Tuesday, 20 March 2012

Kelompok Suporter Ultras Inter Curva Nord 69

Tifosi setia yang selalu hadir di kala Inter bertanding. Loyalitasnya patut diacungi jempol.

Dalam beberapa tahun terakhir, kerusuhan baik di dalam maupun di luar stadion sering pecah di Italia. Banyak yang menganggap segala insiden tak lepas dari ulah kelompok suporter garis keras yang menamakan dirinya Ultras. Dengan segala fanatismenya, Ultras dianggap sering menimbulkan masalah hampir di setiap pertandingan, terlebih yang bernuansa rivalitas.
Namun, ada hal menarik dari kehadiran Ultras di Italia. Sebagai pendukung klub yang paling loyal, Ultras ternyata memiliki hak suara untuk ikut menentukan kebijakan klub. Ultras di Italia juga cenderung lebih terorganisir, bahkan hampir menyerupai sebuah organisasi politik.

Jika dipersempit, Curva Nord 69 (penghuni tribun utara Stadion Giuseppe Meazza), menjadi salah satu dengan jumlah anggota terbanyak di Italia. Menurut data yang dikeluarkan La Republica, Inter menguasai sekitar 16 persen fans fanatik sepak bola di Italia. Mereka hanya kalah dari Juventus (28%), dan penghuni Curva Sud, AC Milan (23%). Namun mereka unggul atas Napoli (9%), AS Roma (7%), dan Lazio (3%).

Curva Nord 69 menjadi salah satu kelompok suporter yang paling disegani di Italia. Bukan hanya dari tindakan anarkis mereka di lapangan, tapi juga dari sisi positif. Sudah 40 tahun sejak 1969 mereka mengabdikan dirinya guna menyemangati setiap Inter bertanding. Jelas dengan usia setua itu, pengaruh mereka pun cukup kental. Bahkan, mantan kapten AC Milan, Paolo Maldini pun sempat mengakui loyalitas pendukung setia rivalnya itu. “Selama ini mereka memang kerap membuat kami khawatir di lapangan, namun saya mengakui loyalitas mereka,” kata dia.

Curva Nord 69 bukan hanya didominasi satu kelompok tifosi saja. Inter memiliki beberapa kelompok Ultras yang selalu setia mendampinginya di setiap laga. Salah satunya Boys S.A.N (Squadre d'Azione Nerazzurre), kelompok Ultras tertua ke dua La Curva Milano setelah Fossa dei Leoni dari Curva Sud. Selain itu, ada juga Ultras Inter, Viking Inter, Brianza Alcoolica, Irriducibili, dan beberapa kelompok minor lain. Mereka inilah yang selalu menyemangati I Nerazzurri.


LA Curva Nord 69 Milano

1. Boys S.A.N (Squadre d'Azione Nerazzurre)


Kelompok tertua di Curva Nord 69. Berdiri pada 1969, hanya selang setahun setelah Fossa dei Leoni pertama kali muncul. Boys diambil dari nama anak nakal di sebuah komik bernama serupa. Di era 80-an Boys S.A.N kian ditakuti sebagai kelompok yang kerap membuat ulah. Namun, sejak awal 90-an, Boys S.A.N meminimalisir aksi anarkis, dan lebih fokus mengekspresikan fanatisme melalui berbagai koreografi di stadion. Sekadar info, Boys S.A.N terbentuk meneruskan ide pelatih Inter ketika itu, Helenio Herrera yang menginginkan terbentuknya sebuah kelompok suporter yang terorganisir dengan rapi.

2. Ultras Inter (Forever Ultras)

Di Curva Nord, Ultras menjadi yang tertua ke dua setelah Boys S.A.N. Mereka berdiri sejak 1975 dengan nama Forever Ultras sebelum diganti pada 1995. Pelopornya adalah dua pemuda bernama Luciano dan Curzio, yang pertama kali memunculkan spanduk bertuliskan Forever Ultras di Curva Nord, tepat berdampingan dengan Boys S.A.N. Sejak 1997, Ivan Renato menjadi sutradara Ultras setelah meneruskan era kepemimpinan sebelumnya.

3. Viking Inter

Kelompok ketiga di Curva Nord ini terbentuk pada 1984. Viking juga dikenal sebagai salah satu pendukung beraliran sayap kanan paling loyal di Italia. Sayang, mereka kerap bersikap rasis. Kebetulan, Viking memang berhubungan sangat dekat dengan Blood & Honour Varese (kelompok suporter yang menolak anti-rasisme di sepak bola). Viking pun menjadi sangat menonjol di Curva Nord dengan indentitas bendera paling besar di antara suporter Ultras Inter lainnya.

4. Brianza Alcoolica

Brianza Alcoolica (semangat Brianza) memang baru resmi didirikan pada November 1985. Namun, berbagai spanduk bertuliskan nama kelompok mereka sudah muncul beberapa tahun sebelumnya di Madrid, Spanyol. Dipelopori oleh beberapa orang yang merasa tidak cocok dengan segala kekerasan Curva Nord, Brianza Alcoolica memisahkan diri dengan idealisme mereka untuk menciptakan hiburan di stadion. Mungkin karena itu pula Brianza Alcoolica menjadi kelompok dengan jumlah suporter paling sedikit di antara lima lainnya.

5. Irriducibili
Irridubicili menjadi kelompok paling kontroversial di antara Ultras Inter lainnya. Berdiri sejak 1988, kelompok ini juga dikenal dengan nama “Skins” ini langsung membuat kericuhan dengan menyerang setiap pendukung lawan yang datang ke Giuseppe Meazza. Ciri khas Irridubicili adalah maskot seekor anjing hitam sebagai lambang kejahatan atau keonaran bernama Muttley. Dengan slogan “Non basta essere Bravi bisogna essere I migliori” (untuk menjadi yang terbaik, tidak cukup dengan bersikap baik), tak heran jika jika Irridubicili kerap berbuat onar di stadion. Bahkan mereka dengan terang-terangan mengaku setiap mendukung Inter, tak akan pernah lepas dari minuman beralkohol.

6. Milano Nerazzurra
Kelompok ini memang lebih kecil dibanding Boys SAN atau lainnya. Namun, mereka justru mampu tampil dengan warna-warna mencolok melalui koreografinya di sisi kiri Curva Nord. Milano Nerazzurra juga mendapat julukan “Potere Nerazzurro” atau Si Hitam Biru yang Kuat. Sejak berdiri sekitar akhir 80-an, Milano Nerazzurri memang telah menyatakan ketidakcocokannya dengan saudara tua mereka, Boys SAN. Tak heran jika letak kedua kelompok ini berjauhan, yang satu di sisi kiri, dan yang satunya di sisi kanan.

7. Boys Sez Roma
Meski Boy Sez Roma lahir dari sekelompok laki-laki yang berasal dari Kota Roma, mereka justru merupakan pendukung fanatik Inter Milan. Sejak awal berdiri pada 1979 lalu, kelompok ini memang membatasi anggotanya di usia 18-30 tahun, dan tentunya dengan satu tujuan mendukung Inter Milan. Boy Sez Roma mengambil posisi di sisi kanan Curva Nord dan berhubungan sangat dekat dengan Boys S.A.N
Sumber: http://inter-milan-indonesia.blogspot.com

Status Finansial Inter (Sampai Akhir 2011)


Tak dipungkiri, sistem patronasi di Italia memang masih cukup kental. Hampir semua klub masih bergantung kepada kekayaan sang pemilik. Untung-rugi masih berupa jurang yang cukup tinggi. Demi mencapai prestasi, seorang pemilik pun tak ragu menggelontorkan dana besar tanpa melihat risiko yang mengadang.
Inter salah satunya. Sejak Massimo Moratti mengambil alih tampuk pimpinan, selama 16 tahun, I Nerazzurri telah merugi mencapai 1,3 miliar euro. Tapi semua kerugian tersebut bisa tertutupi berkat suntikan dana pribadi sang patron. Namun, sistem seperti itu sekarang mulai ditinggalkan. Demi beradaptasi dengan aturan Financial Fair Play yang akan dimonitor UEFA pada musim 2013-14, Inter harus bisa membiayai semua kerugian dengan pendapatan murni klub.
Banyak yang menyangsikan kemampuan Inter. Tradisi yang sudah mengakar selama belasan tahun tentu sulit dihilangkan. Toh, Moratti tetap optimistis. “Filosofi klub untuk dua tahun mendatang adalah menyeimbangkan neraca keuangan. Kami akan melakukan apa pun agar bisa mencapainya,” ucap Moratti setahun silam.
Program-program “tak populer” pun mulai diterapkan. Mulai dari penjualan pemain bintang bergaji tinggi hingga penerapan salary cap. Hasilnya mulai terlihat. Meski masih merugi, rapor keuangan Inter menunjukkan pergerakan ke arah lebih baik.

Inter berusaha keras menurunkan kerugian hingga 45 juta euro per tahun. Sebab itulah batas toleransi dari UEFA untuk Inter sejak diberlakukannya Financial Fair Play yang akan efektif terhitung pada 2012-13. Musim selanjutnya angka tersebut akan terus diturunkan secara berkala. Pada 2015-16, angka kerugian maksimal yang bisa ditoleransi UEFA adalah 30 juta euro. Lalu periode berikutnya pada 2018-19 angka tersebut masih akan menurun.

Dari data yang dilansir La Gazzetta dello Sport, Inter telah menunjukkan langkah positif. Jika pada 2007 rugi 206,3 juta euro, pada 2010 menurun jadi 67,5 juta euro. Terget pada 2011 sebenarnya terus turun ke angka 60 juta euro. Sayang pada 2011 target tersebut tidak tercapai. Kerugian Inter naik sedikit atau menjadi 84,6 juta euro.
*) Tren Kerugian Inter
Tahun
Rugi
2007
206,3 juta euro
2008
145,9 juta euro
2009
153,5 juta euro
2010
67,5 juta euro
2011
84,6 juta euro


PENGHEMATAN GAJI
Pada 2011 lalu, manajemen Inter menerapkan salary cap. Gaji pemain inti maksimal tiga juta euro per musim. Pengecualian hanya diberikan kepada beberapa pemain bintang. Selain pengetatan gaji, pemain bergaji tinggi seperti Samuel Eto’o, David Suazo, dan Amantino Mancini juga dilepas. Sebagai gantinya menajemen mendatangkan pemain muda bergaji rendah.

Dari kebijakan ini manajemen bisa menghemat pengeluaran gaji tahunan sebesar 17,9 juta euro. Gaji tertinggi di Inter sendiri masih dipegang oleh Wesley Sneijder, yakni 6 juta euro per tahun. Dan, jika pada akhirnya Sneijder benar-benar dilepas paling lambat pada musim panas mendatang, tentu akan berpengaruh signifikan terhadap pemangkasan pengeluaran gaji pemain. Namun, Inter tentu tak akan sembarangan dalam melepas seluruh pemain bintangnya. Pertimbangan keseimbangan kekuatan tim tentu masih harus diperhitungkan.

Inter sendiri berada di urutan kedua dari 20 klub Serie-A dengan pengeluaran gaji tertinggi. Total selama setahun Inter menggelontorkan 145 juta euro untuk membayar gaji para pemainnya. Hanya kalah dari AC Milan yang mengeluarkan sebesar 160 juta euro per tahun. Zlatan Ibrahimovic masih memegang status pemain bergaji tertinggi di Milan maupun Serie-A, dengan 9 juta euro per musim.
Yang menarik Juventus. Mereka berada di urutan ketiga klub dengan pengeluaran gaji tinggi. Total, Si Nyonya Tua harus menggelontorkan biaya 100 juta euro untuk gaji pemain. Termasuk gaji tertinggi yang dimiliki Gianluigi Buffon senilai 6 juta euro per tahun. Akan tetapi, pengeluaran Juventus tampaknya akan berkurang drastis seiring kepergian Amauri ke Fiorentina, dan kemungkinan hengkangnya Luca Toni serta Vincenzo Iaquinta. Maklum, ketiganya termasuk pemain bergaji tinggi di Juventus. Amauri memperoleh 4 juta euro, sementara Toni dan Iaquinta sama-sama mengantongi 3 juta euro per tahunnya. Jika Toni dan Iaquinta menyusul Amauri, berarti Juventus akan berhemat sebesar 10 juta euro.
Inter sendiri bisa saja mengambil kebijakan serupa andai berani melepas Sneijder (gaji: 6 juta euro), Diego Milito (4,5 juta euro), Maicon (4 juta euro), Cristian Chivu (3,5 juta euro), atau Thiago Motta (3 juta euro). Apalagi beberapa pemain dengan gaji tak terlalu tinggi seperti Andrea Ranocchia (1,50 juta euro), Ricky Alvarez (1 juta euro), Yuto Nagatomo (0,70 juta euro), atau Andrea Poli dan Philippe Coutinho (0,60 juta euro) sudah menunjukkan kemajuan pesat.
*) Pemain baru 2011-12
Nama
Gaji bersih
Gaji kotor
Diego Forlan
3,5 juta euro
7 juta euro
Gianpaolo Pazzini
2,5 juta euro
5 juta euro
Andrea Ranocchia
1,5 juta euro
2,5 juta euro
Jonathan
1,2 juta euro
2,5 juta euro
Ricardo Alvarez
1 juta euro
2,5 juta euro
Emiliano Viviano
1 juta euro
3 juta euro
Yuto Nagatomo
0,7 juta euro
3 juta euro
Luc Castaignos
0,4 juta euro
1,4 juta euro
Mauro Zarate*
2 juta euro
5 juta euro
Andrea Poli*
0,6 juta euro
1,8 juta euro
Jumlah gaji
33,7 juta euro
*) Pemain dilepas 2011-12
Nama
Gaji bersih
Gaji kotor
Samuel Eto’o
8 juta euro
20 juta euro
Davide Santon
1 juta euro
2 juta euro
Amantino Mancini
3,5 juta euro
7 juta euro
David Suazo
3,2 juta euro
6,4 juta euro
Jonathan Biabiany
0,8 juta euro
1,6 juta euro
Victor Obinna
1 juta euro
2 juta euro
Nelson Rivas
1 juta euro
2 juta euro
Marco Materazzi
1,5 juta euro
3 juta euro
Goran Pandev*
3 juta euro
6 juta euro
McDonald Mariga*
0,8 juta euro
1,6 juta euro
Jumlah gaji
51,6 juta euro
Total Penghematan: 17,9 juta euro
Keterangan: * Pemain status pinjaman/ dipinjam

PEMASUKAN DARI BURSA TRANSFER
Inter Milan di bawah Moratti terkenal sebagai tim yang selalu boros di bursa transfer. Selama 12 tahun hingga pengujung 2009 saja, total pengeluaran mereka mencapai 473 juta euro. Tapi sejak 2009-10 kebijakan mereka berubah drastis. Inter mulai berusaha menghasilkan uang dari bursa transfer. Tiga musim terakhir, Inter hanya menggelontorkan dana 24 juta euro di bursa transfer.
Meski pada era Jose Mourinho beberapa pemain bintang seperti Samuel Eto'o, Diego Milito dan Wesley Sneijder dihadirkan, namun semua bisa tertutup berkat pendapatan dari menjual Zlatan Ibrahimovic ke Barcelona senilai 54 juta euro, Jonathan Biabany ke Parma (5 juta euro), dan Maxwell ke Barcelona (4 juta euro) pada 2009 lalu. Selain itu, penjualan pada tahun berikutnya pun cukup mengesankan, yakni melepas Mario Balotelli ke Manchester City (31 juta euro), Nicolas Burdisso ke AS Roma (8 juta euro) dan Mattia Destro ke Genoa (5 juta euro). Pun ditambah biaya kompensasi sebesar 16 juta euro yang dibayar Real Madrid untuk memboyong Jose Mourinho.

“Mulai sekarang kami lebih fokus menjual pemain. Setelah mendapatkan uang dari penjualan, kami baru bisa berpikir tentang pembelian,” kata Direktur Umum Inter Milan, Ernesto Paolillo.
Atas dasar hal itu, tak heran jika belakangan Inter terlihat getol membeli pemain-pemain berusia muda yang namanya bahkan masih cukup asing. Sebut saja Ricky Alvarez, Jonathan, Luc Castaignos, atau yang sudah datang sebelumnya Philippe Coutinho. "Sekarang kami memburu pemain muda dengan potensi besar, pemain yang akan kami kembangkan," tutur direktur teknik Inter, Marco Branca.

*) Transaksi di bursa transfer lima musim terakhir
Musim
Untung/ Rugi
2011-12
0
2010-11
(+) 19
2009-10
(+) 15
2008-09
(-) 53
2007-08
(-) 26
Keterangan: Dalam juta euro

PENDAPATAN TERUS NAIK
Berdasarkan data Deloitte, pendapatan Inter dari tahun ke tahun selalu naik. Untuk periode 2010, Inter mengantongi 225 juta euro. Artinya, jika dihitung sejak 2006, pendapatan Inter mengalami pertumbuhan 13 persen tiap tahunnya.

Saat ini Inter keluar sebagai klub dengan pendapatan terbesar nomor sembilan dunia dan terbesar kedua di Italia setelah AC Milan. Sayangnya, pemerataan sumber pendapatan Inter kurang bagus. Sekitar 62 persen di antaranya disumbang oleh hak siar televisi. Pendapatan dari tiket hanya 17 persen, sementara sisi komersial 21 persen.
Pendapatan Inter


HAK SIAR TELEVISI, TIKET STADION, & SISI KOMERSIAL
Selain mengetatkan ikat pinggang, Inter harus bisa meningkatkan pendapatan klub lebih besar lagi. Saat ini pendapatan Inter berasal dari tiga sumber yakni hak siar televisi, tiket stadion, dan sisi komersial.
Untuk hak siar televisi, pendapatannya sudah susah ditingkatkan lagi. pasalnya, saat ini Inter merupakan klub dengan pendapatan hak siar terbesar di Italia. Sektor yang masih bisa ditingkatkan lagi adalah pendapatan tiket dan sisi komersial.
Inter sebenarnya punya modal besar untuk meningkatkan pendapatan dari sektor tiket stadion. Ingat, saat ini, jumlah penonton laga Inter di Giuseppe Meazza adalah yang terbanyak di Italia. Mereka mengalahkan AC Milan, AS Roma, dan Juventus.
Sebagai contoh bisa dilihat dari tingkat kepenuhan stadion. Musim lalu,jumlah penonton Inter tiap pertandingan mencapai 58 ribu penonton. Terbanyak di Italia. Jumlah penonton Milan ada di tempat kedua, yakni sekitar 50 penonton tidap laga. Peringkat ketiga diisi Napoli, yakni 45 ribu penonton per pertandingan.
Fakta itu membuat pendapatan tiket stadion Inter menjadi yang terbesar di Italia, yakni 33 juta euro per musim. Sayang, meski terlihat besar, pendapatan tersebut tidak ada apa-apanya dibanding pendapatan tiket stadion klub-klub Inggris. Dibanding Manchester United, pendapatan Inter tidak lebih dari seperempatnya.
Penyebab utama minimnya pendapatan tiket stadion karena status Giuseppe Meazza yang menjadi milik pemerintah kota. Tiap tahunnya, Inter harus membayar sewa 4,5 juta euro.
Selain itu, Inter juga hanya bisa mengoptimalkan pendapatan dari stadion ketika ada pertandingan. Padahal, di klub-klub Inggris dan Jerman, klub bisa menerima pendapatan dari kunjungan wisatawan ke stadion. “Di Eropa, stadion bisa menghasilkan uang selama tujuh hari penuh. Sementara itu, kami tidak bisa melakukannya karena masih menyewa ke pemerintah kota,” keluh Direktur Umum Inter, Ernesto Paolillo.
Secara keseluruhan, pertumbuhan pendapatan Inter selama lima tahun terakhir hanya sebesar 13 persen. Dari 188 juta euro menuju 213 juta euro. Tak heran, seperti klub-klub Italia lain, mayoritas pemasukan Inter memang didapat dari hak siar televisi, yakni sekitar 124 juta euro. Berdasarkan data yang dikeluarkan FIGC, Serie-A merupakan kompetisi yang pemasukannya paling bergantung kepada hak siar televisi (65%). Bandingkan dengan Prancis (60%), Inggris (50%), Spanyol (38%), dan Jerman (32%).
Pada 2010 lalu, Inter juga mendapat pemasukan cukup besar dari hak siar televisi, yakni mencapai 138 juta euro. Angka itu diraih berkat performa di kancah domestik, dan Liga Champions, di mana Inter berhasil melaju ke final dan tampil sebagai juara. Namun, tak selamanya mereka harus bergantung pada hak siar televisi. Keseimbangan masuknya keuntungan dari lubang lain pun harus dipertimbangkan. Hal ini yang tentunya masih menjadi pe-er bagi jajaran direksi La Beneamata demi mengikuti Financial Fair Play yang dimainkan UEFA.
(Grafik & data: FIGC, Transfermarkt, Swiss Ramble, La Gazzetta, Deloitte, dll)

(sumber: http://inter-milan-indonesia.blogspot.com)