemukan. Hal ini dapat
dipahamai karena pemerintah memiliki otoritas yang kuat dalam menjaga
stabilitas. Tak heran jika media di dalam negara tersebut sangat selektif
menyiarkan berita dan tentunya melewati kontrol pemerintah.
Begitu juga kondisi media di negara
Indonesia sejak dahulu. Media massa yang ada pun biasanya merupakan
representasi dari pemerintah atau Parpol tertentu. Jadi begaimana media mampu
berperan netral dalam menciptakan demokrasi kalau dia sendiri lahir dari
‘tangan-tangan’ politik ?.
Pada masa orde baru media adalah
pendukung pemerintah. Maka setiap beritapun tentu selalu memuji pemerintah dan
kalaupun ingin mengritik pemerintah harus dengan cara yang amat halus dan tidak
tajam. Begitu juga saat Pemilu, media tentunya akan pro pada partai pemerintah.
E. Peran media massa
Menurut Mc Quail, secara umum media
massa memiliki berbagai fungsi bagi khalayaknya yaitu pertama, sebagai pemberi
informasi; kedua, pemberian komentaratau interpretasi yang membantu pemahaman
maknainformasi; ketiga, pembentukan kesepakatan; keempat, korelasi
bagian-bagian masyarakat dalam pemberian respon terhadap lingkungan; kelima,
transmisi warisan budaya; dan keenam, ekspresi nilai-nilai dan simbol budaya
yang diperlukan untuk melestarikan identitas dan kesinambungan masyarakat
(Yuniati, 2002: 85).
Oleh karena itu media massa seharusnya
menjadi sarana pencerahan dan transformasi nilai-nilai kebenaran agar
masyarakat dapat melihat secara apa adanya. Media sebaiknya tidak memunculkan
kesan menilai atau keberpihakan khususnya dalam masa kampanye Pemilu. Biarlah
masyarakat sendiri yang akan menilai. Yang diperlukan media hanyalah
menyampaikan informasi yang sebenarnya, jelas hitam putihnya. Sehingga
masyarakat tidak terjebak pada pilihan mereka, karena persoalan Pemilu adalah
persoalan masa depan bangsa. Media harus mampu bersikap objektif dalam penayangan
berita. Selanjutnya pengaruh dari media massa terhadap politik dapat di bedakan
menjadi dua, yaitu pengaruh televisi (media massa elektronik) dan pengaruh
surat kabar (media massa cetak)
1.
Pengaruh
televisi
Munculnya televisi sebagai media paling
disukai dalam komunikasi politik (meskipun hal ini sering diikuti dengan gerak
koran media yang secara politis lebih bebas), yang berhubungan dengan perubahan
sosial yang lain, telah membuat hasil yang lebih luas dan tidak disengaja
(meskipun hubungan yang menjadi penyebab tidak dapat sepenuhnya diwujudkan).
Hal ini mungkin memiliki kontribusi menuju sentralisasi yang lebih besar dalam
politik, sebuah penurunan dalam organisasi akar rumput atau grass root massa,
sebuah penurunan dalam partisan tajam dan pembagian ideologi (karena televisi
menyokong ‘orang bawah-menengah’), sebuah peningkatan dalam penggunaan dan
pengaruh polling opini untuk mengarahkan perencanaan kampanye dan untuk
memonitor kesuksesannya, dan sebuah peningkatan dalam keadaan meningkat pada
pemilih sebagai sesuatu yang melekat dan proses pemilihan lebih berpengaruh
oleh adanya pemikiran dan berita yang ada.
Kelihatan menjadi suatu kasus bahwa
kekuasaan yang bersifat nisbi pada mereka yang mengendalikan ‘gerbang’ media
massa secara umum telah meningkat vis-Ã -vis bagi para politisi. Dalam istilah
yang singkat, para politisi memerlukan akses untuk media lebih daripada media
membutuhkan politisi, dan peran politik pembuat keputusan media telah meningkat
dan menjadi lebih sensitif. Bahkan pemerintah dan para pejabat kantor sangat
tergantung pada atensi media, meskipun kekuatan mereka sendiri untuk
mengendalikan peristiwa dan untuk membuat tuntutan atas akses yang mereka
berikan merupakan keuntungan yang merupakan aksi pencegahan.
Dalam hal kampanye, media massa baik
cetak maupun elektronik merupakan sebuah salauran kampanye terhadap konstituen.
Apalagi dengan arus teknologi ini, rasanya media elektronik menjadi salauran
utama bagi jalan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat khususnya dalam masa
kampanye Pemilu. Medium ini telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan
teknologi. Hal itu salah satunya disebabkan sudah banyaknya masyarakat yang
memiliki televisi maupun radio, bahkan sebagian lagi sudah mampu menggunakan
internet. Oleh karena itu banyak Partai maupun calon yang akan berkompetisi di
Pemilu menggunakan sarana atau saluran kampanye melalui media elektronik
khususnya televisi.
Banyak sedikitnnya penayangan yang
berhubungan dengan transformasi ataupun sosialisasi visi dan misi dari sebuah
Partai maupun calon yang dijagokannya akan sangat mempengaruhi penilaian
masyarakat terhadapnya. Oleh karena itu, bagi yang ingin mendapat kemenangan
suara harus mampu “menguasai” media ini dengan penayangan iklannya. Tetapi
tidak sedikit biaya tentunya.
Contoh kasus bisa kita lihat pada Pemilu
tahun 2004 kemarin khususnya Pemilu pemilihan presiden. Siapa yang sering
terlihat di layar TV dari setiap stasiun televisi, dialah yang berhasil menarik
simpati masyarakat. Saya teringat pada masa Pemilu legislatif di TPS ada
seorang nenek yang bertanya pada petugas TPS untuk menunjukkan mana yang
berlambang moncong putih yang akan dia coblos. Dengan enteng nenek tersebut
berargumen bahwa bukannya gambar moncong putih yang harus dicoblos menurut
iklan televisi dan yang sering diingatnya. Juga atusias kaum ibu-ibu yang riuh
dalam mencoblos foto SBY sebagai idolanya bukan karena kesadaran politik.
Dari ilustrasi ini menggambarkan begitu
kuatnya pengaruh media televisi untuk mempengaruhi orang awam sekalipun seperti
mereka. Dengan televisi, kampanye mampu menjangkau orang-orang yang cacat
sekalipun seperti tuna netra dan tuna rungu. Bagi mereka yang takdapat melihat,
bisa menikmati dengan mendengar, begitu juga bagi yang tak dapat mendengar
dapat menikmatinya dengan visualisasinya. Selain faktor aktualitas, televisi
dengan karakteristik audio visualnya memberikan sejumlah keunggulan,
diantaranya mampu menyampaikan pesan melalui gambar dan suara secara bersamaan
dan hidup, serta dapat menayangkan ruang yang sangat luas kepada sejumlah besar
pemirsa dalam waktu bersamaan (Nurrahmawati, 2002: 97).
Iklan tidak hanya sering tapi juga harus
menarik dan mudah diingat oleh masyarakat. Pemberitaan mengenai Partai maupun
tokoh juga berpengaruh terhadap persepsi masyarakat. Misalnya Partai mana saja
yang sering melakukan kecurangan atau bertindak anarki akan dapat di lihat
masyarakat secara aktual. Oleh karena itu opini yang ‘sengaja’ dibentuk oleh
media menjadi senjata untuk menaikan ataupun menjatuhkan pamor salah satu
kontestan Pemilu.
Dengan demikian diperlukan obyektivitas
dan netralitas dari media itu sendiri agar tercipta iklim yang baik dalam masa
Pemilu. Namun kita juga tidak boleh melupakan salah satu tujuan usaha yaitu
tentunya profit. Artinya kita jangan mudah terpedaya oleh media massa yang
mengatasnamakan berimbang dan tidak memihak. Karena penayangan iklan tentunya
tidak gratis. Banyak sedikitnya penayangan ditentukan oleh besar kecilnya
biaya. Selain itu juga kita perlu melihat siapa yang ada di balik media itu.
Sedekat apakah hubungan antara sebuah media dengan pemerintah, Parpol, maupun
tokoh politik lainnya. Ini sebagai parameter untuk mengukur netralitas sebuah
media. Karena ini mempengaruhi pada setiap pemberitaan oleh media.
Tentunya kita sering melihat sebuah
media lebih condong pada pemerintah atau partai tertentu. Kalau kita jeli dalam
mencermati berita oleh media cetak ataupun elektronik, terkadang pemeberitaan
selalu menyudutkan salah satu pihak dan mengunggulkan pihak yang lain. Selalu
mencari kesalahan pihak ‘lawan’ tanpa melihat juga kesalahan pihak yang dibela.
2.
Pengaruh
surat kabar
Selain televisi, surat kabar atau media
cetak memiliki andil dalam pembentukan persepsi masyarakat. Persepsi merupakan
sebuah proses pemberian makna terhadap apa yang kita tangkap dari indera kita,
sehingga kita memperoleh pengetahuan baru dari hal tersebut. Persepsi sangat
dipengaruhi oleh informasi yang ditangkap secara keseluruhan. Begitu juga
dengan pencitraan pada dasarnya juga dipengaruhi oleh informasi yang diterima
dan dipersepsi.
Informasi atau berita dalam media massa
merupakan hasil seleksi yang dilakukan oleh gatekeeper yang dijabat oleh
pemimpin redaksi atau redaktur pelaksana surat kabar. Berita dalam surat kabar
sendiri dapat didefinisikan sebagai sebuah laporan dari suatu kejadian penting
dan dianggap menarik perhatian umum. Berita merupakan salah satu informasi yang
diberikan oleh surat kabar. Dalam hal penyajian berita harus melalui seleksi.
Karena isi berita sangat berpengaruh pada minat masyarakat untuk membaca.
Oleh karena adanya seleksi dalam
pemuatan berita, maka tidak semua berita atau informasi yang ada dapat
ter-expose. Berita yang dimuat biasanya hanya berita yang memiliki nilai jual.
Terkadang dari sinilah kurang netralnya sebuah media. Media hanya mementingkan
keuntungan saja, terkadang media kurang memeprhatikan masyarakat kecil
khususnya. Sehingga mereka tak pernah terjamah oleh dunia elit.
Patterson berkesimpulan bahwa informasi
surat kabar lebih efektif bagi khalayak dibanding televisi. Sajian berita surat
kabar selain bentuk kata tercetak, juga kerap dalam bentuk visual berupa foto
berita, lambang patai politik, atau karikatur. Dari asumsi ini terlihat bahwa
surat kabar memiliki pengaruh yang besar pula dalam kampanye politik.
Menurut hasil penelitian terhadap
mahasiswa, bahwa penonjolan berita pemilu melalui frekuensi pemunculan berita
dan judul berita Organisasi Peserta Pemilu (OPP) terhadap persepsi mahasiswa
tentang partai politik menunjukkan pengaruh yang signifikan (Yuniati, 2002).
Suatu pesan atau berita yang sering diulang-ulang akan dapat menarik perhatian
seseorang dabanding dengan pesan yang kurang banyak diungkapkan. Terlebih jika
suatu berita serentak di berbagai surat kabar maupun televisi ditayangkan.
Dalam surat kabar, sebuah berita besar atau yang menjadi topik utama selalu
ditempatkan di halaman depan dengan judul yang menarik dan membuat penasaran
ditambah dengan foto yang mendukung.
Semakin sering seorang tokoh atau berita
tentang partai dimuat di halaman itu, maka akan semakin terkenallah dia. Kita
coba ingat kembali berita dalam surat kabar pada waktu menjelang Pemilu 2004.
Siapakah calon, tokoh, atau partai yang sering ‘berpose’ di halaman utama.
Tentunya kita sering melihat berita tentang tokoh baru tersebut, tentunya
seorang figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Nama dan partainya begitu sering
muncul, ditambah dengan berita yang membuat simpati pada tokoh tersebut akibat
disia-siakan oleh pemerintah sewaktu menjabat menteri.
Ternyata media massa baik surat kabar
maupun televisi berpengaruh sangat besar bagi pemenangan dalam Pemilu.
Komunikasi politik lebih efektif melalui sarana tidak langsung atau menggunakan
media tersebut. Karena pesan yang disampaikan akan serentak diketahui oleh
orang banyak di segala penjuru dan juga dapat diulang-ulang penayangannya.
Persepsi, interpretasi, maupun opini publik mudah dipengaruhi lewat iklan
maupun berita dalam media. Maka untuk menghindari terjadinya disfungsi media,
media harus bisa menjadi penengah atau perantara antara pemerintah, elit
partai, dan masyarakat. Di masa reformasi ini, dimana sudah mulai ada kebebasan
pers seharusnya pers harus mengubah pola kerjanya yang semula ‘menjilat’
pemerintah karena terpaksa, tetapi sekarang harus netral dan sebagai alat
kritik sosial bagi pemerintah maupun masyarakat.
F. Media dan Citra Politik Jelang Pemilu
Media merupakan perangkat besar menuju satu tujuan besar dalam suatu
bangsa dan negara. Dalam mewujudkannya harus terdapat kekuatan yang besar.
Mereka yang menguasai media memiliki kuasa begitu besar. Tujuan besar itu
membangun budaya Rakyat atau menguasainya.
Beberapa media besar, terutama televisi, telah membuka
lebar pintu kesempatan bagi setiap partai politik dan tim sukses calon presiden
dan calon wakil presiden berlomba melakukan kampanye di dalam perhelatan besar
demokrasi, Pemilihan Umum (pemilu) Legislatif dan Eksekutif pada April dan Juli
2009. Berbagai langkah dan upaya terkait kebutuhan serta kepentingan politik
jelang pemilu coba dilancarkan elit dan partai politik memanfaatkan media massa
sebagai instrumennya. Relevansi hal itu dapat ditinjau melalui keberadaan UU
No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD. Undang-undang itu
memuat 11 materi pasal dalam bagian keenam mengenai Pemberitaan, Penyiaran, dan
Iklan Kampanye. Di antaranya Pasal 89 dan Pasal 90 Paragraf 1, Pasal 91 Paragraf
2, dan Pasal 92 Paragraf 3. Kemudian Pasal 93 sampai Pasal 100 Paragraf 4.
Peran media yang dimuat dalam undang-undang pemilihan umum
membuat media berani melangkah lebih jauh berkontribusi di pemilu. Adalah Metro
TV dan TV One, dua stasiun televisi yang berpartisipasi aktif dalam menyediakan
ruang besar khusus setiap dinamika pemilu untuk dilepas ke Rakyat. TV One telah
menyematkan sebagai TV Pemilu. Metro TV dengan Election Channel-nya. Begitu
pun, berbagai media cetak menyediakan kolom khusus terkait program pemilu.
Terlebih forum kampanye dan debat presiden dan wakil presiden. Media-media itu
secara elegan menyajikan rangkaian program khusus pemilu, meliputi pemberitaan,
sorotan politisi dan partai politik beserta program-programnya, survei pemilih,
iklan politik, sampai pada perdebatan terbuka antar tokoh politik maupun
partai.
Berbagai kemasan program-program terkait pemilu di dalam
media-media besar pada dasarnya hanya sekadar mengemukakan khasanah pergulatan
antara para politisi dari setiap partai politik yang ada kepada Rakyat.
Selebihnya kembali kepada Rakyat yang ditempatkan sebagai penimbang, sekaligus
pada akhirnya pengambil keputusan di saat pemilu berlangsung nantinya. Dengan
kata lain, media merupakan arena penyampaian isi terkait Pemilu 2009, dimana
politisi dan partai-partai politik adalah pemain sekaligus penulis isi
informasi dan sutradara. Sementara itu, Rakyat hanya penonton.
1. Pencitraan Realitas dan Hegemoni
Menurut Jean Baudrillard, filsuf dan pakar komunikasi
Perancis, media merupakan agen simulasi (peniruan) yang mampu memproduksi
kenyataan (realitas) buatan, bahkan tidak memiliki rujukan sama sekali dalam
kehidupan kita. Teori Baudrillard masuk akal dihubungkan pada banyaknya
iklan-iklan di televisi, radio, dan media cetak menampilkan tokoh-tokoh dengan
bendera satu partai politik di belakangnya. Partai-partai politik itu
memproduksi kenyataan buatan bermuatan politis agar mendapatkan dukungan di
pemilu. Proses dramatisasi ditunjukkan dengan mengangkat tema besar yang
sensitif dan populer di hadapan Rakyat dan selalu dihubungkan dengan kekuasaan
politik individu dan kelompok atau partai.
Kenyataan buatan yang ditampilkan lewat iklan dan
program-program politik di media sesungguhnya membodohi dan menipu Rakyat
karena tidak sesuai dengan kenyataan sesungguhnya. Coba nilai, iklan politik
Susilo Bambang Yudoyono (SBY), presiden saat ini, menonjolkan keberhasilan
pemerintahannya menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebanyak tiga kali
setelah pemerintahannya sendiri menaikkan harga BBM. Semua orang tahu
naik-turunnya harga BBM di Indonesia mengikuti harga BBM dunia. Kenaikan harga
BBM telah meningkatkan jumlah orang miskin. Tetapi SBY dengan bangga tanpa
merasa bersalah sedikit pun menyatakan secara terbuka di beberapa media bahwa dia
yang menurunkan harga BBM.
Begitu pun iklan lawan politiknya, Megawati. Dia memasang
iklan untuk menepis iklan keberhasilan SBY. Pada iklan tersebut, Megawati
megunakan data-data kegagalan pemerintah untuk menjatuhkan pamor SBY. Padahal,
banyak kegagalan Megawati saat menjabat menjadi presiden (termasuk menaikkan
harga BBM), sehingga dia saat itu kehilangan pamor dan SBY terpilih menjadi
presiden. Sampai saat ini Megawati dan mesin politiknya tidak menunjukkan
program-program konkret untuk Rakyat.
Pencitraan yang paling populer dan emosional, namun tetap
menipu dimainkan oleh tim sukses Prabowo Subianto dari Partai Gerindra.
Iklannya menyentuh isu-isu sensitif rakyat, seperti ketahanan pangan. Prabowo
di iklan itu disosokkan sebagai calon pemimpin negara yang mampu membawa
perubahan dan mengajak rakyat untuk ambil bagian bersamanya di pemerintahan
selanjutnya. Namun, Prabowo tidak mempunyai jejak rekam kehidupan yang
perhatian penuh terhadap pangan dan rakyat miskin. Prabowo justru masih
dihantui kasus penculikan dan penghilangan paksa para aktivis pada tahun
1998-1999. Dia ditengarai terlibat langsung pada operasi itu.
Tidak kalah lagi, Jusuf Kalla, mengiklankan citra ekonomi
kemandirian dan keberagaman suku bangsa Indonesia. Padahal kita tahu dia adalah
saudagar besar di Indonesia yang tidak pernah puas menumpuk kekayaannya.
Partai politik memang sadar betul bahwa aksi-aksi
politiknya menjadi tidak berarti tanpa kehadiran media. Menurut C. Sommerville,
dalam bukunya Rakyat Pandir atau Rakyat Informasi (2000), kegiatan politik
niscaya akan berkurang jika tidak disorot media. Ada beberapa hal memengaruhi
itu, salah satunya media memiliki kemampuan reproduksi citra dahsyat. Beberapa
aspek dari reproduksi citra bisa dilebihkan dan dikurangi dari realitas
aslinya. Selain itu, media menyediakan beragam makna untuk mewakili dan
membangun kembali fakta tidak terkatakan (unspeakable), yaitu beragam
kepentingan politis dan finansial yang sengaja disembunyikan di balik berita
dan semua isi yang tersaji melalui media. Kemampuan mendramatisir oleh media
pada gilirannya merupakan amunisi yang baik bagi para politisi, terlebih
menjelang pemilu, untuk memengaruhi Rakyat sebagai penonton sehingga mendukung
para politisi dan partai-partai politik.
Selain pencitraan politisi dan partai politik, penggiringan
opini tentang keharusan Rakyat untuk memilih dalam pemilu gencar dimainkan oleh
tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, politisi, partai politik,
lembaga-lembaga negara, terlebih media. Namun, di sisi lain komunitas golput
dan kepentingannya yang begitu fenomenal sangat tidak diakomodir oleh berbagai
media. Padahal, golput merupakan bentuk nyata kesadaran politik Rakyat.
Adanya pencitraan opini untuk Rakyat di media menurut
Gramsci karena media memiliki kuasa hegemoni. “Kuasa media” dari kelas yang
berkuasa itu mengadakan kepemimpinan moral dan intelektual Rakyat dengan
program-programnya. Prosesnya berjalan dalam sistem yang berbeda dengan
dominasi dan berlangsung tidak dengan paksaan. Ini yang membedakan hegemoni dan
dominasi. Hegemoni berlangsung secara ideologis (ide-ide dan intelektualitas),
sedangkan dominasi berjalan melalui kekerasan.
Ideologi dalam pandangan Gramsci tidak hanya dilandasi oleh
sistem ekonomi, namun tertanam di semua aktivitas Rakyat, termasuk sensitivitas
politik. Sehingga, ideologi diartikan dalam kehidupan dengan tidak dipaksa oleh
satu kelompok namun menembus dan di luar kesadaran (politik). Hegemoni
meminimal kontradiksi (pertentangan) dan antagonisme (perlawanan) dari Rakyat,
baik secara sosial maupun etis.
Louis Althusser, seorang pemikir strukturalis Perancis,
memperkenalkan dua istilah kunci terkait ideologi. Pertama, Repressive State
Apparatus (RSA). Kedua, Ideological State Apparatus (ISA). RSA berfungsi melalui kekerasan, baik dalam bentuk kekerasan fisik
maupun non fisik. Kekerasan ini dilakukan oleh aparat negara yang represif,
terdiri dari pemerintah, tentara, polisi, birokrasi, pengadilan, penjara dsb.
Sementara itu, ISA menjalankan fungsinya secara ideologi.
Perbedaan antara ISA dan RSA begitu jelas dan tidak bisa
disamarkan. Perbedaannya, yaitu pertama, hanya ada satu RSA, namun pada sisi
yang lain terdapat keragaman ISA. Kedua, RSA bergerak terbatas pada wilayah
publik, sedangkan ISA dapat bergerak ke wilayah privat, seperti melalui lembaga
agama, keluarga, sekolah, media massa, dsb.
Gagasan Gramsci dan Althusser menyimpulkan proses
penindasan hegemonik lewat media, yakni media tidak berfungsi dengan cara-cara
penindasan secara fisik, melainkan menyebarkan gagasan-gagasan dominan yang
diproduksi oleh kelas yang dominan yang sedang menguasai negara.
Lebih lanjut Marx dan Engels menyatakan, the ideas of the
ruling class are in every epoch the ruling ideas, i.e. the class which is the
ruling material force of society, is at the same time its ruling intellectual
force. The class which has the means of material production at its disposal,
has control at the same time over the means of mental production, so that
thereby, generally speaking, the ideas who lack the means of mental production
are subject of it (Marx and Engels, Storey [ed], 1995: 196).
Jika memang demikian, dunia perpolitikan hanya menjadi
“realitas politik yang sudah dikemas (manufactured political realities)”.
Inilah era kekuasaan media (mediacracy) mencapai titik puncaknya. Media secara
sempurna mampu melakukan rekayasa terhadap realitas politik. Dengan kata lain,
media memiliki peran besar sebagai pendefinisi realitas politik.
Kepentingan politis dan finansial inilah yang menjadi
landasan pertanyaan kritis tentang “keberimbangan informasi“ terhadap Rakyat.
Keberimbangan yang dimaksud berbicara tentang keadilan peran serta Rakyat
terhadap media, kebenaran isi informasi yang berdasar pada kenyataan yang
sesungguhnya (realistis), bukan kenyataan buatan, dan keberpihakan media kepada
Rakyat. ”Keberimbangan informasi” tidak dapat terwujud ketika kepemilikan media
didominasi oleh penguasa (pemodal dan elit politik).
2. Rakyat Diantara Media Massa dan Penguasa
Hubungan media dengan Rakyat dipengaruhi gejolak kondisi
sosial yang berkarakter pada kesejahteraan ekonomi dan kekuasaan politik yang
berbeda (timpang) antara kelas sosial yang satu dengan kelas sosial yang lain.
Kondisi ini dapat dilihat hubungan media dengan institusi sosial lain. Pada
tingkat tertentu media bersaing dengan kekuasaan dan pengaruh yang dominan atau
media memperkuat kekuasaan dan pengaruh dominan itu.
Sejalan dengan itu, pendekatan Marxisme melihat media
sebagai alat dari kelas dominan, yakni alat dominasi penguasa untuk
mempertahankan kekuasaan yang sedang berlangsung (status quo) dan sebagai
sarana kelas pemilik modal untuk menggandakan modalnya. Media dalam konteks itu
selalu menyebarkan ideologi dari kelas yang berkuasa kepada Rakyat. Kondisi itu
memperlihatkan tekanan kepada kelas yang dibawahnya, yakni Rakyat.
Fungsi media menjadi begitu tereduksi (turun/berkurang)
ketika sistem ekonomi-politik media menjadi paham dan bagian dari kekuasaan
yang ada. Menurut teori politik ekonomi media, kepemilikan media pada
segelintir elit pengusaha dan penguasa telah menyebabkan patologi atau penyakit
sosial. Teori ini didasarkan pada satu pengertian ekonomi politik sebagai studi
mengenai relasi sosial, khususnya menyangkut relasi kekuasaan, baik dalam
produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya (resourches), berupa surat kabar,
majalah, buku, kaset, film, internet dan sebagainya (Moscow, The Political
Economy of Communication, 1998: 25). Sehingga, kandungan media menjadi barang
dagangan (komoditi) yang dijual di pasar. Informasi yang menyebar dikendalikan
oleh apa yang pasar akan tanggung. Sistem itu membawa dampak mekanisme pasar
yang tidak ambil risiko, suatu bentuk mekanisme pasar yang kejam karena membuat
media tertentu mendominasi wacana publik dan lainnya terpinggirkan. Di arena
politik, informasi menjadi barang dagangan bernilai politis yang terbuka
peluang begitu lebar untuk direkayasa untuk kepentingan politik.
Beberapa hal di atas, dinamisasi hubungan yang terjadi
antara media, Rakyat, dan politik, menunjukkan siklus pergumulan
kelompok-kelompok dominan atau berkuasa. Kelompok dominan yang dimaksud adalah
politisi pemegang kekuasaan dan calon pemegang kekuasaan, dan pemilik modal
yang saat ini terspesifikasi menjadi pengusaha, pemilik perusahaan, investor,
dan lain-lain. Sementara itu, Rakyat Tertindas: pekerja, petani, nelayan,
perempuan, kelompok minoritas, merupakan kelompok yang dikuasai dalam kehidupan
sosial.
3. Media Alternatif Milik Rakyat
Media yang dikuasai dan dijalankan oleh Rakyat harus
dibangun guna melawan hegemoni dan dominasi penguasa yang menindas Rakyat. Media
ini disebut Media Rakyat, merupakan instrumen ideal yang harus dimiliki oleh
kelompok tertindas. Media Rakyat dijadikan benteng pertahanan budaya Rakyat
sekaligus mesin perang melawan penindasan dalam konteks melawan pembodohan
melalui media komersil besar saat ini. Perancangan opini baru progresif yang
lebih mendidik dan mencerdaskan di Media Rakyat akan menjadi gagasan yang
berlawan terhadap segala bentuk hegemoni dan dominasi.
Setelah itu, media-media Rakyat progresif (radio, buletin,
koran, situs, web blog, buku, media seni rupa dan pertunjukkan, dan televisi
komunitas) yang ada segera membangun jejaring programatik berisi berbagai
muatan untuk melawan media milik pemodal dan penguasa. Sehingga, opini yang
progresif berpihak kepada Rakyat akan terbangun untuk menyaingi besarnya
tiap-tiap wacana dan program yang terlahir dari media-media komersil saat ini.
Perjuangan Media Rakyat harus didasari dengan membangun
kemandirian. Pondasi kerjanya harus menghilangkan ketergantungan terhadap media
besar saat ini dan tidak terjebak ke dalam pusaran kapitalisme. Satu hal yang
diyakini di dalam Media Rakyat adalah Rakyat berdaulat atas media. Dengan
demikian, Rakyat berdaulat atas ide-ide, intelektualitas, dan budayanya.
G.
Menjamurnya
Iklan Politik Menjelang Pemilu 2009
Kebanyakan media massa akhir-akhir ini
di ramaikan oleh iklan-iklan politik dari berbagai politisi ataupun partai.
Baik media cetak, elektronik maupun media lainnya, hampir setiap hari
didalamnya kita disuguhi oleh iklan-iklan politik tersebut. Pada awalnya, kita
sering melihat iklan-iklan politik ini hanya mengandung unsur ajakan, coblos
ini coblos itu, tetapi seiring dengan semakin mendekatnya momentum pesta
demokrasi, pemilu 2009, iklan-iklan tidak hanya bersifat ajakan atau mengarahkan
mana yang harus dicoblos, melainkan sudah dalam tempo saling serang. Bukankah
seharusnya memang ada panduan bagaimana iklan politik yang baik dan sesuai etika?
Pada dasarnya memang iklan adalah cara
pragmatis untuk menaikkan rating atau kepopuleran dari seorang figur politisi
atau partainya, tetapi sebaiknya iklan tetap mengandung etika yang harus
dipenuhi. Misalnya, tingkat kejujurannya, benar, berani bertanggung jawab,
bersaing secara sehat dan melindungi dengan menghargai publik, tidak melanggar
hukum negar, nilai-nilai agama, adat, susila, ataupun golongan.
Dengan melakukan iklan, politisi atau
partai dapat mendongkrak tingkat popularitasnya. Contohnya, sewaktu belum
memakai iklan, seorang politisi hanya berhasil menjamah 20% kepopulerannya dari
publik. Tetapi setelah menggunakan jasa yang bukan tanpa pamrih ini, orang
tersebut berhasil membujuk masyarakat melalui iklan dengan tingkat
kepopulerannya mencapai lebih dari 50%. Sungguh dahsyat memang kekuatan dari
iklan yang ditampilkannya.
Sebenarnya, tidak hanya dengan iklan
saja tingkat popularitas seorang politisi yang akan menjamin lancarnya politisi
tersbut dalam tujuannya. Ada beberapa hal lain yang harus dipenuhi. Misalnya
konstituen, kekuatan pendukung menjadi sangat penting dalam upaya mempopulerkan
dan masuk memberikan pencitraan kepada masyarakat agar menjatuhkan pilihannya
dan lebih bersosialisasi ke publik agar semakin terkenal di mata masyarakat.
Hal lain adalah moral politik yang terintegrasi. Misalnya, dalam membuat
berbagai kebijakan, tidak melenceng jauh dengan apa yang diharapkan oleh
publik, selalu mendengarkan keluhan-keluhan publik yang bersifat aspiratif
ataupun parsipasi karena mereka akan turut menjadi konstituennya. Hal lainnya
yang perlu di milik adalah tingkat kapabilitas dan kompeten. Yaitu, politisi
tersebut paham dan mengerti fungsi serta peran kedudukan yang akan mereka
incar, sehingga masyarakat mampu percaya sepenuhnya.
1)
Manfaat iklan politik.
Dunia advertising ini dapat
mengaktualisasikan makna kesejahteraan pada publik karena pada dasarnya iklan
bersifat persuasif dan informatif. Karewna bersifat informatif, iklan politik
menjadi sarana politik bagi publik untuk menyadarkan mereka bahwa publik siap
ikut untuk menjadi konstituen yang kuat, cerdas dan mandiri. Iklan politik juga
dapat mendorong terciptanya suatu persaingan yang sehat antara peserta untuk
membuat atau menciptakan program-program baru yang di butuhkan oleh khalayak.
Tetapi pada kenyataannya sekarang
masyarakat masih kurang begitu paham bahwa sebenarnya ada konspirasi-konspirasi
para elit politik dengan media yang bermain didalamnya. Sosialisasi,
pembangunan citra, janji-janji, ataupun kata-kata manis dalam iklan bisa saja
hanya realitas rekayasa dari media. Masyarakat seakan-akan termakan oleh
harapan-harapan semu yang diberikan oleh para politisi dalam upaya
pendekatannya dengan publik. Iklan politik semata-mata menjadikan tempat utama
bagi masyarakat untuk mengetahui figur politis atau partai, sehingga
istilahnya, masyrakat dengan mudah hanya menggangguk saja sebagai tanda bukti
konstituen mereka walaupun sebenarnya pencitraan itu hanya terlihat dari depan
ataupun samping dan tidak mengetahui di balik punggungnya. Barangkali masih
terngiang di benak kita akan janji program 100 hari yang direncanakan oleh capres
(calon presiden) dan cawapres (calon wakil presiden) yang heboh pada saat itu,
pemilu 2004 kemaren, setelah itu kita bisa melihat sendiri kan?sudah banyak
contoh kasus lain seperti ini tetapi mungkin saja tetap berlangsung dan seakan
sudah menjadi tradisi.
Iklan politik tentu saja sangat efektif
dalam memuluskan pencitraan popularitas, apalagi melalui media elektronik
seperti televisi yang daya jangkaunya ke publik 90% lebih besar dari media
lainnya. Untuk itu, para penguasa media memainkan kesempatan besar ini dan
menumpuk rupiah. Pemilik media tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan besar ini,
menjelang pemilu 2009 ini seakan menjadi deadline bagi mereka untuk
memperbanyak pundi-pundi uang dari iklan politik dari koleganya. Siasat yang
dijalankan media mungkin yang paling mencolok adalah biaya per spotnya.
Misalnya, per detik iklan dipatok 6 juta rupiah, durasi iklan adalah 30 detik.
Kita tinggal mengalikan saja hasilnya. Apabila dalam satu program yang satu jam
memakai iklan tersebut, tentu kita akan tahu berapa besarnya keuntungan yang
ada. Oleh itu, politisi atau partai harus siap merogoh kocek dalam-dalam agar
muka dan visi-misi mereka muncul di televisi.
2)
Penertiban iklan-iklan
politik.
Pada perkembangannya, iklan-iklan
politik sekarang sudah melampaui batas etika dari iklan. Sudah mulai lunturnya
tingkat kompeten dan transparansi dari pesan yang terkandung dalam iklan
tersebut. Karena yang dituju adalah publik sebagai basis konstituen, tentunya
ada lembaga yang menjaga jalur agar iklan politik tidak melampaui batas etika
dari iklan dan melindungi publik agar tidak mudah mengangguk dengan apa yang
dia lihat dan saksikan.
3)
Rezim
Kerahasiaan Pemilu 2009
Iklan politik menjadi primadona bagi
para kontestan pemilihan umum untuk menjaring preferensi publik. Riset Nielsen
menunjukkan, dana iklan politik tahun 2008 mencapai Rp 2,208 triliun (baca: Rp
2 triliun 208 miliar), meningkat 66 persen dibandingkan dengan tahun 2007 yang
mencapai Rp 1,327 triliun. Angka yang sesungguhnya pasti lebih besar karena
riset ini belum menghitung belanja iklan politik untuk media radio, Internet,
serta media luar ruang. Dana iklan politik juga masih akan menggelembung
karena, menjelang pemilu legislatif April 2009, dapat dipastikan iklan politik
semakin gencar menyapa publik.
Namun, gegap-gempita iklan politik
selalu meninggalkan persoalan kompleks. Bagaimana transparansi dan
akuntabilitasnya? Publik tidak pernah tahu secara persis besaran dana iklan
politik itu, dari mana asalnya, siapa saja donaturnya, dibelanjakan untuk apa saja,
serta bagaimana konsekuensinya terhadap kinerja pemerintahan yang baru nanti.
Partai politik, para calon legislator,
dan kandidat presiden tidak mempunyai tradisi, juga tidak dikondisikan untuk
secara terbuka menjelaskan ihwal dana politik yang mereka gunakan. Publik tidak
mengetahui apakah kampanye politik benar-benar steril dari penyalahgunaan
anggaran publik APBN/APBD, dana departemen, dana dekonsentrasi, dan seterusnya.
Publik juga tidak akan tahu seandainya, di balik gebyar iklan pemilu di media,
beroperasi dana dari para pengusaha hitam, pejabat bermasalah, atau dana hasil
money laundering.
Aturan main pemilu sangat tidak memadai
dalam mengantisipasi masalah ini. Menurut Undang-Undang Pemilu, hanya biaya
kampanye partai politik yang harus dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum. Tidak
jelas bagaimana transparansi dana sumbangan dari para simpatisan. Undang-Undang
Pemilu juga hanya menyatakan "dana kampanye dapat berasal dari sumbangan
pihak lain yang sah menurut hukum dan dibatasi besarannya" (pasal 138).
Tanpa penjabaran lebih operasional, tentu klausul semacam ini mudah dilanggar
atau diinterpretasikan secara berbeda.
Potensi pelanggaran juga cukup besar
ketika UU Pemilu menjelaskan: "materi kampanye meliputi visi, misi, dan
program" (pasal 94). Padahal kampanye pemilu lazim dilakukan dengan materi
apa saja: slogan, warna khas partai, profiling tokoh partai berikut
prestasi-prestasinya, dan lain-lain. Ruang lingkup kampanye yang tidak
komprehensif mempermudah manipulasi dan merebaknya iklan-iklan terselubung. Di
sini mungkin beroperasi dana-dana politik "liar". Sementara itu,
transparansi dana kampanye hanya diwajibkan kepada partai politik, dan tidak
eksplisit diwajibkan kepada pihak media dan biro iklan yang berurusan langsung
dengan pemasang iklan.
Persoalannya jelas, tidak ada yang
gratis dalam politik! Determinasi politik uang terhadap independensi
pemerintahan dan legislatif yang baru menjadi keniscayaan. Ironisnya, publik
tidak mempunyai basis informasi yang cukup untuk mengantisipasi masalah ini.
Sejauh terkait dengan dana politik, semuanya serba gelap bagi publik. Pemilu
seperti berlangsung dalam rezim kerahasiaan.
H.
Netralitas
Media Massa
Ketika media massa berada dalam
konteks sosial dan dikonsumsi oleh khalayak. Maka pada saat itu media massa
berhadapan dengan masalah etika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa media
massa pada dasarnya tidak bebas nilai. Ujian
terberat bagi media massa. Yakni menyeimbangkan kebebasan pers dalam memberikan
informasi/pemberitaan dengan porsi tanggung jawab yang diembanya. Ia harus
memposisikan netral. Keputusannya tidak boleh mau diintervensi penguasa.
Walaupun disiram dengan imbalan. Karena etika kebijaksanaan pers bertujuan
melakukan pendidikan terhadap rakyat. Maka pers tidak boleh tergoda oleh
imbalan.
Etika adalah aturan moral. Berasal
dari sebuah situasi di mana seseorang bertindak dan mempengaruhi tindakan orang
atau kelompok lain. Definisi etika ini juga berlaku untuk kelompok media
sebagai subjek etis yang ada. Setiap arahan dan aturan moral mempunyai nilai
dan level kontekstualisasi. Bisa pada tingkat individu, kelompok, komunitas
atau sistem sosial yang ada. Dapat dikatakan bahwa etika pada level tertentu
sangat ditentukan oleh arahan sistem sosial yang disepakati.
Media massa kemudian juga perlu
dihadirkan secara seimbang. Antara peran etis dan kebutuhan kapital. Peran etis
sangat diperlukan untuk mengontrol kebijakan negara. Agar tidak melenceng dari
rel kenegaraannya. Yaitu untuk melayani dan melindungi kepentingan masyarakat.
Ranah sosial ini diperlukan. Agar kualitas demokrasi kita semakin matang dan
dewasa. Sehingga menemukan momentumnya yang pas. Ranah industri media sebagai lembaga perusahaan. Memang tidak harus
dikesampingkan. Karena menyangkut dengan penghidupan dan kesejahteraan
karyawannya. Nilai komersil media hendaknya tidak sampai mengesampingkan
peran-peran etis.
Perlu adanya keseimbangan posisi.
Karena bilamana media sudah tidak netral lagi. Berarti telah menggadaikan
idealismenya. Melanggar etika pers. Maka sudah tidak bisa dijadikan penyeimbang
sistem kenegaraan dalam kehidupan demokrasi.
Dalam konteks politik, terutama
dalam kesuksesan pemilihan Presiden. Peran media diharapkan dapat melakukan pendidikan politik bagi
rakyat. Setidaknya berperan dalam penambahan informasi tentang pemilu presiden.
Informasi tersebut bisa mempengarui perilaku memilih. Sehingga akan berdampak
pada sistem politik yang berjalan. Selain itu, media dapat menjadi sarana sosialisasi. Bisa penyampaian
program-program dari kandidat presiden, kemudian media juga menjadi sarana
untuk memberitakan sepak terjang kandidiat. Sehingga berharap masyarakat
mempunyai penilaian. Tidak salah pilih terhadap kandidat presiden.
Pemilihan presiden akan
menghasilkan pemimpin baru. Pewaris pemegang otoritas kekuasaan negara ke
depan. Ia memiliki wewenang dan kapasitas untuk menjalankan dan mengatur
pemerintahan negara. Maka peran media adalah mengawasi (baca: kontrol).
Memberikan informasi kepada publik atas aktivitas-aktivitas dan
keputusan-keputusan politik yang dilakukan pemerintahannya. Aktivitas dan
keputusan politik akan menjadi sentral perhatian. Dan secara tidak langsung
akan membentuk opini dalam masyarakat.
Dalam mekanisme demokrasi, publik
merupakan penguasa. Setiap keputusan-keputusan politik yang dihasilkan dan
mengikat semua orang haruslah diketahui terlebih dahulu oleh publik
(masyarakat). Publik tentunya akan merespon keputusan tersebut. Apakah sesuai
dengan aspirasi mereka atau tidak. Respon tersebut kemudian menjadi pedoman.
Khususnya bagi penguasa untuk memperbaiki keputusan yang mereka keluarkan.
Begitu seterusnya hingga masyarakat (publik) akan menerima keputusan tersebut.
Opini masyarakat terhadap figur
kandidat pilpres sangat dipengaruhi oleh informasi yang diberikan media massa.
Peranan media massa sanggup dan mampu membentuk opini masyarakat. Media massa
bahkan mampu menggiring opini masyarakat pada kesimpulan dan persepsi yang
diciptakan media.
BAB III
PENUTUP
Kondisi-kondisi komunikasi publik
yang akhir-akhir ini berubah terlihat memerlukan revisi gagasan yang lebih
lanjut. Kecenderungan waktu ( karena adanya kepentingan ekonomi-industri yang
dicatat) mengarah pada multiplikasi semua macam jalur komunikasi, dan pilihan
yang lebih banyak pada ‘konsumer’, berkurangnya regulasi dan pengendalian, dan
lebih banyak komersialiasi sistem media. Perubahan-perubahan ini menawarkan
kesempatan yang lebih banyak kepada individu-individu untuk menemukan informasi
dan gagasan yang dia sukai, tetapi mereka mungkin bisa menawarkan kemanfaatan
lebih sedikit untuk mewujudkan sumber politik ( partai dan politisi), yang
mungkin merasakan lebih sulit mendapatkan akses dari target yang dipilihnya.
Dunia politik harus bersaing, dengan menghadapi ‘pasar audiens’ yang sama,
dengan barang-barang komunikasi yang lebih populer. Hasilnya mungkin, massa
politik yang kurang mendapatkan informasi, dan jurang pemisah yang lebar antara
minoritas sumber daya yang aktif dan terkait dan mayoritas yang melepaskan diri
dari institusi politik. Di sisi yang lain, jumlah komunikasi politik telah
menunjukkan setiap tanda kenaikan.
Kampanye pemilihan umum idealnya
merupakan proses penyampaian pesan-pesan politik yang salah satu fungsinya
memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Melalui kampanye, partai-partai
politik berusaha menyakinkan massa pemilih dengan mengangkat berbagai agenda
yang dinilainya akan memberikan keuntungan bagi masyarakat. Karena itu, setiap
partai politik selalu berusaha menemukan cara-cara paling efektif untuk
merekrut sebanyak-banyaknya massa. Dan dalam proses rekrutmen tersebut, pers
adalah diantara media yang memiliki tingkat efektifitas yang relatif tinggi.
Pemilihan umum telah dilakukan
berulang kali di Indonesia. Tetapi proses yang dilaluinya dalam rentang waktu
sejak orde lama, orde baru hingga era reformasi, tampaknya memperlihatkan
kualitas komunikasi politik yang bervariasi. Kualitas yang dimaksud terutama
dipengaruhi oleh sistem kekuasaan yang berlangsung, corak budaya politik
masyarakat, serta fungsi-fungsi kontrol yang diperankan media pada saat pemilu
itu dilaksanakan. Komunikasi politik yang berlangsung dalam sistem kekuasaan
otoriter akan mengarah pada proses penyampaian informasi searah, dan media
massa akan berfungsi sebagai corong kekuasaan. Sebaliknya, pada masyarakat
demokratis dengan partisipasi politik yang lebih besar, media massa, atau lebih
populer disebut pers, akan menempatkan kekuasaan setara dengan masyarakat,
khususnya dalam kesempatan menyampaikan dan memperoleh kebenaran.
Media massa memiliki arti penting dalam pergulatan
kehidupan manusia setiap hari. Untuk kepentingan politik, media diakui banyak
kalangan merupakan salah satu saluran komunkasi politik yang cukup efektif. Di
Indonesia, terutama sejak berakhirnya masa kekuasaan politik orde baru,
pelaksanaan pesta demokrasi pemilihan umum telah memperlihatkan semakin
berkurangnya acara kampanye rally.
Kampanye lebih banyak diakukan dengan menggunakan media massa. Disamping untuk
kepentingan merebut simpatik publik terhadap masing-masing organisasi pesrta
pemilu, usaha seperti ini juga akan banyak berguna untuk mendidik sikap kritis
masyarakat, terutama dalam menyalurkan hak-hak politiknya sebagai warga negara.
Mereka akan lebih dewasa dalam menghadapi berbagai isu-isu politik, serta
mengambil ruang partisipasi secara bebas dan terbuka.
Daftar Pustaka
Althoff, Philip and Rush, Michael.
1997. Pengantar Sosiologi Politik
(Terjemahan Kartini Kartono). Jakarta: Rajawali Press.
Cholisin, dkk. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: UNY
Press.
Kantaprawira, Rusadi. 1990. Pendekatan Sistem dalam Ilmu-Ilmu Sosial.
Bandung: Sinar Baru.
Muhtadi, Asep Saeful. 2008. Komunikasi Politik Indonesia (Dinamika Islam
Politik Pasca-Orde Baru). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nasiwan. 2009. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: UNY Press.
Nasution, Zulkarimein. 1990. Komunikasi Politik, Suatu Pengantar.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rahman. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sastroatmodj, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP
Semarang Press.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Susanto, Astrid S. 1985. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung:
Bina Cipta.
Tugas Individu
Diajukan guna memenuhi
tugas mata kuliah Teori-Teori Politik
Disusun oleh :
Ardi Widayanto
07401241043
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL
DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI
YOGYAKARTA
2010
sumber gambar: inilah.com
Makasih gan untuk informasinya, sangat membantu :)
ReplyDelete